Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Melawan Komodifikasi Ramadhan

foto:noiseblastmedia.blogspot.com
“Yang terpenting dari tulisan saya harus bersifat perlawanan terhadap hal-hal yang menindas rakyat ” (Gus Dur)
Sekali lagi, kita masuk bulan suci ramadhan. Bulan dimana Al Furqan diturunkan. Bulan dimana seorang muslim berpuasa untuk digembleng jiwa dan badan. Selama satu bulan, seorang muslim dilatih untuk bersabar, jujur, menahan diri dari hawa nafsu dan perilaku negatif, menjadikan lapar dan dahaga untuk merasakan penderitaan sesama. Demi sebuah predikat menjadi orang yang bertakwa. Selain menanti nikmatnya berbuka, ada kenikmatan bagi para pelakunya di akhirat, bertemu Sang Esa. Sehingga, siapapun seharusnya memuliakan bulan ini dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Setelah1400-an tahun ramadhan terselenggara, semua hal yang dilakukan manusia akan menjadi ibadah, baik ibadah pribadi maupun ibadah sosial. Selama itu pula, ibadah umat muslim di bulan ramadhan nilainya dilipat gandakan. Apalagi jika berjumpa dengan malam Lailatul Qadr, ibadahnya dinilai lebih baik dari ibadah selama seribu bulan. Sungguh, umat Muhammad begitu mudah mendapat kemuliaan di bulan suci ini. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang akan didustakan?
Pada ramadhan kali ini ada fenomena yang membuat saya heran. Ada sebuah restoran yang mengadakan khataman al quran dan buka bersama, dengan tag line “1 juz = 1 porsi ayam penyet”. Ada juga cerita dari teman saya, ada sebuah SPBU yang menggratiskan 1 liler pertalite untuk orang yang mau membaca 1 juz al quran. Jika demikian, apabila ada yang membaca Al Quran 30 juz akan mendapatkan 30 porsi ayam penyet atau 30 liter pertalite dong? Apa gak rugi tuh pemilik restoran dan SPBU-nya…
Fenomena ini perlu kita sikapi secara kritis. Dalam sebuah buku berjudul “berhala wacana”, disebutkan bahwa kapitalisme (paham liberalisme dalam ranah ekonomi) akan merambah kemanapun, salah satu wilayah yang menjadi sasaran adalah agama. Agama dijadikan katalisator kapitalisme. Agama dijadikan alat untuk “mendorong” para pemodal dalam usaha mereka meningkatkan “keuntungan”. Inilah yang disebut dengan komodifikasi agama.
Dilihat dari kacamata ini, Ramadhan, dengan begitu liciknya dibuat sedemikian rupa untuk menghegemoni masyarakat, begitu kata Freire. Para pemodal (kapitalis) memanfaatkan moment ini untuk bagaimana caranya meningkatkan publikasi produk ke publik agar penjualan mereka meningkat dan laris. Produknya dipasarkan sedemikian rupa agar konsumen mau datang, mencoba dan mengkonsumsi secara tidak sadar. Tentu hanya satu muaranya, yakni “keuntungan”.
Saat para pemodal dengan beraninya menggunakan simbol agama sebagai katalisator kapitalisme, dampak yang timbul pada masyarakat bawah adalah ketertarikan  dengan agenda seperti ini. Kemudian masyarakat dengan mudah terbawa arus favoritisme sempit yang memandang kegiatan ekonomi sama dengan kegiatan agama, aktifitas kapitalistik sama dengan ritual ibadah. Artinya masyarakat telah tertipu dengan propaganda-propaganda yang menyesatkan secara semiotik.
Jika hal yang demikian dijadikan budaya (kebiasaan), maka jenjang masyarakat kelas bawah akan sulit untuk dihilangkan. Ini tidak boleh dibiarkan, sebab masyarakat yang konsumtif dan hedonis yang dibungkus dengan kedok agama, akan semakin tenggelam kedalam kubangan lumpur konsumerisme. Inilah yang dikatakan Gramscy soal hegemoni dimana para pemodal mendominasi secara laten, tanpa disadari secara kritis oleh masyarakat. Selain itu, akar rumput terjajah secara psikis. Sebab, bagaimanapun iming-iming atau imbalan ini menjadikan seorang muslim lambat laun tidak lagi beribadah lillahi taala, tetapi li ayam penyet wa pertalite.
Bagi saya, ibadah yang sebenarnya adalah, menyatu dengan kenyataan, menyatu dengan sjarah, dan menjadikan diri sebagai manusia seutuhnya dengan perduli kepada sesama. Kita sebagai manusia harus mampu menggelorakan ruh kemanusiaan yang sebenarnya, tidak hanya sekedar tampilan artifisial dan semiotik belaka.
Argumentasi ini dengan sendirinya mengcounter dalih “agenda mengaji”. Kalau kemudian para pemodal juga berdalih bahwa mereka peduli dengan menyedekahkan produk, maka kenapa harus membaca al quran terlebih dahulu? Kenapa juga tidak memberikan “gratisan” kepada masyarakat bawah pada bulan yang lain? Namun, saya sendiri tetap berharap bahwa mental bangsa Indonesia tidak sehina para peminta-minta. Mental sudah berubah dari inlander menjadi pejuang. Sehingga, agenda-agenda semacam itu dapat disikapi dengan kritis dan bijak oleh bangsa kita.
Tetapi, perlu dipahami pula bahwa ini masih menjadi asumsi, sebab saya belum bisa membuktikan kebenarannya. Tidak elok kiranya kalau menjustifikasi “niat baik” seseorang atau kelompok dengan “stigma buruk” sebagaimana termaktub dalam judul. Apabila memang terbukti sebagai “komodifikasi agama”, perlu kiranya bersama-sama kita bersuara, lawan komodifikasi agama, lawan komodifikasi ramadhan!!! Sebab, seharusnya ramadhan harus dimuliakan. Ramadhan harus mengajarkan seorang muslim agar mampu bersabar, ikhlas, telaten dan menahan nafsu negatif.
Barnas Camp, 11 juni 2016
*Gus Ma’ruf (Presiden BEM FITK UIN Walisongo, Kader PMII Gus Dur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *