foto:www.klikaktivis.com |
Sudah sejak awal saya gak mau bawa-bawa masalah Madiun 48 dalam kasus 65. Bukan maksud saya menutupi peristiwa di Madiun pada tahun 1948, sama sekali bukan. Tapi gini, membincang Peristiwa 1965 udah rumit, dan membincang Peristiwa 1948 itu pun sesungguhnya sudah amat sulit. Apalagi ruang dan waktu antara kedua peristiwa itu juga relatif jauh dengan situasi nasional dan internasional yg berbeda pula.
Umpama aja, Anda jadi anggota partai selama 20 tahun, pasti anda mengalami masalah dan posisi internal maupun eksternal yang jauh berlainan. Begitupun mereka para korban 1965-1966, mereka itu orang-orang yang gak ada sangkut-paut apapun dengan tindakan kriminal G30S yang merenggut nyawa 7 jendral revolusi. Mereka itu menjadi korban kekerasan alat-alat negara. Mereka juga bukan pelaku kriminal di tahun 1948, juga gak terlibat apapun dengan kekerasan 1948. Lah gimana terlibat, wong usianya aja udah kelewat 20 tahun. Gak adil dong kalo kekerasan 48 dituduhkan keseluruh warga PKI, apalagi yang jadi anggota di tahun 1965-1966. Menghukum para pelaku kriminal semestinya menghukum pelakunya aja, gak seolah-olah membunuh tikus dalam rumah make bom.
Nah, yang parah banget itu gembar-gembor seakan Peristiwa 1948 itu adalah kelakuan sadis warga PKI membunuhi kiai-kiai. Dan itu sebagai pembenar atas kekerasan 1965. Seakan Peristiwa 1948 sesederhana itu, mereka menyuguhkan teks-teks sejarah untuk menutupi usaha rekonsiliasi antara keluarga kiai dengan eks PKI, sekaligus menutupi kekejaman alat-alat negara dalam membantai warga PKI kala itu, serta penghapusan sejarah terkait penyelesaian Peristiwa 1948 secara kenegaraan pada tahun 1949. Ya begitulah narasi Orde Baru.
Coba bayangin, betapa gobloknya orang-orang yang berusaha nutup-nutpi fakta itu, dan lebih goblok lagi yang percaya sama narasi Orde Baru itu. Lha wong orang yang berantem di jalan aja bisa banyak versi ceritanya, bagaimana mungkin Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 kita dibodohi dengan hanya mendengar satu versi dari Orba dan purnawirawan TNI AD.
Berkaitan dengan sejarah 48 dan 65, simposium anti PKI udah gak adil dalam memberlakukan narasi sejarah dengan hanya memberlakukan narasi Orde Baru. Ini memang untuk menjegal upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi atas Peristiwa 1965-1966. Akibatnya, generasi penerus bangsa menjadi “korban” dari narasi songong itu.
Sekali lagi saya bilang, peristiwa 1948 itu kejadian yg rumit, yg gak mungkin diambil kesimpulan dari satu sudut pandang doang. Soe Hok Gie udah pernah bilang dalam “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan” kalau soal kekejaman, jelas kekejaman terhadap warga PKI sebagai pihak yg kalah dalam kasus Madiun 1948 jauh lebih banyak, kalau anda-anda mau jujur. (baca “Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar Peristiwa Madiun”).
Para tawanan yg udah gak bersenjata dihabisi, diciduk dan dieksekusi malam-malam tanpa proses hukum. Tentang kekejaman ini tentulah hal yang rumit. Sebagai contoh, yang dihadirkan adalah monumen-monumen kekejaman warga PKI terhadap lawan-lawan PKI di Jawa timur. Tetapi kekejaman terhadap warga PKI (oleh militer dan nonmiliter) justru mau ditutupi seakan gak pernah ada. Tindakan itu adalah rekayasa pembodohan nasional terhadap generasi muda.
Kekejaman terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 gak boleh dibuat monumen-monumen, misalnya kuburan massal warga PKI di Kabupaten Karanganyar yang dibiarin gitu aja gak boleh dinisanin, begitu juga penjara-penjara di Magelang, penyiksaan massal di Magetan. karena mereka pihak yang kalah, yaudah disalah-salahin mulu. Itu Kuburan-kuburan warga PKI korban 65 gak boleh dibuat monumen sejak Orde Baru.
