Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Puasa; Simbol Strategi Kebudayaan

foto:www1.mahdi-news.com

Ritual puasa yang kita kenal ternyata mempunyai kontinuitas historis yang jauh ke belakang. Ritual ini setua dengan usia keberadaan manusia. Dalam simbol keagamaan, Nabi Adam menjalani puasa (mengendalikan hawa nafsu) untuk tidak mendekati pohon khuldi. Nabi-nabi terkemuka lain juga memperkenalkan ritual ini kepada kaumnya berdasarkan syariat masing-masing yang jejak-jejaknya dapat kita temukan pada agama-agama besar, seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan bahkan Jaina, agama kuno di India. Puasa dalam agama Islam merupakan bentuk yang disempurnakan dalam ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Sifat ritual puasa yang abadi, universal dan berkelanjutan dalam agama-agama tersebut  mengundang rasa ingin tahu kita, apakah inti sesungguhnya dari manifestasi pesan Tuhan kepada umat manusia  yang terkandung dalam ritual ini.
Syahwat (Id)
Allah menciptakan dorongan syahwat atau nafsu pada diri manusia untuk mencintai wanita, anak-anak, harta benda emas dan perak, unta, binatang ternak dan sawah ladang sebagai kesenangan dunia (Q.S.3:14). Dalam konteks kehidupan modern, kesenangan dunia bisa berupa dorongan akan kepemilikan kendaraan, mobil, prestise, budaya glamor dan konsumerisme, uang, kekuasaan, dan sebagainya. Dorongan syahwat ini ternyata mendasari seluruh bentuk perilaku manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Karena itu, ia tidak dapat dimusnahkan. Namun, di sisi lain jika tidak diatur, diarahkan atau dikendalikan, dorongan tersebut dapat bersifat asosial dan destruktif, baik dalam masyarakat ataupun individu. Atas fakta ini Nabi pernah bersabda, Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu sendiri yang ada di dalam. Dan, Al-Quran memperkuat dengan menyatakan, Sesungguhnya nafsu itu cenderung pada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Tuhan. Sigmund Freud (1856-1939) telah melakukan studi penelitian  terhadap dorongan-dorongan ini dan menyebutnya   sebagai “Id. Faal Id  menunaikan prinsip kehidupan yang asli atau primer yang dinamakan dengan prinsip kesenangan” (pleasure principle). Tujuan dari prinsip kesenangan adalah untuk membebaskan individu dari ketegangan. Ketegangan dirasakan sebagai penderitaan, sedangkan peredaan dari ketegangan dirasakan sebagai kesenangan atau kepuasan. Prinsip kesenangan ini merupakan kecenderungan universal bukan hanya bagi  manusia tapi juga bagi  segala makhluk yang hidup. Id tidak dapat menahan ketegangan, ia ingin kepuasan yang segera. Id suka mendesak, impulsif, irrasional, asosial dan mementingkan diri sendiri.  Al-Quran dengan keras memperingatkan agar manusia tidak menempatkan syahwat atau Id sebagai Tuhan.  Dan, bagi yang tidak menggunakan pendengaran serta akalnya (sebagai pengendali atas Id)  maka mereka itu tidak lebih sebagai binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya (Q.S.25:43).
Reality Principle
Dalam psikoanalisa, unsur kepribadian yang berperan sebagai pengontrol atau pengendali terhadap Id adalah Ego. Berlainan dengan Id yang dikuasai oleh prinsip kesenangan, Ego dikuasai oleh “prinsip kenyataan” (reality principle). Kenyataan berarti apa yang ada. Tujuan dari prinsip ini adalah menunda terpenuhinya kepuasan sampai dihasilkan tindakan atau perilaku yang tepat. Dengan kata lain, penangguhan suatu tindakan berarti bahwa Ego harus dapat menahan ketegangan sampai ketegangan itu dapat diredakan dengan suatu bentuk tindakan yang rasional. Pembentukan prinsip kenyataan tidak berarti bahwa prinsip kesenangan ditinggalkan. Kesenangan hanya dibekukan untuk sementara waktu untuk kepentingan kenyataan. Akhirnya, prinsip kenyataan menuju juga ke arah kesenangan, meskipun seseorang harus menahan sedikit kegerahan sambil mencari kenyataan.
