Ketika seorang anak desa menjejakkan kaki kali pertama disana. Sorot lampu penerang jalan dan bising kendaraan, seperti umumnya sebuah kota, terlihat. Namun ‘disana’ bukan sebuah kota. Ia adalah kecamatan dalam kota.
Kecamatan itu disebut Ngaliyan. Ia terletak di sebelah barat kota Semarang. Di ujung barat dan selatan, ia berdekatan dengan kabupaten Kendal. Sedangkan dalam arah selatan, ia berbatasan dengan kecamatan Semarang Barat.
Anak desa itu kemudian tumbuh disana. Ia datang sebagai mahasiswa. Namun dalam organisasi, ia mendialogkan mimpi-mimpinya. Ia belajar berdialektika tentang apa saja dan dengan siapa saja. Di siang yang terik, ia berdemonstrasi. Pada sore yang teduh, di pojok kampus ia membaca dan berdiskusi— karena menjadi aktivis berarti memilih sepi.
Malam harinya, ia sambangi satu angkringan ke angkringan lainnya. Sesekali dengan membawa tema tentang negara yang gemar absen. Jika beruntung, ia akan menemu satu-dua kredo dari hasil perbincangan untuk ia bawa pulang dan menjadi status di fesbuk.
Anak desa itu bernama A.H. Mushonifin. Dan kini ia gelisah tentang Ngaliyan.
Kegelisahan itu ia tuangkan dalam tulisan berjudul: Membincang mimpi-mimpi pergerakan di Ngaliyan. Dalam tulisan tersebut, ia pungkas dengan satu kredo yang menyentak: “Mereka yang tahan miskin adalah para pemenang” dengan sebelumnya menyoal satu-persatu “pendaku revolusioner”, sebagaimana ia menyebut mereka, tumbang sebelum mimpi tentang Ngaliyan selesai didialogkan— apalagi diwujudkan.
Di batang tubuh tulisan, A.H Mushonifin menulis semacam sinisme: “Membincang mimpi gerakan di Ngaliyan selalu menggelora, menjadikan Ngaliyan sebagai sentrum gerakan…..Namun kemudian tanpa kita sadari kita menua dan bertambah miskin”
Sinisme A.H Mushonifin ini perlu dibaca dalam satu rentang waktu. Ketika narasi-narasi besar Ngaliyan masih dipercayai— tanpa olok-olok kekinian semisal, petuah revolusioner sebagai ‘bla-bla-bla rong ewu’ dan sosok-sosok garis militan ditumbangkan dengan panggilan sarkasme ‘kak hero’. (Asu tenan olok-olok ini!)
Saya, seperti juga A.H Mushonifin, kerap merasa beruntung mengalami masa ketika tokoh-tokoh masih ‘hidup’. Mimpi bukanlah candaan. Pertentangan-pertentangan sebagai adu militansi. Diskusi-diskusi digelar dimana saja. Tulisan sebagai alat propoganda. Demonstrasi sebagai ritual. Dan disela-sela itu membincang perempuan-perempuan ayu yang gagal dirayu.
Tapi ini suatu masa, yang seolah pernah diramalkan Nabi dalam sabda: Ketika Tuhan hendak mencabut ilmu di muka bumi, Ia tidak mencabut ilmu secara serta merta. Namun Ia matikan ulama’-ulama’-nya.
Ini semisal Ngaliyan yang kini banyak ditinggal tokoh-tokohnya. Ngaliyan sekarang ini.
Kemudian,
Akan datang suatu ketika— dan sudah mulai, di atas gelaran tikar pojok angkringan, akan lahir penceramah-penceramah yang bergumam: Jika ingin berhasil, tinggalkan Ngaliyan!— petuah yang tidak sepenuhnya saya percayai.