Kenapa kekejaman kepada warga PKI ditutupi? Itu karena mereka Cuma pengin gembar gembor kekejaman PKI. Hal sederhana yang kentara dari sekenario para purnawirawan bolot itu, mereka menampilkan foto kekejaman terhadap warga PKI di Magetan dengan caption foto yg terbalik, seakan itu kekejaman PKI terhadap lawannya. Menampilkan foto aja udah gak becus, gimana mungkin mereka nggabungin kronologi kasus 1965 dan 1948 dalam satu lembaran negara?
Roeslan Abdoelghani, yang dijuluki tokoh segala zaman, sampe nangis-nangis setelah diminta menyaksikan pembunuhan massal terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 di sebuah sekolah (Roeslan Abdoelghani Tokoh Segala Zaman, 2002). Nah cerita-cerita yang kaya begitu itu mau ditutup-tutupi. Cerita tentang Panglima Besar Jendral Soedirman yang syok dan mengeluh pada istrinya setelah menyaksikan pembantaian warga PKI di tahun1948 juga mau ditutup-tutupi, kenapa?
Ceritanya begini, setelah menyaksikan pembantaian terhadap warga PKI di penghujung November 1948 Soedirman pulang ke rumah, ia syok dan mengeluh pada istrinya. Menurut anaknya yang bernama Muhammad Teguh Bambang (2012), Soedirman mengalami tekanan batin, sampe-sampe sudirman tergolek lemas sehabis mandi dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih karena saking syoknya itu. Sudirman sedih menyaksikan saudara sebangsa dihabisi sedemikian rupa. Saudara sebangsa yang kemerdekaannya sedang diperjuangkan dibantai tanpa ampun. (Tim Tempo, Soedirman, Seorang Panglima, Seorang Martir, 2012, hal 26).
Soal pemberontakan yang dilakukan PKI, bener gak tuh? Kenyataannya sebelum PM Hatta dan Jend Nasution menyerbu Madiun, Letkol Soeharto (yang jadi dedengkot OrBa)melakukan penyelidikan di Madiun atas perintah Jend Soedirman, dan ia menyimpulkan PKI tidak memberontak dan tidak ada kekejaman-kekejaman di Madiun (Harry Poeze, Madiun 1848, hal 206). Pakar militer Prof Salim Said mengungkapkan, Soedirman sendiri menganggap kasus Madiun adalah perkelahian antar-laskar yang bisa dilerai. Namun karena perintah Hatta, Soedirman terpaksa ikut menyerbu. Kenapa fakta ini juga mau ditutupi?
Banyak hal harus diselidiki tentang peristiwa Madiun 1948, kita gak boleh tunduk pd narasi Orde Baru belaka. Apalagi kok mau tunduk sama buku-buku sekolah era Orba karya intelektual-intelektual “tukang” itu.
Sekali lagi, membincang Madiun 1948 tanpa membincang kasus 1965, dan membincang masalah 1965 tanpa kasus 1948 adalah hal yang rumit. gimana mungkin seenak perutnya sendiri mau nggabungin narasi Madiun 1948 kedalam narasi 1965 dengan manut sama narasi purnawirawan TNI yang otaknya bolot bangkotan lulusan Orde Baru itu?
Mereka pula mengatakan bahwa, kita selalu berurusan dengan PKI, PKI menberontak. Bukan, salah itu. Bagaimana kalau saya balik begini: bangsa ini menjadi berurusan dengan PKI dan bukan partai lain, adalah karena kehendak Amerika dan Inggris, dan faksi TNI tertentu yang menjadi kaki tangan Amerika-Inggris itulah yang selalu menghancurkan PKI dengan cara apapun ia bisa tempuh.
Mau pembuktian? Mari kita buktikan keterlibatan agen-agen Amerika-Inggris ini secara jernih, silakan kumpulin sejarawan dan intelektual duduk satu meja dengan Anda, dan kita membicarakan itu. Dalam kasus Madiun 1948, tentu Anda ingat adanya Doktrin Truman sebagai upaya Amerika menghancurkan kaum merah di seluruh dunia. Dalam kasus 1965 Anda tentu ingat Perang Dingin dan permainan CIA dan sekutu-sekutunya. Sedangkan mereka, para purnawirawan itu hanya menjadi wayang-wayang yang diadu domba, dan mereka baru saja mempertontonkan diri sebagai domba-domba yang tersesat dengan cara menyelenggarakan simposium anti PKI. Sudah domba, tersesat pula, kalo dijual murah lagi murahan.
