foto:islamidia.com |
Talqin
:gp
Lantaran kamu
Lebih memilih beton tumbuh
Di otakmu di matamu di telingamu di mukamu
Di dadamu di perutmu
Di duburmu di penismu
Di sekujur tubuhmu
Beton!
Maka bersimpuhlah kamu
Pada batang beton
Dan kelak
Katakan pada kedua malaikat
Bahwa semen adalah tuhanmu
Nabimu uang
Serta kitabmu?
Logika ngawur menjadi
Kitab pedoman hidup
Seenak-enak udelmu
Jangan lupa,
Ibadahmu adalah
Menerbitkan surat ijin petaka
Yang bakal
Memperkosa ibu bumu
Menista sesamamu!
Kelana Siwi
Kendal, 10 Desember 2016
Apakah “Talqin” dan apakah puisi? Saat menjawab dua pertanyaan tersebut, hal yang paling memungkinkan penyatuan dari keduanya adalah tubuh. Mengapa demikian? Karena secara umum kata “talqin” dapat diartikan sebagai wujud suatu pengajaran kembali kepada orang tentang prinsip dari seseoarang yang telah meninggal. Sedangkan puisi yang berarti sebuah bentuk karya seni atau cipta dengan media bahasa teks. Lantas mengapa kedua hal tersebut menyatu dalam tubuh?
Tubuh sebagai media komunikasi sebenarnya merupakan inti gerak antara personal individu hingga lingkungan sosial. Sejauh mana tubuh melakukan interaksi dalam ruang hidupnya di keseharian menjadi satu bacaan awal dari mana sebuah karya hadir. Seni sendiri dapat diartikan sebagai sebuah proses penciptaan karya, melalui pengendapan (kontemplasi) dari rangkaian seluruh proses yang coba dihadirkan menjadi satu bacaan bagi masyarakat. Sehingga seseorang mampu melakukan hal paling sederhana dalam kompleksitas sosial lingkungannya dengan menghadirkan karya sebagai satu metode proses pendidikan itu sendiri.
Aristoteles pernah mengungkapkan “seni adalah bentuk yang pengungkapannya serta penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan, dan seni adalah meniru alam.” Lantas apa yang dapat dibaca dari kata “alam” pada kalimat tersebut? Apakah berarti dunia flora dan fauna saja? Tidak. Alam memiliki ruang yang luas serta melingkupi seluruh kehidupan di bumi. Manusia menjadi satu tolak ukur melalui proses peradaban. Alam dapat dikatakan adalah kehidupan.
Seni dalam hal ini merupakan sebuah proses perjalanan tubuh manusia melalui kompleksitas psikis serta berpikirnya, sehingga mampu menjadi suatu renungan bersama dalam membaca sebuah fenomena kondisi sosial yang sedang terjadi. Bahkan seni dapat dikatakan sebagai suatu pencerahan bagi pelaku sekaligus pembacanya. Maka, seni merupakan satu siklus gerak tubuh yang dilakukan oleh manusia, dari manusia, untuk manusia dengan menggunakan estetika yang dipilihnya. Namun, apakah sebuah estetika harus dibaca sebagai bentuk penyeragaman? Tentu saja tidak, estetika lebih bebas dan itu merupakan satu bentuk pilihan psikologi manusia.. contoh, misalkan seseorang menyukai sepeda namun orang lain lebih menyukai berjalan kaki, apakah yang bersepeda lebih estetik daripada yang berjalan kaki? Tentu saja tidak. Keduanya memiliki pengalaman proses serta keindahan rasa dari masing-masing pelakunya. Tapi apakah semua orang pernah berjalan kaki atau bersepeda, sudah tentu “ya”, dan dari sudut pandang kesehatan tubuh, kedua aktivitas itu memiliki porsi kesehatan yang seimbang. Hanya saja, tubuh satu memilih media material seperti sepeda, sedangkan tubuh lainnya memilih dengan menggunakan anggota tubuhnya sendiri, yaitu kedua kakinya.
