Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Menelanjangi Sikap Anti-Terorisme


foto:www.okezone.com

Terorisme adalah fenomena yang sudah akrab di telinga masyarakat indonesia. Namun sayang istilah ini selalu dikaitkan dengan agama islam. Apakah benar terorisme adalah sebuah sikap keagamaan umat islam? Kita akan ulas di sini. Terorisme adalah extraordinary crime yang tindakannya mengarah kepada menanamkan rasa takut secara massif dan sistematis. ada tiga hal yang berkaitan dengan itu; yaitu pemusnahan massal, perilaku korup, dan  peredaran  narkoba. Hanya saja dalam UU anti terorisme hanya terbatas pada pemusnahan masal saja, bahkan dalam prakteknya pencegahan terorisme hanya mengarah kepada kelompok agama saja utamanya islam. Tidak salah memang, Cuma jika tindakan pencegahan tindak terorisme hanya diarahkan kepada kelompok islam, maka stigma yang muncul adalah agama islam yang melakukan tindakan terorisme.
Kenyataan ini mendorong beberapa ulama terkemuka menyatakan sikap bahwa islam menolak segala bentuk tindakan terror dan menganggap terorisme di luar jalur ajaran agama. Jika ada umat islam yang melakukan tindakan terror maka akan segera dicap tidak memiliki pemahaman agama yang mendalam. Setiap tindakan terror yang mengarah kepada kaum muslim juga akan dianggap sebagai upaya memecah-belah umat dan melemahkan bargaining position di hadapan penduduk dunia.
Akibat dari perilaku terror ini jelas, menurut tokoh-tokoh ulama tadi, akan berdampak kepada anggapan bahwa islam gagal mewujudkan kedamaian sesuai dengan arti kata islam itu sendiri. Dan agama islam akan dianggap sebagai pemicu terjadinya tindakan terorisme yang bersekala internasional.
Memang harus kita akui bersama, bahwa para pelaku tindakan terorisme adalah sebagian umat islam yang berhaluan keras (ekstrem). Secara norma hukum hal ini harus ditindak, namun kita juga harus menjernihkan sejernih-jernihnya istilah terorisme itu. Jangan sampai masyarakat terjebak kepada opini yang tak berdasar akan stigma islam dalam terorisme. Karena penjumbuhan terorisme kedalam agama islam hanya akan menjebak secara epistemologis yang merasuk kedalam asumsi setiap individu masyarakat dan sulit untuk melepaskan itu.
Bahkan tidak semua aliran islam garis keras berperilaku teror. Kita sepakat bahwa islam harus membawa kedamaian dan kesejukan dalam masyarakat. Umat islam juga harus menjadi pionir toleransi dan keberagaman. Islam juga mengajarkan kasih sayang. Persoalan muncul ketika ada sebagian umat islam yang merasa sebagai umat yang paling benar dan mengkafir-kafirkan kelompok lain. Dan ketika suara mereka tidak didengar, mereka melakukan tindakan diluar batas norma kemanusiaan. Biasanya mereka melakukannya dengan merendahkan ajaran kelompok agama lain, lalu kemudian membenarkan ajaran sendiri, kemudian setelah itu mereka melakukan gerakan-gerakan ekstrem. Tapi harus dilihat, hal semacam ini hanya dilakukan oleh sekelompok kecil dari umat islam, bahkan mereka yang dianggap terorisme adalah umat yang belum matang dalam beragama, maka tidak layak jika stigma terorisme dilekatkan kedalam islam.
Secara istilah kita juga harus memilah istilah ekstrimis dan teroris, jika ekstrimis adalah umat islam yang menjalankan keislaman dengan gaya yang kaku. Maka teroris adalah kekerasan yang menimbulkan ketakutan. Kedua istilah ini sangat berbeda. Ekstrimisme biasanya ditandai oleh gerakan keagamaan yang doktriner, determinan, menekan, dan menuntut umatnya agar tidak keluar dari koridor standar al-qur’an dan hadits. Terorisme muncul ketika ada sebagian kelompok kecil yang merasa ajaran mereka yang benar disumbat sehingga mereka merasa harus melawan.
Kita tidak bisa serta merta menuduh islam sebagai biang keladi dari semua tindakan terorisme di dunia. Aktifitas dialog anatar umat juga bisa dilakukan agar stigma islam bisa keluar dari bingkai terorisme.
