foto:www.utinvlaanderen.be |
Artikel di media sosial ini akan terdiri beberapa seri. Tampaknya akan lumayan panjang untuk mengulas “Membongkar Konspirasi Perayaan Abad VOC dan Peringatan Kolonial Sentiling”, sehingga baiknya saya uraikan dengan beberapa seri tulisan. Inilah seri yang pertama.
Tahun 2002, pada sepanjang tahun tersebut, Belanda memperingati dan merayakan “4 Abad VOC” dengan berbagai event di seluruh negeri itu. Belasan tahun kemudian, bertepatan usia satu abad peristiwa Koloniale Tentoonstelling di Semarang, melalui agen-agen kebudayaannya di Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI dan di Kota Semarang mulai ada penyusupan agenda peringatan Koloniale Tentoonsteling ke dalam event Festival Kota Lama 2014. Pada tahun 2014 (tanggal 19-21 September) di Kawasan Kota Semarang diadakan Festival Kota Lama 2014 mengangkat tema Napak Tilas 100 Tahun Koloniale Tentoonstelling 1914, itu merupakan Festival Kota Lama di Kota Semarang tahun ketiga yang sekaligus untuk memperingati sebuah perhelatan akbar di era kolonial Belanda bernama Tentoonstelling.
Media daring Kompas.com (15/9/2016) memberitakan, tahun 2014 itu tepat 100 tahun pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Tentoonstelling, di Kota Semarang, Jawa Tengah. Perhelatan akbar yang digelar pertama tahun 1914 tersebut merupakan pameran berskala Internasional terbesar pada tahunnya yang diikuti oleh beberapa negara seperti China, Australia, dan negara besar lainnya. Dalam acara ini diadakan juga pertandingan sepak bola internasional yang pertama, sehingga pameran ini menjadi bagian penting dari sejarah persepakbolaan Indonesia. Tak dapat dipungkiri jika dengan adanya Tentoonstelling ini telah menjadikan kota Semarang menjadi mendunia. Koloniale Tentoonstelling, oleh penduduk pribumi saat itu disebut Pasar Malam Sentiling. Momen itu menjadi salah satu bukti bahwa Semarang pernah menjadi kota yang penting pada masa kepemimpinan Hindia Belanda. Jongkie Tio salah satu sejarawan Semarang dalam bukunya, “Kota Semarang Dalam Kenangan”, menulis, Tentoonstelling atau pameran itu diadakan di lahan seluas 26 hektar dari Randusari hingga kaki Bukit Candi, dan juga di Pieter Sythofflaan (kini Jalan Pandanaran). Pameran tersebut diikuti sejumlah negara, seperti Jepang, China, Australia, beberapa negara Eropa dan Asia, serta negara jajahan Belanda. Terdapat paling tidak 200 bangunan besar dan kecil dalam pameran yang berlangsung sejak 20 Agustus hingga 22 November 1914.
Ada kata-kata menarik dari pemberitaan Kompas.com aahun 2014 itu tepat 100 tahun pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Tentoonstelling, di Kota Semarang, Jawa Tengah. Perhelatan akbar yang digelar pertama tahun 1914 tersebut merupakan pameran berskala Internasional terbesar pada tahunnya yang diikuti oleh beberapa negara seperti China, Australia, dan negara besar lainnya.
Koloniale Tentoonstelling, oleh penduduk pribumi saat itu disebut Pasar Malam Sentiling. Momen itu menjadi salah satu bukti bahwa Semarang pernah menjadi kota yang penting pada masa kepemimpinan Hindia Belanda. Jongkie Tio salah satu sejarawan Semarang dalam bukunya, “Kota Semarang Dalam Kenangan”, menulis, Tentoonstelling atau pameran itu diadakan di lahan seluas 26 hektar dari Randusari hingga kaki Bukit Candi, dan juga di Pieter Sythofflaan (kini Jalan Pandanaran). Pameran tersebut diikuti sejumlah negara, seperti Jepang, China, Australia, beberapa negara Eropa dan Asia, serta negara jajahan Belanda. Terdapat paling tidak 200 bangunan besar dan kecil dalam pameran yang berlangsung sejak 20 Agustus hingga 22 November 1914.
