PEMBUBARAN PAKSA, narasi ini yang akhir-akhir ini menguat. Mulai dari belok kiri fest yang diadakan oleh para pecinta wacana kiri, dan yang terakhir pembubaran kegiatan lady fest yang diselenggarakan kelompok kolektif betina di jogja.
Memang mengerikan mendengarnya, tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi sekarang. Seperti zaman penjajahan saja tho, apa-apa yang tidak disukai dibubarkan. Alasannya macam-macam, mengganggu ketertiban lah, meresahkan masyarakat lah, memancing keonaran lah, tindakan makar, dan macam-macam lagi. Atau jangan-jangan yang merasa resah dan terganggu hanya segelintir orang saja yang memang kewarasannya juga terganggu.
Saya mulai berfikir bangsa kita ini sudah jadi bangsa yang sensitif dan reaktif. Menanggapi sebuah fenomena selalu dengan reaksi tidak dengan pertimbangan. Reaksinya macam-macam, kalo fenomenanya cocok, maka yang muncul reaksi pembenaran. Jika tidak cocok yang muncul reaksi menyalahkan. Hingga akhirnya bangsa kita sudah terpisah antara dua kutub besar, yang satu ultra-nasionalis, dan yang satu kontra-nasionalis.
Narasi yang dulu pernah dibangun hilang sudah. Narasi besar bahwa kita adalah bangsa ramah-tamah, cinta damai, berbudaya luhur, dan kaya raya hilang sudah. Sekarang yang terjadi adalah narasi kekerasan, tawuran, saling curiga, dan saling menghakimi. Apa yang bisa kita bantah? begitulah realitasnya.
Yang menggelikan lagi, kelakuan Ormas islam terbesar di bumi ini, yang sayapun ikut sebagai anggota rewo-rewonya, juga melakukan hal yang sama, menjijikan. Ternyata Ormas ini juga belum dewasa. Bagaimana saya mau bilang dewasa, atas nama negara dan pancasila, mereka melakukan hal-hal diluar batas kemanusiaan. Melalui satgas pemudanya, ormas ini membubarkan paksa kelompok islam ekstrem yang sedang melakukan kegiatan.
Saya sendiri sebetulnya seorang yang anti ekstrimisme agama. Dan bentuk ekstrimisme apapun saya tidak setuju. Termasuk ekstrimisme yang dilakukan Ormas yang saya banggakan itu. Saya juga akan mendukung sepenuhnya kampanye untuk menjaga keutuhan ideologi bangsa. Tapi saya juga berhak meminta kedewasaan dan keramahan. Gus Dur sendiri yang kita daku sebagai guru bangsa tidak suka dengan aksi-aksi ekstrimis, Gus Dur tidak suka dengan tindakan-tindakan kemarahan. Beliau juga bilang tho “bangkitkan Islam ramah bukan islam marah” maka bangkitkanlah juga bangsa yang ramah bukan bangsa yang marah. Mungkin karena prinsip anti marahnya ini Gus Dur jadi manusia paling lucu sejagad raya.
Panjenganipun poro kyai, tolonglah dewasakan kami, jangan kerdilkan nalar kami. Saya tidak ingin blunder sejarah terulang lagi, seperti zaman dulu kita pernah terlibat dalam penumpasan PKI dan seluruh simpatisannya. Iya mbah yai, itu blunder sejarah, saya paham kalo yang panjenangan lakukan zaman dulu itu demi Negara kesatuan dan ideologi pancasila. Tapi itu blunder besar dalam sejarah kita, kita melakukan pembantaian itu karena kita termakan oleh hasutan seorang jendral besar yang haus kuasa. Setelah jendral besar itu berkuasa toh kita tidak dapat apa-apa. Padahal kyai-kyai semua mengklaim bahwa Ormas kita adalah ormas paling besar, paling berjasa dalam upaya kemerdekaan bangsa, dan paling gigih membangun bangsa.
Tapi itulah yang terjadi, kita terjebak, dulu kita melakukan demikian karena kita tak mempertimbangkan apapun. Dan jangan sampai terulang kedua kalinya dalam aksi-aksi serampangan Banser dalam membubarkan kegiatan HTI.
Sekali lagi, jangan sampai ada blunder sejarah. Dulu sewaktu nyantri saya dapat ajaran utuk bertabayun dalam berurusan. Mungkin kita perlu bertabayun dengan sejarah sekarang. Kalau kemarin dalam simposium 65 Ormas kebanggaan kita masih “menyembunyikan” MAAF, mari kita tabayun. Jika sekarang kita ingin menumpas HTI demi pancasila, mari kita bertabayun lagi…
Lebih gayeng, jika bertabayun sambil ngudud dan ngopi…