Di Indonesia, terorisme selalu mengalami perubahan gaya, bentuk, pola propaganda, rekruitmen dan jaringannya. Terorisme seakan tidak pernah mati, dan yang paling berbahaya bukan hanya panggung aksi yang dipenuhi dengan pengeboman dan tembak-tembakan, tetapi paham dan ideologinya yang mampu merubah pandangan dan pola pikir masyarakat.
Salah satu kelompok umur yang paling rentan terkena dampak doktriner adalah kalangan generasi muda. Tampaknya bukan menjadi rahasia lagi jika mayoritas pelaku bom bunuh diri adalah para anak muda usia 17-30 tahun. Generasi muda harapan bangsa ini telah nyata menjadi target doktriner para mentor paham-paham terorisme.
Memang ada banyak alasan untuk menganalisa kerentanan generasi muda dari pengaruh ajakan dan propaganda kelompok radikal terorisme. Disamping karena faktor psikososial kalangan generasi muda yang dipenuhi semangat dan idealisme yang tinggi, minimnya pengetahuan terkait bentuk, pola dan perkembangan terorisme menjadi salah satu alasannya.
Menelaah Clash of Civilization
Samuel P Huntington pernah membuat karya besar yang menggambarkan ajaran “jihad” dalam Clash of Civilization. Dalam karyanya tersebut, Huntington mensinyalir benturan peradaban akan semakin keras jika dibumbui oleh pertarungan antar agama. Tafsir yang kaku dan hyper-fanatik terhadap agama akan menjadi pemicu meledaknya peperangan. Sudah pasti, karya Huntington itu menjadi pembenar jika ada kekerasan yang bermotif agama.
Dilihat dari permukaan, tesis Huntington memang seolah-olah akurat. Persoalan yang muncul kemudian adalah, sejauh mana Huntington melihat daya tafsir sekelompok orang terhadap keyakinan agamanya. Huntington sendiri belum begitu gamblang dalam menjelaskan mengeai makna jihad. Di sini kami tidak hendak mengkritik atau bahkan menyalahkan Huntington, akan tetapi alangkah bijkanya jika kita mampu secara independen menelaah benturan peradaban yang mugkin sedang terjadi.
Mengikuti tesis Frances Fukuyama kami terpengaruh untuk menyebut abad 21 sebagai akhir dari sejarah. Dimana pemenang sejarah sudah terlihat jelas, dia adalah yang menguasai peta Geo-politik, Geo-ekonomi, dan Geo-strategi. Gerakan-gerakan ekstrim keagamaan yang muncul pastilah tidak terlepas dari itu semua. Seperti halnya Al-qaeda ataupun ISIS yang dalam menjalankan gerakannya mendapatkan “perlindungan” intelejen dan fasilitas keamanan serta jaminan eksploitasi minyak di kawasan perbatasan irak-suriah. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat organisiasi terror tersebut sebagian besar anggotanya adalah fantis agama yang tidak mendapat tempat di negara dan agamanya, dan mereka membutuhkan “suaka” politik juga penadah eksploitasi minyaknya.
Di lain sisi kelompok Al-Qaeda dan ISIS menganggap dan meyakini hanya hasil tafsir meraka saja yang benar, maka sudah cukup bagi mereka untuk mengkafirkan kelompok lainnya meskipun bernaung pada agama yang sama. Sehingga, jika benar pula bahwa para teroris memang berasal dari kelompok aliran agama tertentu, maka tuduhan salah atau sesat terhadap perbuatan teror yang dilakukan pasti justru akan semakin memperkuat perbuatan teror tersebut. Sebab, hukum alam telah membuat niscaya logika pikir manusia bahwa nilai kebenaran selalu beriringan dengan kritik. Tidak ada segolongan manusia yang berhak menilai salah sebuah hasil tafsir kitab suci. Apalagi, atas nama agama, kita sama-sama yakin bahwa kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan.
Model kelompok keagamaan yang pemahamannya sempit dan tertolak oleh negara dan agamanya akan dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dan dalam perspektif Geo-strategi mungkin saja ada pihak dengan kekuatan yang sangat besar sedang menunggangi Al-qaeda dan ISIS.
ISIS dan terorisme modern
Sekarang ini, ISIS menjadi term terorisme yang sering di perbincangkan. Kelompok ini muncul akibat merebaknya fenomena perang di kawasan timur tengah (arab spring). Kelompok ISIS sebetulnya adalah sub-kelompok dari Al-Qaeda yang gaya gerakannya paling keras dibandingkan kelompok radikal yang lain.