Bila kita memperhatikan publikasi peringatan Koloniale Tentoonstelling ini dari tahun ke tahun sejak 2014, ada kata-kata menarik dari pemberitaan yang dirilis Kompas Travel dari event Koloniale Tentoonstelling 2016, yaitu sebagai berikut:
Pameran tersebut sebenarnya diadakan Belanda untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Kerajaan Belanda dari kekuasaan Perancis. Belanda ingin menunjukkan pencapaiannya atas daerah-daerah jajahannya. Ajang itu mirip dengan konsep MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di masa kini. “Dari perayaan zaman Belanda itulah kini diadakanlah kegiatan serupa untuk kembali mengenang acara tersebut,” ujar Jenny, Ketua Penyelenggara Pasar Sentiling 2016 dalam rilisnya pada Kompas Travel, Kamis (15/9/2016).
Dari apa yang dirilis pihak penyelenggara sendiri kita menjadi jelas, bahwa event Koloniale Tentoonstelling sebenarnya adalah perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis di tanah Hindia Belanda (Nusantara/Indonesia) yang kemerdekaannya telah diperkosa oleh penguasa Hindia Belanda sendiri.
Jika kita mau melirik sejarah pada satu tahun sebelum peristiwa Koloniale Tentoonstelling terjadi, ide perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis di tanah jajahan Belanda sendiri, telah mengalami perlawanan dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Pada waktu Pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga (termasuk pribumi) untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk dari Soewardi Soejaningrat. Soewardi kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (“Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”), namun kolom Soewardi yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”
Akibat tulisan itu, Soewardi yang kala itu berusia 24 tahun ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Cukup mengherankan Kemenpar RI dan Pemerintah Kota Semarang beberapa tahun belakangan ini justru mau memfasilitasi penyusupan event Koloniale Tentoonstelling yang gagasannya pernah diprotes Soewardi Soerjaningrat itu, yang kita tahu beliau adalah seorang tokoh perintis kemerdekaan sekaligus Bapak Pendidikan RI ini. Rasanya agak risih, kenapa yang diperingati bukan gagasan “Soewardi Soerjaningrat Kontra Koloniale Tentoonstelling”, tetapi malah event Koloniale Tentoonstelling-nya. Hingga tahun ini, event yang nyata-nyata berlabel Pasar Malam Sentling ini masih difasilitasi Kemenpar RI dan Pemerintah Semarang, event berlangsung pada tanggal 16-18 September 2016 dengan mengambil tema Kuno, Kini, Nanti. Terus terang ini agak mengganggu, sebab ibarat Bung Karno itu ditangkap dan dibuang ke Endeh oleh penguasa kolonial Belanda, harusnya yang diperingati adalah gagasan-gagasan dan kiprah Bung Karno selama jadi tawanan melawan kolonialismenya, tapi kok malah memeringati kesuksesan penguasa kolonial menawan Bung Karno, itu kan terbalik.
Saat peringatan Koloniale Tentoonstelling 2014 saya mulai gencar menyindir Pemerintah Kota Semarang dan rekan-rekan penyelenggara yang terlibat di media sosial yang memfasilitasi peringatan Tentoonstelling itu. Rupanya terjadi perdebatan juga di antara saya teman-teman saya sendiri yang kontra dengan pendapat saya, perdebatan itu kemudian berdampak ada perubahan nama pada rangkaian acara hari-hari selanjutnya, diubah dengan nama Festival Pandanaran.