Jadi bagaimana? Jadi saya tetap pada pendapat saya, bahwa pembicaraan soal Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 harus dibicarakan secara terpisah. Karena masing-masing mengalami kerumitan-kerumitannya sendiri dalam ruang dan waktu serta konteks yg berbeda. Tetapi ada kesamaan memang, semua itu tak lepas dari andil Amerika dan tentara maupun sarjana-sarjana lulusan Barat yang ambil peran dalam usaha-usaha penghancuran persatuan Nasakom. Juga tak lepas dari adu domba agen-agen Barat itu pada rakyat sehingga terjadi konflik horizontal yang meluas, dan adu cepat saling bunuh.
Anak-anak muda Lakspedam NU dalam penelitian mereka di Blitar menemukan fakta bahwa militer memprovokasi warga kampung NU dengan memberi daftar kiai yang akan dibunuh warga PKI, dan kemudian ke kampung warga PKI dan memberi daftar warga BTI yang seolah mau dibunuh kiai/santri, sehingga terjadi adu cepat saling bunuh. Karena kampung kiai/santri yg diberi daftar lebih dulu, mereka menyerbu duluan ke kampung warga PKI. Hal semcam ini biasa terjadi di tahun 1965-1966, juga biasa terjadi di tahun 1948. Ini betul-betul rekayasa intelijen untuk mengadu domba santri-kiai vs PKI.
Tapi jangan salah bahwa kita segera move on pasca peristiwa Madiun 1948. Secara kenegaraan parlemen masa itu (KNIP) membahas kasus Madiun 1948, dan disadari bersama-sama telah terjadi kekejaman satu sama lain. Masing-masing yg bertikai jatuh korban dalam jumlah besar dan mengenaskan. Setelah melalui debat alot, parlemen memutuskan untuk bekerja sama kembali dan tidak saling gugat. Pemerintah RI sendiri membuktikan dirinya untuk tidak menggugat terhadap lawannya di Madiun, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kehakiman tgl 7 Sept 1949 yang diteken Menkeh Soesanto Tirtoprodjo.
Sewajarnya, versi perihal Madiun 1948 dibebaskan beredar, bukan malah hanya versi Orba saja yg diedarkan. Di era Soekarno, kata Soemarsono dalam Revolusi Agustus (2008), PKI bebas mengemukakan versinya walau PKI di pihak yang kalah. Nah, kalau kita mau membahas Madiun 1948, mestinya Simposium Purn TNI berani mengemukakan versi PKI, seperti Simposium Nasional Tragedi 1965 tgl 18-19 April 2016 yg mengundang semua elemen (termasuk warga eks PKI maupun TNI dan lain2, persoalan Menhan dan unsur TNI lainnya tak hadir bukan salah panitia).
Peristiwa G30S di Lubang Buaya telah diproses hukum di Mahmilub. Tapi bagaimana dengan kekejaman alat-alat negara pasca peristiwa G30S terhadap korban kekerasan 1965? Yang mana para korban justru tak tahu-menahu kejadian Lubang Buaya itu? Ketika Negara ingin membicarakan tanggungjawabnya setelah 50 tahun berlalu, tidakkah pantas membawa-bawa Peristiwa Madiun 1948 dengan versi amburadul untuk kepentingan memprovokasi dan menebar kebencian.
Kita harusnya belajar kepada warga NU, anak-anak muda NU, yg move on dan mengajarkan rekonsiliasi kultural atas peristiwa masa lalu, baik di Blitar dan di tempat-tempat lain. Kita juga harus belajar kepada Ketua Pemuda Pancasila Sulawesi-Tengah Rusdy Mastura yang waktu jadi wali kota Palu melakukan rehabilitasi dan rekonsiliasi pada korban 1965 secara kenegaraan (kepemerintahan daerah.Red). Juga kita mestinya tak lupa pada apa yang dilakukan Dahlan Iskan (CEO Jawapos) yang merekonsiliasi para pihak yang bertikai dalam kasus Madiun 1948 di Magetan, Jatim. Juga kita mestinya belajar pada mahasiswa, anak-anak muda dan pemda di Semarang yg membuatkan makam layak bagi korban di kuburan massal.
Sewajarnya kita belajar pada hal-hal yang sejuk atas peristiwa kekerasan di masa lalu, bukan malah mempermainkan data untuk memprovokasi dan memainkan kekerasan lanjutan, membubarkan diskusi-diskusi bertema sejarah maupun HAM, dan sebagainya. Ketika negara berkehendak mengupayakan pengungkapan sejarah, rehabilitasi, reparasi, dan rekonsiliasi atas kekerasan alat2 negara di masa lalu, tak sewajarnya Anda malah mengobarkan api peperangan dan kerusakan. Sekian, terima kasih.