Awalnya kelompok ini berjuang di irak di masa invasi AS ke Irak tahun 2003 yang dipimpin oleh Abu Mush’ab Al-zarqawi, salah satu pejuang kepercayaan Ossama Ben Ladden karena kecerdasannya dalam menyusun strategi serangan. Namun, ketika Al-zarqawi terbunuh pada tahun 2006, para pejuang di Irak membentuk suatu dewan syura yang kemudian mendirikan Daulah Islam Irak (DAI) dan pimpinan terpilih saat itu adalah Abu Umar Al-baghdadi. Tahun 2010 Abu Umar meninggal lalu digantikan oleh adiknya yaitu Abu Bakar Al-baghdadi yang kurang dikenal oleh mujahid senior.
Ketika terjadi Revolusi Suriah tahun 2011 sebagian pejuang Irak asal suriah pulang kampung dan ikut berjuang melawan Bashar Al-Assad dengan membentuk perkumpulan Jabhat Al-nushrah (JN). Tahun 2013 ketika kelompok ini mampu menguasai kota-kota besar di Suriah Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan Daulah Islam Irak dan Syam / DAIS atau ISIS (islamic state in Irak and Syam) dalam bahasa Inggrisnya. (kadang disebut ISIL karena sham diganti kata Levant dalam bahasa Inggris).
Perang tak henti di suriah. Lantas terror dan serangan di paris,  Lebanon, Istanbul, Jakarta dan yang paling muttakhir di Brussels belgia. Opini yang kuat dalam rangkaian serangan ini adalah tanggungjawab ISIS. Dalam menangani aksi terorisme kali ini AS telah mengeluarkan program CVE (Countering Violent Extremisme). Pendekatan gerakan anti terror kali ini lebih soft tidak seperti gerakan militer  brutal AS yang menyerang irak dan Afganistan. 
Upaya penjernihan dan koreksi atas semua upaya pencegahan terorisme
CVE dilakukan dengan kampanye, rapat terbuka, seminar, pendekatan keberagam kelompok agama dan memerankan secara penting pada kalangan kelompok agama baik tingkat local, nasional, maupun internasional. Sosialisasi CVE dilakukan dari hotel bintang limahingga di pondok pesantren untuk menyadarkan bahaya terorisme akibat pemahaman agama yang lemah. Termasuk akbiat dari perang suriah yang tak kunjung usai, gelombang pengungsi ke Eropa, dan ‘hit and run’ soal aksi terorisme di beberapa Negara.
Ada sebuah dokumen kesepakatan penanggulangan anti terorisme yang sangat menarik yaitu ‘Pernyataan Abu Dhabi: Menolak Kekerasan Ekstremisme Agama dan Mendorong Kesejahteraan Bersama’ yang dideklarasikan pada tanggal 13 desember 2014 oleh para tokoh pemimpin, cendikia dan organisasi berbasis agama islam dari berbagai Negara. Dokumen ini juga menyertakan berbagai rekomendasi untuk pemerintah, PBB, dan komunitas agama
Ada tiga hal yang dideklarasikan terkait dengan pendorong atau peyebab munculnya kekerasan ekstremisme agama. Kita akan menuliskan deklarasinya sekaligus mengungkapkan koreksi dan sanggahan untuk ketiga poin dari pernyataan Abu Dhabi ini :
          Pertama, Ideology agama dan spiritual. Ini dimaknai sebagai salah tafsir atas agama untuk membenarkan kekerasan. Di masyarakat umum sering terdengar ungkapan, teroris muncul karena pemahaman agama yang tidak menyeluruh.
Sanggahan, Menurut kami pernyataan ini harus dibongkar dan diganti dengan sebuah rumusan teori baru untuk melihat aspek yang lebih dalam atas munculnya fenomena kekerasan dalam agama. Karena pada kenyataannya para teroris-agama adalah orang yang pemahaman agamanya di atas rata-rata, bahkan mereka menguasai ilmu-ilmu psikologi dan kepribadian sebagai perangkat untuk merekrut anggota. Dan para teroris sangat menguasai ilmu-ilmu sains, kami kira perlu ada pendekatan budaya dan sejarah agar ada lendasan epistemology yang jelas mengenai penyebab munculnya terorisme.
          Kedua, Sosio-ekonomi. Hal ini sebetulnya sangat klise. Sering kita dengar  bahwa perekrutan anggota teroris menyasar kepada kaum miskin.