Pada pemahaman estetika, mungkin sudut pandang dari seorang Aristoteles lebih membaca bahwa sebuah karya seni haruslah memiliki etika, keseimbangan, dan kehadiran atas karya seni itu sendiri, entah dalam bentuk teks, panggung, hingga lukisan dan patung. Di mana kesemuanya hadir secara utuh dalam penerimaan etika sosial di masyarakat. Namun menurut Plato, estetika merupakan satu bentuk keindahan yang bersifat personal manusia. Karya seni menjadi indah saat dalam prosesnya telah terlihat keindahannya. Hal ini tidak bisa dikategorikan dalam satu standar tertentu karena sifatnya yang harmonis dan menyatu menjadi satu porsi tersendiri. Ambil satu contoh teks awal hingga akhir dalam baris ke tujuh pada puisi dari Kelana Siwi yang berjudul “Talqin”:
*Lantaran kamu
Lebih memilih beton tumbuh
Di otakmu di matamu di telingamu di mukamu
Di dadamu di perutmu
Di duburmu di penismu
Di sekujur tubuhmu
Beton!
Kita semua dapat merasakan satu pengingat melalui letupan emosi dari penulisnya. Sebuah bentuk psikis luka dan kecewa atas kebodohan manusia atas tubuhnya sendiri. Pada kalimat “lantaran kamu” “di sekujur tubuhmu” “beton”, menjadi satu tanda seru bahwa manusia dengan kekayaan ilmu serta pengetahuannya telah mengubah kemanusiaannya menjadi kekerasan tubuh itu sendiri, seperti bentuk keras kepala dan keras hati. Kemudian pada baris berikutnya:
Maka bersimpuhlah kamu
Pada batang beton
Dan kelak
Katakan pada kedua malaikat
Bahwa semen adalah tuhanmu
Nabimu uang
Serta kitabmu?
Logika ngawur menjadi
Kitab pedoman hidup
Pada baris di atas akan nampak sekali terasa bahwa sang penulis telah mengalami keadaan pasrah dan melihat bentuk kesyukuran manusia akan kehidupan di dunia telah hilang. Teks dalam kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk refleksi hati yang terluka, bahkan kecewa, karena tidak lagi mampu berbuat apa-apa dalam sebuah realita sosial di mana etika hingga moral “Nabimu uang, Logika ngawur menjadi / Kitab pedoman hidup” sebuah pendidikan beralih fungsi menjadi politik kekerasan dalam pendidikan bermasyarakat. Sehingga empati seorang manusia menjadi tumpul saat ruang politik kekuasaan lebih menjadi pilihan hidup.
Namun kita tetap diajak penulis untuk tetap membaca kepada sebuah ruang kuasa dalam lirik puisi Kelana Siwi “bahwa semen adalah tuhanmu.” Sebuah larik kalimat yang menjadi satu curahan hati akan keputusasaan hingga kemarahan yang menjadi satu. Di sinilah, kehadiran manusia yang kecil atas Sang Pencipta dihadirkan secara telanjang, tanpa basa-basi. Hingga pada larik kalimat seterusnya dalam puisi yang diselesaikan menjadi:
Seenak-enak udelmu
Jangan lupa,
Ibadahmu adalah
Menerbitkan surat ijin petaka
Yang bakal
Memperkosa ibu bumu
Menista sesamamu!
Pada larik-larik di atas jelas terbaca sebagai satu kesatuan emosi manusia paling mendasar yang hanya dimiliki tidak lain adalah hatinya, baik hati penulis, pembaca, serta kondisi sosial dalam ruang masyarakat bersama alamnya yang ditulisnya menjadi “memperkosa Ibu Bumi” “menista sesamamu!” suatu bentuk pengakuan kondisi “kosong” akan kehadiran manusia di bumi telah dipilih penulis sebagai estetika bahasa, bahwa manusia dihadirkan sebagai makhluk yang diberikan nalar serta hati sebagai sirkulasi kehidupan dalam peradaban manusia dengan alam telah rusak oleh manusia itu sendiri.
Pada puisi tersebut, hati menjadi kunci utama hubungan manusia dengan manusia dan alam saat hati manusia telah berubah menjadi batu “beton!”, sedang pendidikan yang telah diciptakan di negeri ini sejak dimulainya jaman orde baru menjadi satu bentuk alat politik semata. Tan Malaka pernah berujar “tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kamauan, serta memperhalus perasaan.” Namun atas sebuah kondisi politik sejarah yang belum terselesaikan hingga kini, maka pemahaman ini sangat jelas dihadirkan sebagai sebuah judul oleh Kelana Siwi. Talqin.
Jakata, 10 Desember 2016