foto:google |
Sekarang emang udah zaman edan, gila, bener-bener gak waras. Jelas gak waras. Orang-orang semakin egois, individualis, narsis. Makin canggih dunia, semakin orang-orang cuman sibuk dengan dirinya-sendiri.
Zaman sekarang emang zamannya pamer eksistensi diri, tapi itu eksistensi semu yang cuma menonjolkan kehebohan semata. Setiap eksistensi yang muncul di zaman sekarang tak lebih hanya sekedar sensasi, dan sensasi tak pernah muncul dalam waktu yang lama. Sensasi sangat rapuh dan mudah luntur. Sensasi hanya dipergunakan oleh kaum pesolek yang hobi memperhias diri tanpa tahu diri.
Eksistensi yang muncul karena sensasi hanya akan mengasingkan diri dari dirinya sendiri. Herannya, banyak orang yang terjebak untuk melakukan itu. Krisis identitas dan minim perenungan menjadi pemicu utama banyak orang memuja sensasi. Krisis identitas karena manusia-manusia modern tak punya waktu luang untuk sekedar berdiam diri. Manusia-manusia modern sudah terlanjur tereksploitasi oleh derasnya “rasa butuh” yang membuat dia harus bekerja.
Tak ada yang salah dengan kerja, apalagi jika untuk memenuhi kebutuhan keluarga, itu wajib hukumnya. Bekerja akan sangat berarti jika sang-pekerja sadar akan tujuan pekerjaannya. Namun yang sekrang terjadi, para pekerja sudah tak tahu lagi apa tujuannya, mereka hanya mencari uang semata untuk memenuhi hasratnya semata.
Pemenuhan terhadap hasrat inilah yang membuat manusia dengan mudah melupakan dirinya sendiri. Manusia telah kehilangan waktu luangnya jika terus-menerus bekerja tanpa tujuan, dengan demikian, dia juga “lupa” akan identitas diri.
Manusia yang kehilangan identitas diri dengan sendirinya akan kesulitan untuk merenung. Perenungan tidak sama dengan melamun, saya lebih suka mengatrtikan perenungan dengan garis kehidupan yang dilalui oleh seorang manusia, sebut sajalah dalam bahasa romantis sebagai warna kehidupan. Perenungan akan mempermudah seseorang akan melakukan apa sekaligus mudah menentukan untuk apa dia melakukan sesuatu. Dan yang paling penting merenung, bisa membantu seseorang menjalani dinamika di seputar kehidupan dirinya, dinamika ini yang akan mengantarkan seorang manusia membebaskan dirinya dari keterkungkungan.
Minimnya waktu merenung, akan membuat sudut pandang manusia bagaikan kacamata kuda. Melihat kehidupan hanya linear seperti yang pernah ia kerjakan saja. Selain dari apa yang ia kerjakan, berarti bukan kehidupan yang normal. Dan di zaman sekarang, manusia-manusia “berkacamata kuda” semakin banyak bermunculan.
Krisis identitas dan kehabisan waktu merenung, seperti yang sudah saya jelaskan, adalah akibat dari terkesploitasinya kehidupan manusia kedalam “jurang” pekerjaan yang terlampau menyita waktunya. Orang-orang semacam ini jika suatu saat merasa sukses, mereka akan mudah merendahkan orang lain yang belum sukses atau yang suksesnya berbeda dengan mereka. Orang-orang seperti ini cenderung mengartikan waktu luang hanya sekedar sebagai waktu mencari hiburan. Mereka akan cenderung mematerikan waktu, bahkan mereka akan menghargai waktu sebagaimana harga kebutuhan pokok yang dinilai dengan standar kerja. Padahal waktu luang adalah sebuah space di mana manusia berkesempatan “berkenalan” dengan diri-sendiri dengan cara merenung.
Orang-orang yang krisis identitas, mereka akan cenderung mencari identitas dirnya dengan cara-cara narsistik, mempersolek diri dan mematerikan diri-sendiri. Apalagi di era medsos ini, kita tahu bagaimana orang-orang semacam ini menggunakan medsos. Sungguh menggelikan.
Semua problem identitsa diri karena memang mayoritas manusia merasa ada tuntutan materialistik yang serba cepat. Ada kecepatan ultra deras yang membawa nalar materialistik kedalam relung-relung jiwa manusia.
Dan di saat semua semakin cepat, mari sejenak kita berhenti dan menepi.