Sanggahan, kemungkinan benar, akan tetapi para gembong teroris seyogyanya lebih mengincar para konglomerat yang fanatic terhadap agama. Sebut saja Ossama Bin Laden yang memiliki beberapa perusahaan di amerika yang dikelola oleh anak-anaknya. Sering juga para teroris menyebut-nyebut istilah Negara atau pemerintahan thoghut. Hal ini bisa jadi dikarenakan eksistensi Negara belum hadir sepenuhnya ditengah-tengah masyarakat. Pemerintahan cenderung korup dan memperkaya penyelenggara Negara. Rakyat yang basisnya adalah agama islam merasa dimiskinkan oleh pemerintahan toghut ini. Bagi para teroris, Negara dianggap gagal dalam memberikan hak mendasar bagi masyarakat, menyediakan layanan dasar termasuk pendidikan. Argument ini bisa menjadi dasar yang paling logis bagi para ekstrimis dalam melawan Negara dengan atas  nama agama dan mereka menawarkan system pemerintahan berdasarkan ajaran agamanya sebagai alternative terbaik atas pemerintahan yang dianggap kurang sigap.
Dalam hal ini, seharusnya pemerintah melakukan upaya diplomasi politik terhadap kaum ekstrimis untuk menawarkan solusi pemerintahan yang lebih baik. Karena terror tidak mungkin hilang jika selalu dilawan dengan cara-cara militer.
          Ketiga, psikologis. Ini dimaknai sebagai kegagalan memiliki kehidupan bermakna. Sering para pengikut ajaran ekstrem menganggap ajaran agama islam terlalu lemah dalam mengahadapi hegemoni barat yang mempengaruhi perilaku hidup sebagian umat islam, sehingga ajaran islam kurang bermakna bagi generasi modern. Hal ini memang benar jika melihat realitas, mayoritas masyarakat islam dunia kurang begitu maksimal dalam mengamalkan perilaku islami (walaupun masih bias) karena pengaruh hegemoni barat melalui ilmu pengetahuan dan produk-produk konsumtif mereka yang bertebaran di mana-mana.
Sanggahan, sebetulnya hal itu bukan masalah utama bagi para ekstrimis agama. Ketidak adilan lah yang menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan radikal islam itu. Hal ini tidak muncul di Indonesia tapi di Negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas. Di beberapa Negara termasuk perancis dan swiss sempat ada larangan pemakaian jilbab dan larangan sholat dzuhur  dan sholat jum’at karena siang hari adalah jam kerja. Di dalam peraturan semacam ini,umat muslim seakan-akan tidak mendapat tempat yang layak di tengah-tengah masyarakat. Umumnya masyarakat muslim yang berada di Negara  mayoritas sekuler, mereka ingin dihargai dan memiliki martabat yang tinggi, tidak dilarang mengekspresikan keagamaannya dan ibadahnya.
Kenapa kami harus menyanggah deklarasi tersebut? Karena terorisme berkedok agama bukan barang sebentar jadi dan sebentar hilang. Munculnya teroris-agama terjadi akibat akumulasi panjang bahkan sebelum Perang Dunia pertama dimulai. Akar sejarahnya mungkin dapat dibaca dengan mempelajari sejarah islam yang penuh gejolak politik dan perang antar dinasti, antar aliran, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim. Akan tetapi,  sejarah teroris-islam modern muncul akibat berbagai penjajahan bangsa eropa terhadap bangsa asia dan afrika di abad modern (abad 17-19).
Kemajuan pesat eropa di abad modern dan penjajahan massif ke wilayah timur yang mayoritas beragama islam telah menanamkan benih-benih ‘revolusi’ dalam ajaran islam. Puncaknya ketika muncul Ikhwanul Muslimin di mesir pada maret 1928 yang dimotori oleh Hassan Al-banna, serta munculnya Hizbut Tahrir di palestina tahun 1953 yang dimotori Taqiyuddin al-Nabhani. Kedua kelompok ini mencoba menggelorakan kembali khilafah islam yang pernah Berjaya di abad 7-13, serta reaksi terhadap sekularisasi Negara turki sebagai symbol khilafah islamiyah oleh Mustapha Kemal Attaturk yang disokong oleh kerajaan Inggris.
Maka pan islamisme yang sebenarnya adalah kedengkian bangsa arab terhadap barat merebak luas untuk menggelorakan perlawanan kaum muslim. Tujuannya apa? gerakan tersebut ingin memobilisasi kekuatan islam untuk menyalip bila perlu melibas kemajuan barat dan melawan hegemoni penjajahan bangsa barat terhadap bangsa timur. Harap diingat gerakan radikal islam pemicunya adalah ambisi politik bangsa arab untuk melibas bangsa barat.