Tahun lalu, kembali diadakan Festival Kota Lama Semarang 2015 dengan tetap menyusupkan event Pasar Malam Sentiling namun dengan mengedepankan judul Festival Kota Lama, ini merupakan penyelenggaraan tahun ke-4. Sebagaimana sebelumnya, Festival Kota Lama 2015 ini sebenarnya dimaksudkan menjadi salah satu dari upaya menghidupkan kawasan Kota Lama Semarang agar dapat diakui dunia internasional menjadi kota warisan dunia (world heritage city) di tahun 2020 nanti. World heritage diartikan sebagai warisan alam maupun budaya peninggalan masa lalu agar terus hidup menjadi inspirasi bagi generasi masa kini dan generasi masa depan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, format acara Festival Kota Lama 2015 ini berupa pasar malam, yang populer disebut sebagai Pasar Sentiling. Pasar Sentiling 2015 diselenggarakan selama 2 hari yakni tanggal 19–20 September 2015, menempati lokasi di sekitar Gereja Blenduk dan Taman Srigunting di kawasan Kota Lama Semarang. Format acaranya tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan tahun sebelumnya, berupa pagelaran musik, pasar klithikan, kampung batik, kuliner paradeplein (parade kuliner), dan kampung akik.
Tahun ini, event tersebut kembali diangkat dengan judul “Pasar Malam Sentiling Festival Kota Lama 2016”. Kompas Travel memberitakan, meneruskan tradisi sejak tahun 2012, Festival Kota Lama yang kini disebut Pasar Malam Sentiling digelar semakin meriah pada 16 hingga 18 September 2016. Berbagai inovasi baru dikeluarkan Oen’s Semarang Foundation selaku penyelenggara Pasar Malam Sentiling 2016, mulai panggung apung besar, kolaborasi musik dengan musisi-musisi Belanda, hingga pameran foto tentang kehidupan di Kota Lama oleh fotografer asal Belanda, Isabelle Boon dan masih banyak hiburan lainnya. “Tahun ini Pasar Malam Sentiling bertemakan ‘Kuno Kini Nanti’, menunjukkan bahwa situasi di masa lampau, sekarang dan di masa yang akan datang memiliki keterkaitan satu sama lain,” ujar Jenny, Ketua Penyelenggara Pasar Sentiling 2016 dalam rilisnya kepada Kompas Travel, Kamis (15/9/2016).
Lama-lama saya bertanya, apa kepentingan Belanda melalui agen kebudayaannya di Indonesia menyusupkan agenda Koloniale Tentoonstelling dan bagaimana mungkin Pemerintah Kota Semarang (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dll) memfasilitasinya (antara lain surat permohonan untuk area “Kini” yang berada di wilayah sekitar Kolam Retensi Tawang atau yang lebih familiar dengan Polder Tawang diajukan ke PT KAI Daop IV atas nama Pemkot Semarang). Untuk mengusut itu, antara lain kita perlu mencari pembanding. Sementara pembandingnya yang saya dapat adalah event peringatan 4 abad VOC (Kompeni). Jadi, menurut saya, upaya pelestarian budaya warisan kolonial yang bernama “Koloniale Tentoonstelling te Semarang” ini sesungguhnya (disadari atau tidak), adalah sejalan dengan kepentingan Belanda untuk men-Unesco-kan warisan VOC.
Belasan tahun lalu Pemerintah Indonesia didesak memrotes penyelenggaraan “Perayaan 4 Abad VOC” yang diadakan di negeri Belanda. Duta Besar Indonesia di Belanda, Abdul Irsan, atas kesadaran nasionalismenya akhirnya memilih tidak menghadiri acara perayaan yang dilaksanakan sepanjang tahun 2002 itu. Irsan benar, sebab dipandang dari sudut manapun, VOC atau juga akrab disebut Kompeni, merupakan bagian tak terpisah dari kolonialisme Belanda di Nusantara. Tanpa VOC tak akan ada kolonialisme Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), dan dalam konteks konstitusi sikap itu sejalan dengan konstitusi Indonesia yang tegas menyatakan,”Segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.”
