foto:merdeka.com |
“ingat-ingatlah, berapa kali aku ajari kalian? Emas itu biang keladi di daratan, mutiara itu biang keladi di lautan. Tambah banyak barang emas masuk kemari, tambah banyak kemungkinan bajak datang.”
(Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai)
Emas dan mutiara adalah sebuah benda mati yang tak bernilai jika sejarah tak menempatkan keduanya sebagai lambang kekuasaan. Dengan emas semua dapat ditukar, dapat dibeli, tak pernah ada yang mempertanyakan kenapa emas bisa sedemikian kuatnya. Tak ada logam apapun yang kemuliaannya dapat menyamai emas.
Sebuah perusahaan besar datang kebumi papua tahun 66, tahun 67 mereka melakukan kesepakatan kontrak karya yang hingga saat ini membuat mereka berkelakuan semau-mau mereka sendiri. Menyewa aparat keamanan tanpa melalui pemerintah, menggusur warga tanpa mempedulikan pemerintah, membagi untung dengan pemerintah tanpa memikirkan keuntungan bagi warga papua, si tuan rumah yang mereka tumpangi.
Semua kesepakatan hanya diputuskan sepihak oleh “kerajaan” yang angkuh ini. “kerajaan” yang tak punya rakyat, tak punya wilayah, juga tak punya kedaulatan. Tapi dia mampu menginjak-injak harga diri bangsa yang berdaulat punya penduduk 250 juta jiwa. Kesewenang-wenangannya sudah menyerupai bajak laut yang menyeramkan lagi menghinakan.
Selayaknya bajak, tak mungkin dia membajak jika sasarannya tak punya emas-mutiara dan kekayaan. Bajak bukan segerombolan manusia bodoh yang menyerang dengan serampangan. Mereka terorganisir, mereka punya senjata, mereka juga melengkapi diri dengan tameng hukum.
Penjahat yang cerdik-licik lagi terorganisir jauh lebih baik ketimbang orang baik yang bodoh dan tak tertata, begitu syayidina Ali berkata. Kata-kata mutiara dari khulafaurrasyidin keempat ini sudah terbukti di bumi pertiwi ini. Sang bajak jauh lebih cerdik ketimbang penduduknya yang baik-baik.
Bahkan, kebaikan penduduk negara kepulauan ini dimanfaatkan buat keuntungan si bajak sendiri. Kebaikan seolah barang rongsokan yang tak terpakai, rongsokan yang hanya bisa ditukar dengan recehan dari tukang loak. Kebaikan adalah barang menjijikan bagi si bajak.
Bajak di bumi pertiwi tak hanya berupa Freeport. Ada bajak-bajak lain bernama Semen Indonesia, Chevron, Caltex, Exxon, dll. Semua-mua yang dicari adalah emas, entah emas asli atau emas hitam untuk bahan bakar dan bahan bangunan.
Semen Indonesia sudah mengaduk-aduk tanah Rembang, Chevron menggali minyak di Sumatra dan Kalimantan, Exxon di Blora. Sekali lagi, tuan rumah yang baik nan lugu tak kebagian apapun. Tuan rumah layaknya bendoro tak berpengawal. Bahkan pengawal yang harusnya membela bendoronya malah memihak pada si bajak.
Si pengawal tanpa rasa bersalah malah minta bagian dari si bajak, barang sejumput sekalipun. Hilang sudah kehormatan si pengawal yang kemudian kepalanya diselipkan di sela-sela bokong si bajak. Si pengawal hina, bendoronya dikhianati demi sejumput persenan dari si bajak.
Nusantara tak lagi punya pengawal setia. Semua pengawal malah mendaku sebagai bendoro yang harus dihormati, padahal dia tertunduk tak berdaya di hadapan bajak penguras emas rakyat.
Salahkah Nusantara yang memiliki emas segunung dan mutiara sepalung samudra…?? Apa harus bumi ini kering gersang tanpa emas-mutiara biar bajak tak pernah datang…??