Mengkaji aspek politik, sejarah, dan budaya
Dengan dasar sosio-historis ini kita bisa melihat, alasan keagamaan ternyata bukan yang utama, tetapi lebih kepada rasa iri bangsa arab terhadap bangsa barat semata dengan dibungkus sentimen agama. Maka dari itu ketiga pendorong penyebab munculnya teroris-islam dalam “pernyataan Abu Dhabi” tidak argumentatif.
Ketiga pendorong tersebut mereduksi akar persoalan dengan membatasi penyebab pada kurangnya pemahaman agama, kemiskinan, dan masalah kejiwaan semata. Jika rumusan terorisme ini tidak dikritik seolah memisahkan kekerasan agama dari aspek politik, sejarah, dan budaya.
Ingat sekali lagi, para teroris-islam sangat paham kondisi geo-politik, geo-strategi, dan geo-ekonomi. Bahkan mereka mampu membangkitkan sentiment  sejarah dan budaya. Jika pencegahan terorisme hanya dilakukan dengan metode penyuluhan, kemungkinan sama sekali tidak akan mengurangi aksi-aksi terror itu.
Bahkan “pernyataan Abu Dhabi” ini membuat analisis permasalahan menjadi terpisah jauh dari konstelasi global beserta problematika multidimensi yang luas dari globalisasi, kekerasan negara terhadap rakyatnya, konspirasi antarnegara, bisnis militer, neoliberalisme, dan relasi serta interaksi politik yang sangat kompleks, rumit, dan sulit diprediksi.
Contoh paling nyata adalah deklarasi Abu Dhabi itu sendiri, yang menitikberatkan faktor pendorong kekerasan ekstrimisme agama hanya pada elemen-elemen yang terisolasi satu sama lain. Analisis ini menganggap kekerasan agama dapat diselesaikan melalui pendekatan multiagama dan multibangsa, namun secara kontradiktif tampak tergantung pada kebaikan Negara-negara maju, utamanya AS, untuk mengatasi problem sosial dan layanan publik, serta para pendidik agama dan komunitas untuk meredam potensinya di tahap lokal. (Islam Bergerak.com)
Pemerintah Indonesia sendiri sangat tergantung dengan sokongan dana dari Australia dalam program pemberantasan terorisme. Bahkan, pencegahan terorisme ini seringkali salah sasaran, seperti yang pernah dilakukan BNPT yang memeriksa pesantren-pesantren yang tak ada hubungannya dengan gerakan terorisme, kasus salah tembak Densus 88 kepada warga sipil, dan pemberitaan berlebih kepada isu terorisme.
Tentu saja penting melakukan dialog perdamaian dan membangun jembatan jejaring lintas-agama, lintas-wilayah, lintas-negara dan lintas-pihak, menuntut pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan memenuhi hak-hak dasar warga, serta mendukung inklusivitas masyarakat. Namun, ini jelas tidak cukup. Dibutuhkan suatu ketelanjangan – kejujuran – keberanian untuk menembus lapisan yang kompleks dan realitas multidimensi dalam relasi kita dengan kekuasaan dan pengetahuan termasuk di bagian mana kita memposisikan diri. Kita juga harus jujur pada keterbatasan dan kegagalan masa lampau. Kritik terhadap institusi agama juga perlu dipertajam, setidaknya tokoh-tokoh ulama tidak merendahkan moral pelaku terror dengan menyebutnya sebagai pencoreng nama agama.
Kita perlu analisis dan investigasi untuk menyatukan kekuatan partikular. Kemudian kita mengupayakan di tiap komunitas dibangun “kedisiplinan” doktrin agama dengan tetap menumbuhkan semangat kolektif antar umat beragama.
Pendekatan dari berbagai bidang Ilmu Pengetahuan
Jika kita hendak memutus siklus jahat peningkatan jaringan terorisme transnasional, hendaknya kita membangun kerangka analaisis bersama dari  berbagai bidang ilmu baik filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, hukum, ekonomi, dan politik. Dengan beragam perangkat ilmu yang dipakai dan kompleksitas permasalahan yang sangat luas,  maka diperlukan konsistensi dan penyamaan persepsi bahwa terorisme bukanlah gerakan agama.
Ada urgensi kebutuhan untuk menganalisis partikularitas budaya dan geopolitik atau kontrol atas wilayah, untuk kemudian memaknai ulang dan mendekonstruksi narasi atau gagasan yang bias pada term “ekstremisme agama” dan “deradikalisasi”. Langkah etis berikutnya adalah penguatan pada partikularitas konteks dan merajut semangat solidaritas dengan cara melahirkan sikap moral bersama.