Saya lantas mencari artikel yang pernah ditulis Abdul Irsan (dalam Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi, 2007) yang dulu pernah saya baca, masing-masing berjudul “Peringatan 400 Tahun VOC”, “Peran VOC di Indonesia”, dan “Indonesia dan Proyek TANAP (Towards A New Age of Patnership)”. Dari membaca ketika karya tulis Abdul Irsan ini, ada petunjuk bahwa Belanda sangat bangga dengan VOC-nya, dengan licik menghapuskan sisi kelam kekerasan VOC di bekas Hindia Belanda (Indonesia), serta mendaftarkan capaian VOC di beberapa negara (termasuk di Indonesia) ke Unesco. KBRI Den Haag telah melakukan beberapa langkah terkait tindakan Belanda ke Unesco itu, dan upaya Belanda itu berhasil digagalkan. Saya belum jelas benar apakah agenda keinginan menjadikan Kawasan Kota Lama Semarang sebagai wolrd heritage yang merupakan peninggalan sejarah kolonialisme itu sejalan dengan kepentingan Belanda setelah kegagalan mereka menjadikan VOC sebagai wolrd heritage, soal ini patut didalami lebih jauh.
Dari Abdul Irsan itulah saya mendapati adanya indikasi keinginan Belanda yang tampaknya punya kepentingan melestarikan peninggalan sejarah/budayanya kolonial di Indonesia, bukan hanya warisan kebendaan (bangunan, situs, benda, dan kawasan) melainkan juga warisan nonbendanya (event, peringatan, pedayaan, dsj). Sepanjang Irsan ketahui, Belanda diam-diam telah menggunakan agen-agen kebudayaannya di Indonesia (LSM-LSM dan organisasi swasta) guna melakukan berbagai kegiatan di Indonesia yang dikaitkan dengan peringatan 4 abad VOC, tentu dengan biaya Belanda. Kegiatan peringatan 400 tahun VOC antara lain berbentuk bantuan keuangan (yang menurut informasi yang diterima Abdul Irsan) berjumlah 10 juta gulden, yaitu untuk memugar monumen-monumen VOC yang tersebar di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kawasan Maluku, termasuk di Pulau Banda.
Abdul Irsan juga berkisah dirinya pernah diwawancara de Telegraaf yang menanyakan rencana Belanda memugar Benteng VOC di Pelabuhan Sunda Kepala Jakarta. Irsan telah mengatakan dalam wawancaranya itu, bahwa keinginan Belanda memugar monumen-monumen Belanda di Indonesia itu patut dihargai, tetapi hendaknya juga memugar tempat-tempat di mana Belanda juga menyiksa rakyat Indonesia. Hal itu dirasa perlu, kata dia, agar masyarakat Internasional dapat melihat hubungan Indonesia-Belanda secara berimbang, di satu sisi Belanda memang berbuat positif untuk Indonesia tetapi di sisi lain Belanda juga menindas rakyat Indonesia. Irsan menegaskan itu sebab berdasar pengalamannya selama di KBRI Den Haag, ia pernah dihubungi salah satu sekolah menengah umum di Belanda untuk berdiskusi mengenai hubungan sejarah kedua bangsa di masa lampau, dan terbukti pengetahuan generasi muda Belanda terhadap Indonesia tidak berimbang, yang mereka ketahui adalah Belanda (VOC) ke Indonesia hanyalah berdagang dan untuk bertujuan memasyarakatkan bangsa Indonesia yang dianggap primitif.
Dari situ kita bisa menjadi memiliki gambaran tentang apa kepentingan Belanda dan agen kebudayaannya di Indonesia atas peringatan Koloniale Tentoonstelling te Semarang. Argumen saya tegas, bahwa memeringati maupun merayakan kemegahan peristiwa Koloniale Tentoonstelling era kejayaan kolonialisme Belanda di tanah jajahannya, adalah setara dengan merayakan kemegahan VOC pada era kejayaan Kompeni di Nusantara. Kalau KBRI Den Haag saja bisa mengambil sikap tegas atas perayaan 4 abad VOC itu adalah penghinaan bagi Indonesia, ini kok malah Pemerintah Semarang dan Kemenpar RI ikut memfasilitasi peringatan peristiwa Kolonial Sentiling? Bukankah itu sama saja ikut memeringati peristiwa yang dianggap Ki Hajar Dewantara sebagai penghinaan terhadap diri bangsa Indonesia?
Peristiwa peringatan seabad Koloniale Tentoonstelling te Semarang ini juga mengindikasi bahwa Belanda tampaknya memang menginginkan ada pelestarian warisan budaya kolonial nonbenda di bekas tanah jajahannya, yang agar tidak kelihatan, maka itu harus dilakukan oleh masyarakat bekas tanah jajahannya sendiri. Agen-agen kebudayaan Belanda di Indonesia adalah kementerian yang membidangi pariwisata dan organisasi swasta yang “merasa paling tahu tentang Kawasan Kota Lama Semarang”, menjalin relasi dengan Atase Kebudayaan Kedutaan Belanda di Indonesia, serta menjalin koneksi dengan “pihak-pihak Belanda” lainnya. Seberapa jauh kualitas relasi itu masih perlu diselidiki, namun penyusupan agenda Koloniale Tentoonstelling te Semarang padahal gagasan peringatan 100 tahun kemerdekaan di tanah jajahan itu nyata-nyata mendapat protes dari Soewardi Soejaningrat, tentu merupakan keberhasilan para agen kebudayaan tersebut.
Apa kepentingan Belanda dan agen-agen kebudayaannya di Indonesia ingin melestarikan event Kolonial Sentiling itu? Kepentingannya tentu tak jauh beda dari penjelasan Abdul Irsan perihal kepentingan mereka atas peringatan 400 tahun VOC. Event ini dianggap sebagai worlds fair pertama di belahan bumi selatan yang meraih sukses besar. Tahun 2014 itu tepat 100 tahun pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Tentoonstelling, di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tujuan utama acara ini sebenarnya adalah sarana untuk menunjukkan eksistensi Pemerintah Hindia Belanda atas prestasi yang telah dicapai di koloni jajahannya. Maka pesan atas adanya peringatan peristiwa Kolonial Sentiling tahun 1914 di Semarang sejak 2014 adalah jelas, yaitu untuk memeringati eksistensi itu.
Belakangan ini saya mendengar ada pernyataan sebagian dari para agen kebudayaan kolonial itu dengan dalih, bahwa Pasar Malam Sentiling itu hanyalah persoalan nama saja. Barangkali yang ingin mereka utarakan adalah, apalah arti sebuah nama. Hal yang mereka remehkan adalah, bahasa memiliki makna filosofis, ideologis, dan sosiologis.
Ada juga sebagian lainnya berdalih, peringatan peristiwa Kolonial Tentoonstelling 1914 bukanlah peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda seperti yang diprotes Ki Hajar, tetapi event yang berlainan dan mengambil sumbangan dari inlander. Dikatakan mereka, tahun 1913 Soewardi Soerjaningrat memang memrotes gagasan Kolonial Sentiling karena akan meminta sumbangan dari rakyat inlander. Tetapi kemudian rencana itu batal dan dalam perwujudannya di tahun 1914 (saat berlangsung Soewardi Soejaningrat masih dalam pembuangan) yang membiayai adalah kalangan elit, rakyat inlander tak diminta sumbangan, pegikut politik etik juga terlibat, Pemerintah Karisidenan Semarang juga terlibat dengan visi lebih pada membangun Kota Semarang, orang Belanda yang belakangan adalah berubah menjadi pejuang revolusioner, Henk Sneevliet juga pada tahun 1914 ikut menyukseskan Koloniale Tentoonstelling.
