SemarNews.com , Semarang – Kota Semarang telah dinyatakan sebagai Kota Layak Anak. Meski demikian, kasus trafficking di Jateng didominasi Kota Semarang. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jateng mencatat selama 2018 terdapat 48 kasus perdagangan anak yang terjadi di Jateng. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2017 yang hanya terdapat 17 kasus. Dalam prosentasenya dapat ditaksir meningkat sekitar 196%.
Dari 48 kasus perdagangan anak di Jateng, 47 kasus di antaranya terjadi di Kota Semarang. Padahal pada 2017 lalu, dari 17 kasus perdagangan anak yang ditemukan di Jateng, hanya tiga yang terjadi di Kota Semarang. Oleh sebab itu Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang terus melakukan upaya untuk pencegahan. Diantaranya dengan Sosialisasi Pencegahan Trafficking di Kota Semarang yang digelar di Gedung Juang 45, Jalan Pemuda No. 163, Kota Semarang, Jum’at (8/3/2019) pagi. Sebagaimana lazim diketahui khalayak, aktifitas anak jalanan di Kota Semarang terbilang masih ramai. Sebab itu, aktifitas anak di jalan raya harus dapat dipertanggung jawabkan sebagai kegiatan yang terbebas dari adanya indikasi perdagangan orang.
Kabid Rehabsos, Tri Waluyo saat diwawancarai seusai kegiatan mengungkapkan sosialisasi diikuti 2 orang gugus tugas dari 38 kelurahan layak anak. 1 orang gugus tugas kecamatan layak anak dari 16 kecamatan, dan 1 orang dari unsur pusat pelayanan terpadu kecamatan (PPTK), serta beberapa unsur lain. Harapannya, untuk memberikan pemahaman dan pencegahan adanya perdagangan anak.
“Kami (Dinsos) berharap kepada seluruh masyarakat untuk bisa memahami hal-hal terkait dengan perdagangan anak,” kata Tri seusai kegiatan “sehingga Kota Semarang yang dinyatakan sebagai Kota Layak Anak ini benar-benar terbebas dari persoalan tersebut,” imbuhnya.
Dalam sosialisasi tersebut, ia menghadirkan dua orang narasumber yang kompeten di bidangnya, yakni; Kanit PPA Satreskrim Polrestabes Semarang, Dhayila D, dan Ketua Yayasan Anantaka, Tsaniatus Sholichah. Kegiatan yang berlangsung interaktif tersebut memunculkan beberapa pertanyaan menarik, diantaranya muncul dari salah satu Koordinator Wilayah Tim Penjangkauan Dinsos (TPD) Kota Semarang, Yusuf Efendi.
Menjawab pertanyaan dari Yusuf, Dhayila menerangkan, anak yang berjualan di jalan dengan pengawasan orang tua itu tidak masuk eksploitasi ekonomi. Hal tersebut berbeda dengan anak yang disewakan untuk kepentingan ekonomi.
“Punya anak bayi lalu disewakan. Itu mungkin bisa masuk eksploitasi ekonomi,” katanya. Meski tak terindikasi eksploitasi anak, namun aktifitas ekonomi tidak boleh menghilangkan hak seorang anak untuk mengeyam pendidikan di sekolah. “Anak tidak boleh putus sekolah karena sekarang sekolah sudah gratis,” ujarnya.
Menjelaskan hal di balik persoalan trafficking, Tsaniatus Shalichah mengungkapkan delik perkara yang menjadikan sulitnya pembuktian adanya indikasi perdagangan anak.
“Kalau misalnya belum ada pemindah tanganan itu belum bisa disebut traficking, tapi eksploitasi. Jadi memang sulitnya pembuktian UU No 21 Tahun 2007 itu adalah karena butuh unsur-unsur tadi yang kadang tidak bisa dibuktikan,” urainya. Dia mencontohkan, Kasus dugaan trafficking yang terjadi di Kabupaten Batang yang pada akhirnya dijerat dengan Perda tentang eksploitasi anak karena adanya unsur-unsur yang tidak bisa dibuktikan. (HQ)
—————