Kongkritnya, dengan kerangka analisis bersama tadi, kita harus bersepakat tidak ada lagi istilah “ekstrimisme agama” dan “deradikalisasi” dalam agama islam. Kita harus menjernihkan islam dari kedua istilah tersebut sehingga tidak ada lagi kecurigaan terhadap kaum muslim.
Langkah etis berikutnya adalah penguatan pada partikularitas konteks dan merajut semangat solidaritas dengan cara melahirkan sikap moral bersama lintas agama dan lintas etnis. Bentuk kongkritnya adalah meminimalisir pengucapan istilah “islam adalah  agama kekerasan” dan “islam adalah agama damai”. Pengucapan istilah pertama jelas secara tegas mengatakan islam adalah agama kekerasan. Namun pada istilah kedua, yang biasanya digunakan sebagai kontra-narasi istilah pertama justru mengandung makna tersirat bahwa sebagian ajaran islam adalah kekerasan. Ironisnya istilah kedua ini sering di kooptasi atau bahkan merupakan rangkaian dari istilah pertama.
Narasi “islam adalah agama damai” muncul akibat fenomena Islam garis keras. “islam adalah agama damai” secara sederhana bisa diartikan sebagai defense mechanism (mekanisme pertahanan) terhadap tuduhan “Islam adalah Agama Kekerasan.” Ada sebuah teori psikologi yang mengatakan, jika kita mengelak tuduhan dengan cara berlebihan berarti kita memang melakukan tuduhan itu. Nah, defense mechanism dengan narasi “islam adalah agama damai” adalah reaksi pembelaan yang berlebihan, bahkan cenderung kekanak-kanakan, terburu-buru, dan tidak dewasa yang justru memperkuat asumsi bahwa islam adalah agama kekerasan yang sebenarnya. Bagi kami ini adalah ironi.
Maka kembali lagi di awal, bahwa upaya penjernihan Islam dari Noda terorisme harus dirumuskan secara sistematis, naratif, epistemologis, dewasa, dan ilmiyah. Hal ini untuk memberikan pemahaman secara luas kepada masyarakat non-muslim yang awam pula. Dengan begitu, di kalangan muslim pun akan tumbuh tradisi tabayyun yang lebih filosofis dan epistemologis, bukan dialog yang sifatnya diplomatis belaka.
Memperjelas ranah hukum  terorisme
Sejak tahun 2002, atau setahun setelah aksi terror 11/9 dan satu bulan sejak aksi terror di bali, pemerintah Australia mengenalkan perundang-undangan anti-terorisme baru yang berbeda sebagai bagian dari kampanye untuk menjamin keamanan Australia dan untuk memenuhi kewajiban internasional Australia.
Kemudian pemerintah Indonesia, atas sokongan dana dan dukungan politik dari pemerintah Australia (termsuk karena korban bom bali mayoritas adalah warga australia), maka pemerintah Indonesia menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor satu Tahun 2002 (Perppu 1/2002) yang pada tanggal 4 april 2003 disahkan sebagai UU anti Terorisme (UU 15/2003).
Undang-Undang itu diberlakukan dengan dasar kesadaran sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Hal ini lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Status UU anti terorisme adalah Undang-Undang Khusus yang menangani sebuah permasalahan khusus dan serius. Undang-undang khusus ini dimungkinkan ada, terutama jika menyangkut persoalan criminal karena ada 4 hal :
  1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
  3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
  4. Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. (sumber Wikipedia.org).
Sebagai UU Khusus, berarti mencakup aspek formil dan materil sehingga ada pengecualian dari KUHP dan KUHAP atau sering dikenal dengan istilah lex specialis derogate lex generalis dan harus memenuhi kriteria :
  1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
  2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. (sumber Wikipedia.org).
Sumber yang kami ambil dari kumpulan artikel dan terjemahan UU anti-terorisme pemerintah Australia disini tidak menyebutkan secara implisit tindakan terror seperti apa dan kelompok apa. Dalam UU ini secara eksplisit disebutkan bahwa Anti-terorisme adalah sebuah kejahatan khusus dan perlu penanganan khusus maka harus ada perangkat hokum khusus. Secara keseluruhan isi Undang-undang ini tidak perlu kami kritik, walaupun akhir-akhir ini muncul wacana untuk merevisi UU ini agar mencakup kelompok-kelompok garis keras yang anti terhadap pancasila.
Kami hanya ingin mengklarifikasi cara implementasi Undang-undang ini di lapangan yang terkadang objek sasaran pihak keamanan adalah kelompok-kelompok agama. Bahkan sering terjadi, dengan dalih pencegahan, pondok-pondok pesantren yang notabene tidak mengandung ajaran-ajaran anti-negara juga mendapat dampak negative atas perilaku aparat keamanan yang kelewat lebay.