Saya tetap pada pendapat saya bahwa peringatan Koloniale Tentoonstelling te Semarang adalah agenda penyusupan agen kebudayaan kolonialis, dan sikap negara maupun masyarakat Indonesia memfasilitasinya adalah sikap yang aneh. Menilai peristiwa Koloniale Tentoonsteliing 1914 sebagai peristiwa terpisah dari pembuangan Soewardi Soerjaningrat atas suaranya yang memrotes peringatan kemerdekaan Belanda di tanah jajahan Belanda, itu sama saja dengan menganggap peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 seolah peristiwa yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa Belanda menyerah pada Jepang, penawanan Soekarno-Hatta-Sjahrir, peristiwa Sumpah Pemuda, lahirnya PNI, pemberontakan 1926-1927, tumbuhnya Sarekat Islam, tumbuhnya ISDV, tumbuhnya VSTP, perlawanan dan pembuangan Tiga Serangkai, Perang Diponegoro, Geger Pecinan, dan lain sebagainya. Menganggap peristiwa Koloniale Tentoonstelling 1914 sebagai peristiwa yang tak ada urusan dengan pembuangan Ki Hajar, itu sama saja dengan orang ditanya apa warna papan tulis di hadapannya, ia menjawab warnanya putih, padahal papan tulis itu warnanya putih dan baliknya hitam; harusnya jawabannya adalah warna papan tulis itu putih dan hitam, bukan putih saja.
Lantas masalahnya kemudian, bukan soal siapa yang membayai Koloniale Tentoonstelling te Semarang 1914, tetapi ide perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda di tanah jajahannya itu sudah merupakan penghinaan. Seperti dikatakan Soewardi Soejaningrat,”Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka (inlander)….” Idenya saja sudah merupakan penghinaan, apalagi sampai dilaksanakan, dan satu abad kemudian diperingati.
Okelah kemudian yang membiayai bukan inlander tetapi kaum elit pada masa itu, tetapi bukankah kaum elit ini secara ekonomi-politik merupakan kaum borjuis kaya raya dari sistem distribusi ekonomi kolonialisme yang tidak adil, di sisi lain kaum elit yang segelintir itu menjadi kaya raya, sementara mayoritas rakyat Indonesia diperbudak dan dirampok sumber dayanya.
Alasan tentang adanya orang-orang politik etik terlibat kemudian kita boleh menganggap peringatan itu tidak salah, itu juga adalah pendapat yang aneh. Menurutku juga, pengikut politik etik itu adalah manusia setengah orang, setengahnya prokolonial, setengahnya probumiputra. Pontius Pilatus tak mau bertanggung jawab atas disalipnya Isa Ibn Mariyam, tetapi ia membiarkan ulama Yahudi menyalip Beliau, seperti Pontius itulah sikap kaum pengikut politik etik, mereka adalah orang yang terombang-ambing.
Hal lain, soal Henk Sneevliet, menurut saya dia adalah orang Belanda yang mau berubah. Sebagai bule Belanda, ia telah berubah dari yang semula menyokong Kolonial Sentiling menjadi orang Belanda yang bergerak bersama Sarekat Islam dan inlander untuk berjuang bagi kemerdekaan Indonesia, ia bukan orang yang seperti Oei Tiong Ham dan pengikut politik etik lainnya. Pahlawan nasional Tan Malaka pernah berkata di buku “Dari Penjara ke Penjara”, kita seluruh bangsa Indonesia patut menghormati Henk Sneevliet atas segala jasanya bagi rakyat Indonesia.
Satu hal lagi yang patut saya tegaskan di sini, ketika saya menolak peringatan Koloniale Tentoonstelling tidak berarti saya anti-Belanda atau anti-orang Belanda. Yang ditolak itu bukan bangsa Belanda, tapi yang kita tolak adalah sifat kolonialisnya. Kalau berbicara soal orang Belanda, ada kok orang Belanda yang prokemerdekaan Indonesia. Ada orang Belanda yang menyatukan diri dengan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seperti Sneevliet, Bergsma, Poncke Princen, dan lain-lainnya.