Modus Puasa
Puasa atau “shaum” (bahasa Arab) secara harfiah berarti menahan diri. Ilmu Fiqh mendefinisikan puasa sebagai perilaku menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya (pemenuhan dorongan biologis seperti; makan, minum dan hubungan seksual) dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dari tinjauan psikodinamika, mekanisme ritual puasa yang demikian mengandung pesan bahwa tidak akan terjadi perkembangan rohaniah (ego) jika setiap kali muncul dorongan dari dalam (syahwat) yang berbentuk keinginan seketika itu juga harus terpenuhi. Harus ada pendidikan, pendewasaan, dan pelatihan untuk Ego yang setiap saat berhadapan dengan realitas atau stimulus yang selalu membangkitkan syahwat tersebut. Meskipun pada tujuan aslinya ritual puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan namun dalam implementasinya ia mengandung dimensi ini. Dengan perkataan lain puasa merupakan simbol tentang pentingnya pengekangan Id demi penguatan dan pendewasaan terhadap Ego. Selanjutnya,  Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai derajat taqwa. Maka, taqwa di sini harus diberi pengertian kemampuan Ego dalam menunda dan  mengendalikan keinginan-keinginan syahwat yang tidak  dapat dimusnahkan tersebut  pada arah pemenuhan yang sesuai dengan ketentuan moral agama. Syahwat yang mencapai titik kepuasan melalui proses taqwa inilah yang kita sebut dengan nafsu yang dirahmati oleh Tuhan (Q.S.89;27).
Strategi kebudayaan
Herbert Marcuse (1898-1979), filosof mazhab Frankfurt, menyatakan bahwa peradaban umat manusia dalam bentuk konstruksi tatanan masyarakat  pada hakikatnya adalah hasil represi atau pengekangan terhadap Eros. Eros adalah dorongan-dorongan primitif (insting kebinatangan) yang dalam tulisan ini kita padankan dengan term syahwat atau Id. Represi adalah pengekangan sampai pada batas waktu tertentu sehingga berlangsung rasionalisasi, sublimasi dan pengarahan dorongan-dorongan primitif tersebut pada saluran-saluran yang lebih intelektual, perikemanusiaan, kultural dan artistik yang kemudian mewujud dalam bentuk sistem lembaga-lembaga. Proses ini merupakan situasi di mana prinsip realitas mendominasi  dan selanjutnya memodifikasi  prinsip kesenangan. Suatu proses yang menjadi prasarat bagi kemajuan.  Dalam sejarah perkembangan manusia, penggantian prinsip kesenangan dengan prinsip realitas adalah peristiwa traumatis yang hebat dan selalu terjadi. Namun, Freud memperingatkan bahwa kemenangan prinsip realitas tersebut tidak pernah sempurna.  Apa yang direpresi dan dikuasai oleh peradaban klaim prinsip kesenangan– tetap hidup dan eksis dalam peradaban itu sendiri. Alam tak sadar tetap menjaga dan memelihara tujuan-tujuan prinsip-prinsip kesenangan yang dikalahkan itu meskipun dipaksa mundur oleh realitas eksternal, atau bahkan tidak mampu menjangkau realitas tersebut. Namun, kekuatan penuh prinsip kesenangan tidak hanya tetap hidup di alam bawah sadar, tetapi dengan bermacam cara mempengaruhi realitas yang telah mengatasi prinsip kesenangan itu. Apabila  prinsip kesenangan mengambil alih kekuasaan dan mendominasi prinsip realitas maka di situlah awal kehancuran sebuah masyarakat atau peradaban.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menemukan jawaban mengapa Tuhan menetapkan ritual puasa sebagai kewajiban universal pada agama-agama dan berlaku sepanjang masa. Ritual puasa merupakan pesan simbolik bahwa potensi kehancuran peradaban atau masyarakat bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Dan, potensi ini tidak dapat dimusnahkan, ia selalu muncul setiap waktu. Karena itu, perilaku manusia selalu mendasarkan diri, mendapatkan ujian, dan penilaian ketaqwaan dari Tuhan. Sebaliknya, melalui ritual puasa manusia mendapatkan pelajaran bahwa untuk  membangun kembali masyarakat  dan peradaban harus dimulai dari pengekangan secara kolektif atas dorongan syahwat atau Id tersebut. Maka, ritual puasa dalam konteks ke-Indonesia-an bisa menjadi sebuah titik tolak dan strategi dalam merestorasi kembali pemerintahan dan budaya masyarakat yang sedang mengalami krisis berkepanjangan.[]
*Ahmad Fauzi, Peneliti di Samarra College Education and Culture Centre