Seperti tertuang dalam maksud undang-undang ini adalah semua tindakan yang secara sistematis menimbulkan ketakutan luas di masyarakat adalah tindakan terorisme, maka harus ada pencegahan dan penindakan yang sifatnya luarbiasa dengan hukuman luar biasa. Tak disebutkan bahwa yang harus diwaspadai adalah kelompok agama, utamanya agama islam.
Namun, sayangnya masyarakat awam memahami UU ini sebagai antisipasi terhadap kelompok agama islam. Seperti seminar-seminar yang dilakukan di beberapa kampus oleh BNPT, di situ BNPT kurang tepat dalam menjelaskan terorisme sesuai dengan bunyi undang-undangnya. Yang perlu diluruskan adalah terlebih dahulu epistemology term terorismeitu sendiri, baru kemudian kenapa ada kelompok islam garis keras yang bias dibedah menggunakan pendekatan politik, sejarah, dan kebudayaan.
Kami berharap, persepsi tentang terorisme tidak terjebak hanya kelompok islam garis keras, tapi juga tindakan-tindakan lain yang membahayakan masyarakat secara sistematis dan massif semacam korupsi dan penjarahan Sumber Daya Alam oleh kapitalis-kapitalis bejat misalnya.
Kami sadar, munculnya berbagai kelompok islam yang menyuarakan Khilafah adalah sebuah ancaman ideology untk NKRI. Akan tetapi, jika pemerintah dan masyarakat umum mau ber-Tabayyun dengan cara-cara yang lebih filosofis dan epistemologis kami kira ini akan lebih membangun. Bukan hanya membangun mental nasionalisme, tapi juga mampu membangun nalar akademis, membangun kedewasaan berbangsa, dan menanamkan sikap mengunggulkan dialog daripada main hakim sendiri.
Bagi kami, upaya repressif pemerintah dengan membentuk BNPT dan densus 88 justru semakin menumbuhkan kebencian kelompok ekstrem terhadap NKRI. BNPT dan Densus 88 penting untuk penindakan langsung ke jantung terror, namun pencegahan di masyarakat harus dilakukan dengan tabayyun yang harmonis demi menjernihkan Islam dari Noda Terorisme.
Politisasi narasi terorisme
Dalam konstelasi politik dunia, terorisme menjadi menjadi isu yang sangat seksi. Isu ini mampu mengeliminasi kasus-kasus kemanusiaan lain seperti kelaparan di Afrika dan bahkan  isu-isu local semacam  perampasan tanah rakyat di Kalimantan, protes petani di pati dan Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen, aksi penembakan warga sipil di Papua,  perjanjian-perjanjian investasi asing di Indonesia serta konsesnsi hutan menjadi kawasan ekonomi dan sengketa perbatasan Indonesia di wilayah natuna dan laut china selatan.
Sejalan dengan  itu tak pernah terjadi sebuah kelompok teroris mampu melemahkan kekuasaan. Demikianpun  yang terjadi di  Suriah dan Irak yang sedang gencar-gencarnya diteror oleh ISIS, kedua negara ini di back-up oleh kepentingan politik raksasa yang sdang memperebutkan cadangan minyak murah di kawasan perbatasan Irak-Suriah.
Apalagi aksi terror di Jakarta awal Februari lalu, kami kira pemerintah tak perlu berlebih-lebihan dalam menggelorakan perlawanan tehadap terorrisme dengan menanamkan narasi #kami_tidak_takut dan #negara_harus_berani. Kami kira pemerintah Indonesia masih terlalu kuat untuk sekedar menghadapi kelompok preman yang melakukan tembak-tembakan di depan gedung sarinah itu. Akan sangat sia-sia jika seluruh kekuatan negara dihabiskan untuk melawan gerakan terorisme semacam ini.
Atau jangan-jangan sebaliknya. Isu Terorisme ini membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat repressifnya menjadi berlipat ganda. Tindakan terror oleh oposisi non-penguasa selalu dibalas dengan lebih menyakitkan oleh penguasa melalui pengerahan secara massif apparat keamanan dan militer untuk tururn gelanggang membawa senjata di lapangan sipil.
