foto:faisyulfaseptianjar |
Pernah merasakan sakitnya dihujat dan dicela? Pernah juga merasakan nikmatnya dipuja dan dipuji? Kalo itu terjadi di dunia nyata dan ada dihadapan kita, minimal kita bisa membalas celaan kalo dicela atau membalas pujian kalo dipuji, setidaknya bisa bilang trimakasih. Dan kalo celaan dan pujian itu dipanjatkan tidak di hadapan kita, setidaknya kita tidak merasakan, jadi tidak ada rasa sakit dihujat-hujat.
Persoalan menjadi lain ketika hujatan dan pujian dilakukan di medsos, semua kata-kata sampah bisa langsung terpublikasi tanpa kendali. Bagi yang dihujat bisa saja membalas, tapi, yang dibalas bisa juga tidak merasakan pembalasan dari lawannya. Malah yang terjadi, akan ada pendukung di masing-masing pihak yang akan melakukan serangan posting hujatan tanpa henti.
Kalo pertkaiannya ada di lapangan, setidakknya kita bisa melerainya. Nah ini di medsos, bagaimana caranya melerainya? Repot kan.
Saling hujat-menghujat memang udah jadi barang yang biasa. Bahkan bagi para penikmatnya, wilayah medsos jadi media paling aman buat melakukan perilaku kurang kerjaan itu. Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE, kenyataannya toh tidak efektif. Justru Undang-Undang ITE jadi objek hujatan juga.
Di dunia nyata, kalo kita sudah membalas hujatan akan terasa puasnya, apalagi kalo bisa meludahi sang penghujat. Kalo di medsos gak mungkin bisa puas, setelah kita membalas dengan satu balasan, lawan penghujat kita bisa seketika mendapat dukungan terus kita balik dihujat sama pendukungnya itu. Kitapun akan dapat dukungan, dan saling mengujat bisa semakin meluas sampai-sampai jejak hujatan pertama yang kita posting menghilang. Kita sebagai penghujat pertama sudah tidak bisa lagi mengendalikan serang-serangan seperti itu.
Perilaku sadisme semacam ini yang menjadi kekhawatiran pemerintah sebenarnya. Ada dilema ketika negara membebaskan sedemikan rupa ruang medsos tanpa kendali. Tapi jika negara membatasi ruang medsos, seketika itu juga negara dituduh tidak demokratis dan menutup media informasi.
Tak ayal, perang medsos jadi semakin terbuka dan setiap orang bebas mau memposting berita hujatan dengan berbagai model. Tak ketinggalan berita Hoaxnya. Dan herannya, para penikmat hujat-menghujat juga semakin merebak, bahkan ada seorang calon doktor dari kampus riset yang gandrung memposting berita-berita hoax.
Jika perang di dunia nyata bisa dilakukan gencatan senjata. Perang hujatan di medsos tidak mungkin pernah ada gencatan posting.
Persoalan jadi tambah kacau ketika perang hujatan di medsos ditunggangi kepentingan politik. Rumusnya sederhana, walaupun para politisi sadar Hoax, tapi nalar mereka sudah terlanjur tertutupi nafsu berkuasa. Dan yang tak mungkin dielakkan, para politisi bahkan membiayai berita hoax dan menyuburkan para pecinta perang hujatan.