|
foto:malaqbi.com |
Kalo ada yang ngangenin dari aksi demonstrasi, pasti suara triakan-triakan yang menggema di jalanan. Beberapa hari terakhir saya bernostalga dengan suasana itu dalam latihan orasi aksi. Gila, demonstrasi harus ada latihannya. ah, yang penting nostalgianya. Bener-bener bikin merinding.
Nih, teks orasinya saya kasih lihat…
Hidup Mahasiswa!!
Hidup Keadilan!!
Hidup Rakyat Indonesia!!
Selamat pagi, Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang seharusnya menjadi tonggak peradaban bangsa namun tak ubahnya boneka yang mudah dipermainkan bangsa asing.
Selamat pagi, Bapak Ganjar Pranowo yang sampai saat ini masih berlindung dibawah ketiak payung hitam kekuasaan dan terus menjilat keringat rakyat.
Selamat pagi, pak polisi, tentara, dan aparatur negara yang slalu bersanding dengan kami di jalan tapi justru menjadi pembungkam suara.
Selamat pagi, kawan-kawanku mahasiswa yang selalu menjadi garda terdepan dalam mengawal aspirasi rakyat. Kami mahasiswa tak akan gentar untuk terus menyuarakan keadilan. Kami massa yang terkoordinir dan rapih. Kami adalah satu dan datang kesini dengan satu tujuan.
Kami dari Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan datang ke gedung DPR untuk meminta pertanggungjawaban kepada para pemangku kebijakan di negeri atas rusaknya ekologi di negeri ini.
Inalillahi wa inailaihi rojiuunn..
Berita duka untuk seluruh elemen bangsa, telah mati hati nurani para petinggi negeri yang tersisa kini hanya mereka kaum berdasi, buta akan penderitaan rakyat dan tuli atas rintihan suara rakyat yang belum tersampaikan. Betul kawan-kawan ?
Seperti yang kita ketahui kawan, bahwasannya negeri kita tengah mengalami darurat ekologi dan agraria. Terbukti dengan banyaknya konflik agraria yang terus mengancam kesejahteraan rakyat dengan pengalihfungsian lahan menjadi kawasan industri. Sepakat kawan-kawan?? (Sepakat!!)
Sejak lahirnya UU Pokok Agraria 1960 pasal 6 disebutkan bahwa semua kepemilikan dan kepengelolaan tanah sudah memiliki fungsi sosialnya tersendiri. Dengan begitu, siapa pun yang menguasai, memiliki, atau mengelola atas tanah, mesti mau tidak mau mengindahkan kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tanah tersebut, agar penggunaan tanah tersebut tidak menyengsarakan rakyat.
Namun sayangnya, maksud dan tujuan UU Pokok Agraria yang awalnya berorientasi untuk menciptakan kesejahteraan sosial, justru hingga kini masih terbelenggu. Ini bisa dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dari tahun 2006 sampai tahun 2015 telah tercatat ada 252 kasus dengan luasan 400 hektar yang mengakibatkan 5 orang tewas. Sungguh miris, ironis dan tragis!!
Sebagai contoh nyata kawan, saudara kita masyarakat Rembang khususnya didaerah Pegunungan Kendeng tengah berduka. Lahan hijau yang dulunya sebagai sumber mata pencaharian kini telah dirampas oleh koorporasi asing menjadi pabrik-pabrik.
Seperti yang kita ketahui, dalam UU No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih ditetapkan sebagai wilayah konservasi yang harus dilindungi dan dikelola dengan optimal agar terhindar dari kerusakan. Selain itu telah disebutkan dalam Peraturan Daerah no.6 tahun 2010 pasal 63 diperkuat dengan Peraturan Pemerintah no.26 tahun 2007 pasal 53-60 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dijelaskan bahwa CAT Watu Putih sebagai kawasan resapan air dan masuk dalam wilayah kawasan lindung goelogi dan tidak boleh ditambang.
Telah kita ketahui bersama kawan, pada tanggal 11 April 2016 para Kartini dari pegunungan Kendeng melakukan aksi protes dengan mengecor kakinya dengan semen. Namun, usaha merekapun tak kunjung membuahkan hasil yang sesuai. KarenaPengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, memutuskan tidak menerima gugatan warga Rembang terkait pembangunan pabrik semen. Jelas para penegak hukum di Indonesia tidak pro dengan rakyat kecil.
Contoh lain kawan, saudara kita yang berada di desa Surokonto wetan tengah bergulat dengan pejabat yang memakai UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) No. 18 Tahun 2013 sebagai kedok untuk melancarkan aksi busuknya. Terbukti, setelah 2tahun sejak disahkan sudah lebih dari 10 kasus menjerat masyarakat adat, petani dan buruh. Tak satupun kasus yang menyeret perusahaan atau pengusaha. Total ada 400 hektar di tiga desa, dua kecamatan yang menjadi lahan tukar guling. Padahal telah jelas masyarakat Surokonto yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani mempunyai hak untuk menggarap lahannya demi mencari sesuap nasi. –Betul kawan??- (Betul!!)
Selain itu, PT. Perhutani pada tanggal 30 Maret 2016, melakukan intimidasi terhadap warga Surokonto Wetan dengan mengadakan upacara simbolik penanaman pohon yang juga diiringi oleh 400 aparat Kepolisian, Brimob, dan TNI di Jawa Tengah. Kearogansian PT. Perhutani ini berlanjut dengan adanya pelaporan ditangkapnya 3 warga Surokonto wetan dengan tuduhan melakukan pembalakan liar. Bila memang PT. Perhutani beritikad baik pada warga Surokonto Wetan, semestinya PT. Perhutani tidak dapat dengan semena-mena melaporkan tiga warga tersebut. Tiga warga Surokonto Wetan yang memfasilitasi perjuangan hak-hak petani tersebut, justru dituduh sebagai orang-orang kriminal.
Berkaca dari dua kasus diatas, ini membuktikan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah! Terlalu banyak oknum-oknum tidak bertanggunjawab yang menyelewengkan kepentingan rakyat.
Oleh karna itu, kami menawarkan kepada Bapak Joko Widodo untuk melakukan diskusi terbuka yang lebih transparan terkait permasalahan atau konflik agraria yang semakin marak di Indonesia. Dan kami sebagai penyambung lidah masyarakat Indonesia meminta kepada pemerintah untuk lebih mementingkan kelestarian lingkungan daripada ekonomi.
Lagu
Hidup mahasiswa!! Hidup Rakyat Indonesia!! Hidup Keadilan!!
Kami dari Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan dengan ini menuntut :
- Kaji ulang UU PA’60
- Usut tuntas kasus kerusakan lingkungan
- Tegakan supremasi hukum
Apabila tuntutan kami tidak segera direalisasikan, maka hanya satu kata untuk segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Yaitu apa kawan-kawan?? (Lawan, lawan, lawan!!) Camkan itu pemerintah!!
Duduk tertindas atau bangkit melawan, karena diam adalah sebuah bentuk pengkhianatan!
Hidup Mahasiswa!! Hidup Rakyat Indonesia!!
*Tim Orasi Aksi Fak SAINTEK UIN Walisongo