Kami mengira pemerintah hanya mencari-cari alasan untuk mengesahkan Undang-Undang yang mengekang kebebasan sipil dan hak berpolitik rakyat melalui isu terorisme ini. Tindakan terror juga dijadikan batu pijak oleh rezim untuk memobilisasi sentiment nasionalisme sempit dengan menggelorakan perasaan senasib sepenanggungan yang palsu. Kenyataannya tak terjadi persamaan nasib di Indonesia, yang terjadi adalah semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Terorisme dalam kasus Indonesia tak lebih hanya sebagai pengalih isu dari kasus-kasus kenegaraan dan kemanusiaan yang terjadi. Terbukti, dengan semakin maraknya isu-isu terorisme pasca reformasi di mulai dari Bom bali pertama tahun 2002 hingga aksi tembak-tembakan di depan gedung sarinah hanya membuat negara semakin kuat.
Demikan juga, kritik kami sampaikan kepada para pelaku terror itu. Tak ada pesan keagamaan sama sekali di dalam tindakan mereka. Aksi terorisme samakin memperkuat argumentasi kami, bahwa gerakan terror adalah representasi kepentingan politik pan-arabisme yang ingin melibas kemajuan barat. Dan Indonesia adalah salah satu negara “sayap” atas kemajuan barat tersebut. Gerakan ini murni adalah sentiment politik.
Namun justru gerakan teroris ini malah membeo kepada modal barat, dan bergantung kepada mereka yang menadah minyak-minyak untuk semakin mempertebal kas kelompok teroris tersebut.
Aksi-aksi teror ini juga sama sekali tidak memberikan pelajaran politik yang bermanfaat buat gerakan  rakyat tertindas. Jika keberanian dan semangat rela berkorban yang hendak disampaikan oleh para pelaku teror kepada rakyat tertindas, maka pesan politik itu salah alamat. Kenapa? Karena rakyat tertindas itu setiap harinya telah dengan berani dan rela berkorban untuk membela dan memperjuangkan hak-haknya.
Apakah para teroris ini tidak mengetahui aksi heroik dari warga Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik Semen? Atau aksi-aksi berani mati ibu-ibu di Rembang dalam melawan polisi dan tentara yang justru mengamankan pembangunan pabrik semen di tempat mereka? Atau aksi terhormat hingga berkalang tanah yang dilakukan oleh Gaya Tosan dan Salim Kancil karena mempertahankan hak-haknya yang hendak dicuri oleh korporasi? Atau dua hari sebelum serangan bom bunuh diri di Sarinah, warga Kampung Pulo dengan berani dan gagah berjuang menolak tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang kini menyerukan agar kita harus bersatu melawan aksi terorisme ini? Atau Aksi Kamisan yang dilakukan oleh orang tua korban penghilangan paksa di depan Istana Merdeka? Atau perlawanan rakyat Papua yang tanpa rasa takut melawan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh TNI dan Polisi setiap harinya?
Rakyat tertindas, melalui aksi-aksi perlawanannya selama ini sudah mengerti bahwa cara terbaik untuk membela hak-haknya dari perampasan dan penggusuran yang dilakukan oleh negara maupun korporasi, tidak lain adalah dengan berorganisasi dan bersolidaritas satu sama lain dengan sekuat-kuatnya dan seteguh-teguhnya. Pengalaman penindasan dan perlawanan  mereka mengajarkan bahwa ‘kita tidak akan pernah menang melawan oligarki kapitalisme-neoliberal ini jika kita bergerak sendiri-sendiri, terputus dan tercerai-berai satu dengan lainnya.’
Gerakan teroris serta gerakan pemerintah yang melawan terorisme jusru mengaburkan makna perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat pinggiran. Agama, Islam utamanya sebagai agama mayoritas di Indonesia semakin tersudutkan. Agama Islam yang seharusnya mampu menjadi alat ikat perjuangan kaum pinggiran kini terkooptasi maknanya sebagai agama terror yang dilawan masyarakat non-muslim. Ini sangat ironis karena negara justru melanggengkan anggapan ini.
Aksi-aksi terorisme ini justru melunturkan kesadaran kolektif perjuangan melalui jalur agama. Dan yang paling bertanggungjawab atas hal ini selain kelompok teroris adalah pemerintah dan apparat negara yang dengan sangat terstruktur dan massif melakukan propaganda anti terorisme yang selalu menyasar kepada jantung keyakinan umat islam sebagai warga mayoritas negeri ini dan sebagai mayoritas warga pinggiran.
Hegemoni narasi “Islam adalah agama  terror” harus kita lawan dengan cara-cara yang lebih konstruktif dan epistemologis dengan menggunakan pendekatan tabayun, tidak hanya menggnakan jalur sosialisasi dan seminar belaka yang menghabiskan banyak anggaran negara dan mengaburkan gerakan teroris dengan akar historisnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *