Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Reformasi Tak Bertuah

foto: terasjatim.com
Beberapa hari ini terasa melelahkan sekali. Aku belajar banyak tentang konsekuensi dan skala prioritas. Konsekuensi-konsekuensi yang sekarang ada di hadapanku tak mungkin kuabaikan.

Tumpukan tanggung jawab, kewajiban, dan proses pembelajaran akan ketabahan terus berlanjut. Aku masih mengingatnya saat-saat dimana aku dengan mantap mengambil keputusan. Ya, sejak dulu aku pun tahu bahwa setiap keputusan yang kuambil selalu memiliki konsekuensi di dalamnya. Jumlah manusia di negeri ini semakin bertambah, akan tetapi rasa kemanusiaan justru semakin menipis.

Dari proses pembelajaran akan konsekuensi, aku tengah mempelajari bagaimana caranya memilah keputusan dengan memperhatikan sisi kemanusiaan. Studiku tentang manusia, lingkunganku adalah lingkungan manusia, dan oleh karena itu aku ingin mempertajam rasa kemanusiaanku.

Aku hidup di zaman kemajuan teknologi, namun di sisi lain zaman ini menunjukan kemunduran nilai-nilai kemanusiaan. Banyak kulihat orang-orang lebih memilih mengabarkan berita kecelakaan melalui smartphonenya ketimbang menolongnya dengan segera. Darah-darah perempuan tumpah setiap hari dan selalu diberitakan dimana-mana.
Banyak kulihat orang-orang memakai jam mahal akan tetapi selalu terlambat dalam menghadiri suatu acara. Semakin lama pembunuhan menjadi hal lumrah bila keadaan seperti ini terus dibiarkan. Aku semakin khawatir dengan masa depan calon anak-anakku kelak, aku khawatir dengan generasi penerusku, dan aku khawatir tidak bisa ikut mencegah semuanya. Hal-hal itu terjadi karena konsekuensi dari keputusan yang telah diambil. Menikmati kecanggihan teknologi, kemudahan informasi, modernisasi, dan semua produk-produk di era sekarang.

Ada lagi yang membuatku khawatir, apakah semua manusia siap menghadapi konsekuensi atas keputusan yang mereka pilih? Ini bukan soal pilihan, tetapi soal prioritas. Masih adakah orang-orang yang memprioritaskan pendidikan moral dari pada intelektual? Masih adakah orang-orang yang memprioritaskan jalan tradisional dari pada jalan digital? Hal tersebut yang membuatku tertegun malam ini, aku belum bisa merasakan bahwa aku adalah manusia sebelum bisa memanusiakan orang lain.

Di luar sana, entah berapa orang yang berpikiran sama denganku. Ingin memperbaiki semuanya, tetapi memulainya dari mana? Dari diri sendiri? Cukupkah? Apakah dengan memulainya dari diri sendiri bisa menjamin perubahan? Bukankah sesuatu yang hebat, sesuatu yang bisa merubah dunia adalah sesuatu yang tidak dikerjakan sendirian?

Memulai dari diriku sendiri membuatku berpikir egosentris, membuatku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, sementara lingkunganku terus berubah, dan kehidupan sosial semakin rumit. Aku tidak bisa mencegah perubahan-perubahan yang terjadi saat ini karena perubahan yang terjadi sekarang adalah hasil dari keputusan-keputusan masa lalu.

Tentu kita tahu bahwa pada tahun 1998, ketika jalan reformasi telah terbuka lebar, banyak orang-orang optimis dengan keputusan yang mereka ambil. Mahasiswa dengan mantap meruntuhkan Orde Baru, mereka optimis bahwa reformasi adalah jalan yang lebih baik.

Namun, yang kita hadapi sekarang adalah hasil dari apa yang dahulu orang-orang putuskan. Memilih demokrasi; kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan apalagi yang semakin kesini semakin tidak karuan? Kebebasan sekarang semakin tidak terbatas. Tentu kita bisa melihat hasil dari kebebasan pers, tentu kita tahu bahwa kebebasan berpendapat berdampak apa saja, bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *