foto:www.tribunnews.com |
Aku ingin menulis, tapi, menulis apa? Tak ada sesuatu yang siap ditulis. Pikiranku kosong: mengalami perjalanan flash backke masa silam, semacam masa di mana tidak ada data satupun di pikiran saya. Aku mengalami kebuntuan pikiran, kemandegan inspirasi, kebebalan intelektual. Padahal, banyak hal yang saya baca, lihat, dengar, dan yang saya dapatkan dengan indra saya. Seharusnya data-data itu menjadi semacam bahan untuk membuat ‘roti tulisan’. Tapi, ternyata tak bisa.
Saya tak bisa menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, bukan berarti saya tak pernah membaca. Karena, banyak data yang di dapat – entah didapat dari membaca, melihat, meraba, mendengar, mencium, dan menjilat – belum tentu membuat kita mempunyai suatu pemikiran, dan mempunyai suatu pilihan, atau solusi terhadap permasalahan, yang siap-sedia dianyam dalam bentuk tulisan. Itulah kesimpulan saya terhadap keadaan saya ini. Banyak membaca, belum tentu membuat kita pintar, dan mempunyai kepekaan dalam permasalahan. Belum tentu.
Jika kita bisa pintar dan peka terhadap permasalahan hanya lantaran membaca, maka tentu banyak orang yang pintar di masa sekarang. karena sekarang kita mengalami masa di mana informasi berserakan, banjir informasi. Tetapi fakta tidak demikian bukan? Banyak yang baca berita, informasi terkini, tetapi itu tak membekas apa-apa. Tak membuat kemajuan dalam pemikiran dan analisis.
Lantas, pertanyaan yang tersisa, apa yang harus dilakukan agar kita mempunyai suatu pemikiran dan pendirian? Membaca itu penting, jalan-jalan itu penting, dan ngobrol bareng teman itu juga penting, karena itu membuat kita mempunyai data dalam pikiran. Tapi tak berhenti dalam penyerapan data-data saja, harus ada langkah selanjutnya. Karena data yang kita dapatkan sebatas dari membaca, melihat, meraba, mendengar, mencium, dan menjilat, hanya sebatas data mentah. Beras saja, tanpa di masak, tak menjamin kita bisa sehat dan hidup. Begitu juga dengan data (informasi), data saja, tanpa diolah, tak menjamin kita mampu berpikir kritis, analitis.
Kita butuh langkah setelah membaca, apa? Adalah merenung. Merenung sangat dibutuhkan setelah membaca. Merenung di sini, bukan hanya sekadar ‘diam di bawah pohon rambutan atau mangga’. Merenung adalah menghayati. Menghayati adalah menghidupi suatu bacaan dan permasalahan. Menghidupi berarti memaknai suatu bacaan atau permasalahan. Menempatkan suatu bacaan atau permasalahan sehingga siap untuk dipretel ulang, di dekonstruksi, di maknai ulang, serta di bangun ulang.
Salah satu guru saya pernah berucap (di dalam akun WA): “Dalam membaca usahakan bertanya, apa yang disuguhkan buku ini? apa yang belum disuguhkan buku ini? apa yang bisa diambil (untuk diterapkan dalam masa sekarang) dari buku ini?” Hal itu berfungsi agar kita tidak memamah mentah-mentah apa yang kita baca. Dengan ini membaca tidak hanya sekadar membaca, menghafal. Tetapi membaca secara pintar: menganalisis, menafsir ulang, apa yang kita baca. Jadi wawasan kita tidak sekadar wawasan masa lalu, yang seringkali buntu dalam menghadapi realitas sekarang, tetapi wawasan kita menjadi kekinian, kontekstual.
Dengan demikian perenungan dalam membaca atau setelahnya sangat penting. Untuk memberi kita wawasan, pemikiran, yang kontekstual, dan dengan itu kita punya pendirian dan mampu membuat suatu pilihan. Sekali lagi saya tekankan disini, membaca saja tanpa perenungan sama saja omong kosong. Hafal seribu teori tapi minim konstekstualisasi adalah bunuh diri intelektual. Mengapa orang dulu (yang informasi masih sulit didapat) mampu melahirkan teori-teori yang membentuk rupa zaman ini? Adalah karena perenungan. Titik.
Menurut saya, hal itulah yang tersirat dalam kata ‘Iqra‘ yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, membaca dengan cara semestinya, membaca yang mengharuskan perenungan. Pertanyaan terakhir, bagaimana cara baca kalian? apakah sekadar membaca (untuk menghafal) atau membaca a laMuhammad?
Akhirnya saya bisa menuliskan sesuatu, meski dengan tertatih-tatih. Tulisan yang lahir dari perenungan tentang merenung. Terimakasih.