Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Pendidikan Untuk Anak Semua Bangsa, Termasuk Bangsa LGBT

foto:www.qureta.com
Suatu sore yang cukup mendinginkan badan karena baru saja teguyur hujan saat menuju ke tempat itu, Bumi Perkemahan nglimut. Dari jauh sayup-sayup terdengar suara pemimpin pasukan yang sedang membariskan anggotanya. Itulah mereka, adik-adikku yang unyu-unyu dari SMAku dulu.

Mereka yang sedang melakukan pelantikan bantara ini tiga tahun lebih muda dariku. Sejak aku lulus dari SMA, ini adalah kali pertama aku mengunjungi acara Pelantikan Bantara. Agak malu juga karena tak banyak mengenal adik-adik kelas yang sekarang. Tapi demi rasa rindu pada SMAku itu, kutepiskan rasa malu itu jauh-jauh dan mulai mengenal kembali wajah-wajah baru remaja SMA.

Saat itu di bawah atap gazebo saat aku dan seorang temanku beristirahat, mereka yang telah selesai dari kegiatan jelajah datang menghampiri kami. “Mbak minta kacangnya ya?” kata salah seorang dari mereka. Dia berperawakan kecil, berambut pendek dan bercelana. Dia adalah seorang laki-laki yang pertama menyapa kami. “Boleh” kataku sambil memberi segenggam kacang kepadanya. Sesaat setelah itu, kamipun berkenalan. Dia, Anis namanya.

Di penghujung senja, terdengar suara adzan dari mushola sekitar. Bu Iin, guru Agama kami mulai berkhotbah sampai berbusa-busa mengingatkan kami agar segera melaksanakan sholat maghrib. Kepada Anis, bu Iin menanyakan, “kamu mau sholat pake sarung apa mukena nis? Kamu pengen sing endi tak sediakan.” sontak teman-teman tertawa mendengarnya. Dengan santai Anispun menimpali, “Terserah njenengan bu.” Aku hanya nyengir sedikit, mungkin si cowok ini agak ke-cewek-cewek-an pikirku, sehingga bu Iin berani berkata begitu. Lihat saja, Kumpulnya saja lebih sering dengan para perempuan,he.

Malam sehabis api unggun, kami para senior berkumpul dan bercanda. Salah seorang dari kami yang memang sudah mendampingi pramuka cukup lama mulai membicarakan si Anis. “sejak kapan sih dia pacaran? apa ceweknya tau kalau dia cewek?” Hoh, seketika itu juga aku tersentak kaget. Matakupun terbelalak mendengarnya. Temankupun tertawa, karena mengetahui ternyata aku belum tahu tentang hal ini. Iapun menjelaskan, “iya, nama lengkap Anis itu Khoirul Anisah. Dia memang berpenampilan seperti cowok. Gak kelihatan ceweknya kan? Bilangnya, dia gak mau sekolah kalau tidak boleh pakai celana, mending di rumah saja, gitu. Ya karena sekolah kita mau menerimanya, akhirnya dia mau sekolah.” Seketika akupun menatap dan mengamati perangainya. Oh Anis, sungguh aku benar-benar tertipu, hohoh. Tak terasa pipi kananku tertarik ke atas, nyengir. “pacarnya juga perempuan loh”, tambah temanku itu. “kabarnya, pacarnya yang sekarang tidak tahu kalau dia perempuan, tahunya ya laki-laki.” Akupun semakin tertegun mengetahui hal ini.

Khayalku seketika terbang mengenang masa SMAku dulu. Aku mengenang salah seorang temanku yang mengalami hal yang sama dengan si Anis, Galih namanya. Bedanya hanya, jika Anis adalah perempuan berorientasi menjadi laki-laki, Galih adalah laki-laki berorientasi menjadi perempuan. Ia sangat akrab dengan kami para perempuan, suaranya lembut dan pandai bersolek. Tapi tak seperti Anis, Galih tidak sampai memakai rok ke sekolah, hehe. Pernah suatu hari aku tanyai dia tentang apa cita-citanya. Dia bilang, dia ingin menjadi tukang make up artis. Dia memang pandai dalam hal tata rias. Sekarangpun dia tengah meniti karir menuju kesana.

Mengingat dua kasus ini, aku diam-diam menaruh kagum dengan sekolahku itu. Tak peduli orientasi seksual yang para siswanya miliki, dengan tangan terbuka dan ramah, ia menerima mereka yang mau belajar. Karena sejatinya, sekolah tempat mencerdaskan anak semua bangsa tak perlu memandang apakah sianak berkelainan seksual atau tidak untuk bisa menerimanya bersekolah disana. Justru, tempat pendidikan itulah yang akan membangun serta membentuk karakter baik pada diri mereka. Tempat pendidikan yang akan terus membantu anak-anak bangsa ini menggapai mimpi dan cita-cita mereka.


Barangkali banyak dari kita yang mengaku menolak LGBT entah dengan alasan agama atau moral dan HAM, sesungguhnya belum pernah bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka. Kita berpendapat dengan menukil dalil orang lain, bahkan sebagian dalil Tuhan dengan mengesampingkan sisi kemanusiaan dan hak yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Tak mau tahu bahwa dalam psikologi mereka, mereka tersiksa jika harus menuruti kemauan normal kita. Pernahkah anda duduk berdampingan menjalani aktifitas normal bersama mereka ini? Jika belum, janganlah terburu-buru menaruh stigma buruk terhadap mereka, karena itu sangatlah tidak terpuji, kata guru les anak kelas lima SD ini, hehe.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *