Semarang adalah kota besar yang berpengaruh terhadap perkembangan Indonesia baik secara Sosial, Budaya, Politik, maupun ekonomi. Kota Semarang tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, masyarakat internasional juga mengenal Semarang sebagai Litle Netherland, yang memiliki situs-situs peninggalan Belanda. Selain itu, Semarang dikenal sebagai kota yang ramah dan damai, dan ini terbukti dengan tak terpengaruhnya kerukunan antar umat beragama di Kota Semarang terhadap isu-isu yang berbau SARA.
Dalam konteks sosial-humaniora, kota Semarang memang menjadi pionir kerukunan dan perdamaian. Namun, dalam konteks Sosial-Ekonomi, Kota semarang ternyata menjadi salah satu kota dengan ketimpangan ekonomi paling tinggi. Sama dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, di mana para pengusaha dengan modal besar bisa menguasai akses permodalan sedangkan masyarakat pinggiran seolah-olah tertutup jalannya untuk mendapat ruang usaha. Contoh dengan adanya perda-perda pro-investasi yang tidak memperhatikan keberadaan pelaku ekonomi kecil, dan SATPOL PP yang selalu mengancam keberadaan para PKL atas nama Perda RTRW atau perda tata lingkungan.
Isu terbaru adalah akan digusurnya para PKL yang sudah puluhan tahun berdagang di wilayah segitiga mas Semarang Tengah dengan dalil tata lingkungan dan keindahan wajah kota. Wilayah Semarang tengah dan sekitarnya memang banyak dincar oleh para pemodal untuk dibangun hotel, pertokoan, dan pusat perbelanjaan. Ada kecurigaan bahwa SATPOL PP dan aparat pemerintahan kecamatan dan kelurahaan di wilayah Semarang Tengah “dibeli” oleh para pengusaha besar itu untuk mengamankan kepentingan mereka.
Salah satu merebaknya isu-isu penggusuran disinyalir karena adanya Perda Kota Semarang Nomor 24 tahun 2011 tentang Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Semarang yang bertujuan untuk memperluas kawasan Ekonomi, Perdagangan Barang dan Jasa. Wilayah yang disasar meliputi sekitar pelabuhan tanjung mas dan stasiun Tawang, JL. Soekarno Hatta, JL. MH. Thamrin, JL. Gajah Mada, keluarahan Karangayu Semarang Barat, dan sekitar radius 10 KM dari simpang 5. Hal ini tentu saja rentan terjadi penggusuran, dan pihak-pihak yang rentan digusur pastinya adalah masyarakat kecil yang tidak memberi kalkulasi besar terhadap pertumbuhan ekonomi kota Semarang.
Sehingga ada kemungkinan, penggusuran warga Kebonharjo oleh PT KAI DAOP IV dipicu oleh adanya perda No 24/2011 ini, sekalipun gejala konfliknya sudah terlihat semenjak awal tahun 2000-an. Demikian pula penggusuran 21 rumah warga Plampitan yang berdempetan dengan hotel Plampitan 19 yang konfliknya dimulai tahun 2012. Penggusuran warga Kebonharjo dan warga Plampitan itu dlakukan oleh PT KAI dan Pemilik Hotel yang notabene adalah pemodal besar yang menggunakan dalil Perda No 24/2011.
Selain dua penggusuran itu, masih ada banyak lagi konflik antara pemodal besar dengan warga Kota Semarang. Salah satu isu yang masih bergulir adalah protes warga Perumahan Permata Puri Ngaliyan yang menolak pembangunan Apartemen Amartha View. Konflik sengketa pembelian tanah warga Kedungpani wetan dan silayur Ngaliyan oleh PT IPU untuk perluasan kawasan Industri Ngaliyan pada tahun 2014. Rencana Reklamasi dan penggalian tanah untuk pembangunan pipa Kalija Indonesia Power di daerah pertambakan warga Tambak Harjo Tanjung Emas. Yang masih ramai adalah rencana Reklamasi pantai di Kecamatan Tugu untuk perluasan Bandara Ahmad Yani yang menggusur pertambakan warga. Dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Selain perda No 24/2011 tersebut, kami kira masih banyak regulasi dari Pemerintah Kota Semarang yang perlu dievaluasi lagi terkait pemihakannya terhadap masyarakat kecil. Kami kira, seyogyanya para pengambil kebijakan, terutama DPRD Kota Semarang bisa pro-aktif dalam mengajak warga dan civil society untuk mengawal dan mengkaji kebijakan Pemerintah Kota Semarang dan juga mengadvokasi masyarakat Kota Semarang.
Selain masalah Sosial-ekonomi, juga ada berbagai masalah lain yang perlu mendapat pengawalan. Di antaranya, anak jalanan, pendampingan wanita tuna susila, pencarian dan penjagaan situs-situs bersejarah Kota Semarang, anak-anak putus sekolah, diskriminasi minoritas, diskriminasi terhadap masyarakat yang dituduh PKI, ekstrimisme agama, dls.
Kami tentu berkeyakinan bahwa Kota Semarang tidak semuanya mengandung masalah. Namun, kita sebagai warga, akan senantiasa menjaga dan merawat kota ini.