Setiap kelompok pasti mendambakan menjadi yang terbaik, paling di segani dan di hormati. Biasanya sebuah kelompok melakukan gerakan yang merepresentasikan visi dan misinya. Setiap kelompok punya cara untuk merealisasikan visi-misinya itu, ada cara ekstreme, koopratif, dan fleksibel. Tentu setiap cara mengandung konsekwensi yang harus ditanggung. Nah, konsekwensi itu bisa dipahami dengan membaca dialektika antara idealisme (sesuatu yang ideal) dan realitas (kenyataan yang akan terjadi).
Cara-cara ekstrem ditempuh karena ada keyakinan idealisme yang dibawa pasti akan memunculkan realitas yang suasuai dengan idealisme itu. Berbeda dengan cara koopratif dan fleksibel yang menyadari bahwa idealisme tak bisa terwujud sempurna dalam realitas. Masalahnya, dalam membangun sebuah visi-misi, kita sering terjebak hanya dalam idealisme semata. Kita jarang sekali membaca atau memprediksi, realitas apa yang akan terjadi.
Visi-misi dalam sebuah kelompok atau organisasi, bahkan sebuah bangsa, tergantung latar belakang sosial, politik dan keagamaan mereka. yang pasti setiap jawaban yang di berikan selalu bergerak dalam tiga hal; ideal, realitas-sejarah dan mitos. Tiga kaki yang membangun klaim hampir semua kelompok masyarakat.
Idealisme itu berakar pada kesadaran sepenuhnya bahwa yang paling mendasar untuk membangun kelompoknya menjadi yang terbaik dan di hormati adalah cara berpikir yang maju dan mandiri, tidak menggantungkan diri kepada kelompok lain serta selalu mampu mencipta dan mengatur. Walaupun dalam kenyataannya justru terjebak dalam kekolotan. Sering terjadi jika seseorang sudah merasa benar cara berpikirnya, tanpa disadari, menganggap sudut pandang yang berbeda sebagai sesuatu yang tidak tepat.
Idealisme itu bersifat nilai dan abstrak. Ia bukan penemuan yang dipatenkan. Tidak ada pembatasan kepemilikan. Ia lebih mirip puisi yang kaya kalimat bersayap dan simbolik. Idealisme Bisa ditafsir dan dimaknai sendiri oleh setiap orang dan setiap kelompok tergantung kultur-budaya bahkan latar belakang politiknya. itulah sebab banyaknya kelompok yang mengeklaim dirinya yang paling ideal.
Kalaulah ada kelompok yang mengatakan mereka selalu menampilkan sesuatu yang ideal, sebenarnya mereka sedang berbicara hal yang abstrak. Di dataran realitas, tidak selalu seperti itu. Ada faktor yang menjadikan sebuah idealisme menjadi realitas. Faktor itu kita sebut saja sejarah. Masalahnya “sejarah” sudah “menyeleksi” realitas dan kenyataan seperti apa yang harus dimunculkan. Seleksi atas realitas itu kemudian memunculkan amnesia selektif, amnesia yang hanya memilih hal-hal yang baik untuk diingat. Amnesia yang mengubah realitas sejarah menjadi romantisme. Nah, ketika romantisme sudah membanjiri nalar berpikir kita, maka muncullah ekstrimisme, entah ekstrimisme dalam gerakan atau dalam pola pikir.
kita ambil contoh, kita pasti mafhum bahwa dalam islam ada gerakan-gerakan ekstrem semacam itu. Pola pikir semacam itu terbentuk karena keyakinan akan konsep ideal islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, di manapun islam ada pasti membawa kebaikan.
tapi ada catatan sejarah islam yang sudah diseleksi sedemikian rupa. Contoh, waktu kholifah mu’awiyah bin sufyan berkuasa, dengan teganya ia ingin menghabisi kaum syi’ah. Dan masih banyak sejarah gelap islam yang terseleksi, saya tak bisa sebut satu persatu sejarah itu.
Anda tahu, amnesia selektif adalah kekhasan kita umat manusia. Mengingat dan menyimpan hanya yang kita mau, lalu mendorong yang tidak kita inginkan ke pinggir ruang ingatan. Dan ketika ranah ideal dan realitas bertemu menjadi satu, para fanatis kelompok melakukan “proses seleksi” yang sama. Sehingga yang mereka ingat hanyalah hal-hal yang mereka anggap cocok dengan anggapan, khayalan, dan bayangannya saja.
Tentu saja agama dengan sejarahnya yang sudah begitu panjang dalam peradaban umat manusia, di mana setiap agama mempunyai satu masa, sekian banyak sejarah, sekian banyak nabi dan tokohnya yang menampilkan heroisme perjuangan. Bahwa ada juga yang kebalikannya, tidak masalah. Seperti saya katakan: yang berkebalikan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal akan didorong untuk dibuang dan dilupakan dan dikatakan bukan sejarah kami, tidak sesuai dengan filosofi kami dan lain sebagainya. Di sinilah kemudian mitos mempunyai celah untuk masuk, menjembatani realitas dan idealisme. Mitos, seperti kita tahu, pengertian sederhananya adalah dongeng untuk menjelaskan realitas yang dihadapi manusia terkait dengan “sesuatu” yang lebih besar (supra).
Mitos dalam agama, adalah sebuah upaya untuk mendudukkan gaya ke-agamaan dalam atmosfer ideal. kemudian amnesia selektif adalah prosesnya, upaya untuk melakukan seleksi ingatan dengan cerita sejarah, dongeng, atau legenda yang di inginkan. Datanya tersedia di perjalanan sejarah agama yang bersangkutan.
namun idealisme, realitas-historis, amnesia-selektif dan mitos tidak bisa dilekatkan dalam perspektif positif dan negatif begitu saja. Jika kita mampu menggunakan hal ini sebagai alat untuk membangun gerakan, hal ini mampu menumbuhkan motivasi yang membara dalam membentuk watak fanatisme bahkan patriotisme.