foto:bangbeni.com |
Panggilan serapah buat siapapun yang aku benci, atau untuk sekedar guyonan. Setidaknya dikampung dulu, dalam pergaulan sehari-hari nama hewan ini sering dilontarkan dalam konotasi yang tidak menyenangkan atau dalam suasana bercanda. Yah, paling tidak derajatnya samalah dengan ASU. Tapi seberapapun derajatnya, hewan ini adalah salah satu jenis makanan andalan etnis-etnis minoritas di negeri ini. jujur saja, saya pernah tidak sengaja makan daging hewan ini, rasanya lebih enak daripada daging kambing lah, mau coba…hehe
Nah, bagi yang mau “nyoba” tanggal 23-29 ini di sriratu mall semarang mau diadain nih festival kuliner semarang untuk merayakan IMLEK, diantara menunya ada daging babi. Tapi inget, bagi yang mau nyoba aja, yang gak tertarik gak usah ikut-ikutan, apalagi protes…
Et-et… tunggu dulu, saya gak ada maksud ikut promosi acara ini. Saya juga masih kukuh kali gak mau makan babi (walaupun pernah gak sengaja makan). Saya cuman salut dengan kaum minoritas yang agaknya akhir-akhir ini semakin eksis untuk melawan “penindasan” simbolik kaum mayoritas…
Sepengaragan saya, hehe… daging babi hanya di konsumsi oleh 5% penduduk indonesia, dan 5% penduduk ini rata-rata tinggal di kawasan indonesia timur, pedalaman sumatra, sulawesi, dan kalimantan, serta ada kurang dari 1% kaum “pengkonsumsi” babi di tanah jawa. Nah karena yang mengkonsumsi daging hewan ini sedikit. jadinya hewan ini lumayan lestari dihutan-hutan. Tapi bukan ini yang kita bahas…
Kalau saya boleh memaksakan pendapat, BABI adalah simbol konsumsi dan kehidupan kaum minoritas di indonesia. di negeri tercinta ini masih banyak kaum minoritas yang tidak mendapat tempat layak baik secara sosial, moral, maupun konstitusional, walaupun ada kaum minoritas-pendatang yang cukup dominan di bidang perekonomian Indonesia yang mengkonsumsi hewan ini (kita sudah tahu siapa kaum itu)….
dalam konteks minoritas-mayoritas ini, BABI bisa menjadi pemicu sentimen yang lumayan tajam setidaknya di pulau jawa. Tapi tidak seperti yang pernah saya alami dengan orang-orang dayak dikalimantan dulu. di sana pernah mengadakan acara serupa dalam bentuk pesta. acaranya meriah bos, gak ada masalah, Karena orang dayak gak pernah konflik sama umat islam melayu. pesta dayak ini namanya berayah, sudah tentu hidangan babi sangat mendomidasi di pesta ini. tapi, orang dayak juga membuatkan bingkisan kuliner halal bagi orang melayu. dus, tidak ada gejolak pro dan kotra…
di semarang, Anggaplah festival kuliner babi ini diadakan sebagai bentuk perlawanan minoritas. Tapi bung,,, ini jawa, bukan kalimantan atau papua. Jawa itu kaum minoritasnya justru menindas mayoritas dan berlaku “seenaknya” , itu yang dirasakan kebanyakan orang jawa. Bahkan etnik minoritas ini disinyalir menindas minoritas yang lain pula, begitu desas-desus yang berkembang.
Di sini ini inti Masalahnya, yang mengadakan festival kuliner babi itu kaum minoritas yang kulitnya putih mulus, rambutnya lurus, dan matanya sayup (sipit maksudnya) yang sudah di gelari kaum pelit dan penindas. Maka wajar kalo kaum mayoritas pada protes. Dan yang protes udah ketahuan, mereka adalah kaum mayoritas kelas ploretar, yang merasa tertindas itu tadi…
Coba kalo festival ini diadakan sama orang dayak, salah satu etnis di indonesia yang konon katanya segan sama orang jawa, gak bakal ada geger-geger kaya gini…
Rasanya lebih heroik jika festival kuliner babi di jadikan simbol perlawanan kaum minoritas. Tapi jika pesta kuliner babi ini hanya digunakan sebagai bentuk “pamer” salah satu kaum atau etnis dalam perayaan hari besarnya, wah ini… bisa jadi masalah…
Kita harus lebih dewasa lagi. Mungkin bisa festival ini diadakan di daerah yang penduduknya memang meng-halal-kan babi. Sedangkan yang mayoritas juga ikut menghormati, toh babi memang kebutuhan protein bagi mereka…
Kita rindu dengan perjuangan kaum minoritas sekaligus merindukan keterbukaan kaum mayoritas. Mudah-mudahan polemik festival kuliner ini tidak menjurus kepada konflik horizontal…
yang pasti, BABI adalah simbol konsumsi dan kehidupan kaum minoritas di negeri ini….