Menolak peringatan Koloniale Tentoonstelling 1914, juga bukan berarti kok kita ini menolak pelindungan cagar budaya peninggalan era kolonial, pelestarian cagar budaya warisan kolonial di Kawasan Kota Lama Semarang itu ya sudah sewajarnya, kan ada perda pelindungan untuk Kawasan Kota Lama kan, ada juga UU Cagar Budaya RI No 11/2010 kan, jadi Kawaan Kota Lama selaku cagar budaya itu ya memang wajib dilindungi. Ngomong-ngomong tentang cagar budaya warisan kolonial, saya ada cerita nih tentang saya dan kawan-kawan yang peduli soal itu. Ketika Pemerintah Kota Semarang (Dinas Pasar) ingin memusnahkan lebih dari 80 persen bangunan cagar budaya peninggalan kolonial Pasar Peterongan Semarang untuk diganti bangunan pasar modern tiga lantai, saya dkk juga yang mati-matian bergerak untuk penyelamatan Pasar Peterongan itu kok, dan di mata Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud kami menang. Namanya peninggalan sejarah yang itu adalah cagar budaya ya wajib dilestarikan. Jadi begini ya, dalam sejarah apa pun, bahkan sejarah kelam Hitler dan Nazinya, peninggalan sejarahnya wajib dilindungi (ya kapal perangnya, tanknya, meriamnya, pesawat tempurnya, bahkan hal-hal keci terkait Hitler seperti surat atau lukisan karya dia yang mirip lukisan anak taman kanak-kanak, dan sbgnya, wajib dilindungi). Tetapi , ada tapinya nih, apa jadinya ketika kemudian ada peringatan dan perayaan kejayaan Hitler dan Nazinya atas jajahan-jajahan mereka di Eropa atau di manapun (meski itu atas nama kebebasan berekspresi), apa jadinya ketika ada peringatan kejayaan Nazi membunuhi warga Yahudi, bukankah itu suatu persoalan yang patut disikapi bersama. Demikian pula dengan peringatan Koloniale Tentoonsteling 1914 te Semarang ini, ya memang harus disikapi.
Sama-sama melestarikan warisan sejarah, memeringati Kolonial Sentiling di Semarang itu sama saja ibarat Belanda memenjarakan ribuan pemberontak bumiputra 1926-1927 di Boven Digul, Papua, tapi diperingati bukannya keprihatinan atas tertawannya ribuan pemberontak yang perintis kemerdekaan itu, melainkan malah memeringati kesuksesan Belanda memenjarakan pemberontak bumiputra itu.
Masih mending kalau tema event itu adalah pameran sejarah perkembangan Kota Semarang, dengan tidak usah menyertakan perayaan/peringatan event Kolonial Sentiling. Sebab memang lebih patut kalau yang diperingati adalah gagasan Soewardi Soejaningrat yang menolak peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda di tanah jajahan.
Kita harus berhati-hati dengan agenda kebudayaan semacam peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis di tanah jajahannya. Patut dicurigai pula bahwa yang diincar bukan cuma peringatan event itu, tetapi di daerah-daerah lain di berbagai provinsi di Indonesia, Belanda dan agen-agen kebudayaannya di Indonesia juga mengincar peringatan event sejenis. Untuk itu kepada rekan-rekan seniman, budayawan, sejarawan, dan pegiat sosial lain-lainnya di luar Semarang agar mewaspadainya.
Peringatan/perayaan 400 tahun VOC tahun 2002 dan peringatan Kolonial Sentiling tahun 2014-sekarang itu tampaknya dimaksudkan sebagai “pesan khusus” kepada generasi muda Belanda tentang kejayaan yang pernah mereka capai sebagai negara kecil yang mampu bersaing dengan kekuatan-kekuatan besar di Eropa pada abad-abad lampau dalam melaksanakan perdagangan internasional.
Sekian dulu untuk seri pertama, sampai jumpa di seri kedua…..