Penulis sering merasa miris menyaksikan fakta imperialisme dan stratifikasi bahasa yang melanda kehidupan sosial bangsa ini. Seperti dalam pergaulan sehari-hari, ada kasus misalnya wanita yang aduhai mendadak hilang cantiknya hanya karena dia berdialek ngapak, atau segerombolan manusia yang berbahasa dengan taste yang blekutuk-blekutuk mirip rebusan air panas dianggap tidak high class dalam berbahasa, Ya tho?. Kasus lain misalnya bahasa tertentu dianggap halus dan yang lainya dianggap kasar.
Sakjane itu tidak ada klasifikasi bahasa yang demikian jika antum (biar kelihatan Islami) memahaminya. Kalaupun ada, itu selalu dibentuk atas kepentingan politik tertentu pada masanya. Karena bahasa selalu merepresentasikan ke khasan budaya, ideologi, keyakinan, ajaran hidup, nilai-nilai yang membentuk dan lestari dalam struktur sosial masyarakat tertentu. Makanya, perlu ada pemahaman tentang Cross Culture Understading dalam memahami bahasa orang lain. Dan perlu disadari bahwa sejatinya, meskipun wanita cantik tadi berdialek ngapak, dalam urusan yang lain dia tetaplah malaikat yang menenangkan, hehe.
Fakta diatas baru satu kasus sedulur, yang tidak akan penulis korek lebih dalam. Hanya saya doakan agar kaum yang suka ngece kaumku (ngapak community) lekas tobat, jika tidak mau men jomblo seumur hidup. Kali ini kita akan bicara soal urgensi misuh, dan kenapa ini penting sebagai bagian dari proses language maintanance seperti dalam kajian sosiolinguistik. Misuh yang identik dengan stigma negatif harus diluruskan, karena sekali lagi tidak ada bahasa yang kasar, sexiest, phatic atau porno, kalaupun ada itu sesungguhnya berasal dari pikiran ngeres si language user. Kalau saya katakan misuhpun selalu merepresentasikan budaya lokal pemisuhnya, dia bukanlah konsep yang ada dalam bahasa standard dan lingua franca (opo meneh kwi?), meskipun dibeberapa tempat masih ditemukan kesamaan dalam pilihan kata dan kalimat misuh.
Misalnya kata-kata yang lahir dari kebun binatang seperti Asu, Celeng, Jangkrik, Pitik, wedus, kirik nama buah-buahan seperti Jambu, Telo, Pentil, nama-nama bagian tubuh seperti Matamu, Ndasmu, Lambemu, Cocotmu, ungkapan khas lain misalnya Jancuk, Puicek, Kakeane, Bidak dlsb. Coba kita amati, dimana letak saru dari ungkapan indah yang terlontar dari mulut penuh keihlasan tersebut? Bukankah fikiran kita saja yang membentuknya menjadi saru? Jadi yang salah siapa? Pikirke lek. Harus diakui memang, produsen pisuhan paling produktif adalah kaum adam. Makanya penulis amini teori dari Janet Holmes tentang machoisme dalam berbahasa, bahwa pria lebih cenderung menggunakan bahasa vernacular (non-standard language). Bukan pria machojika tidak menabrak larangan, peraturan, dan kemapanan termasuk dalam berbahasa. Berbeda dengan kaum hawa yang lebih sering menggunakan bahasa yang baik dan benar (sesuai EYD). Sehingga, potensi misuh paling subur lahir dari cocot perkataan pria.
Holmes juga menjelaskan bahwa pisuhan itu menunjukkan tingkat keakraban dan persekawanan yang dijalin. Simpelnya begini, seorang belum dikatakan sangat akrab, jika belum pernah me-misuhi, ngeceatau memaki sahabatnya itu. Tidak bisa dipungkiri, saya pun merasa demikian lur, dari anak desa dengan ‘kesantunan’ cara berbicara dan merantau ke Ngaliyan (gudangnya senior tukang ngenyek), saya pun ketularan. Namun justru dari budaya tersebut saya mendapatkan banyak sahabat. Jadi jelaskan? Betapa aktivitas misuh, yang biasanya disertai dengan taburan bumbu ngece sangat besar manfaatnya dalam memupuk kecerdasan interpersonal seseorang. Tapi tolong, jangan kau tarik ini pada wilayah moral dan sopan santun ya? Banyak yang tidak terima nanti, meskipun ini sangat akademis hehe.
Disisi lain, ungkapan-ungkapan yang terlontar tersebut menunjukkan kekhasan bahasa daerah tertentu. Ditengah generasi bangsa yang makin tidak PeDedengan bahasa lokalnya, agen misuh masih setia mempertahankan ungkapan lokal tersebut. Fenomena kematian bahasa daerah, penulis ramalkan akan terjadi 20 tahun dari sekarang (ngramal ben sangar). Penyakit diglossiadan polyglossia sudah menggerogoti bangsa ini. Karena bahasa daerah kini diletakkan pada strata terendah dibawah bahasa asing dan bahasa Indonesia. Keluarga dan lingkungan saat ini lebih bangga jika anaknya mampu meguasai bahasa asing dan bahasa Indonesia dengan lancar dibandingkan bahasa daerahnya, dan ini gawat boss.
Oleh karena itu, budaya membangun silaturahmi melalui bahasa daerah termasuk dengan misuh harus tetap dilestarikan. Apalagi pisuhan yang lahir dari aktivis pergerakan, sejatinya itu juga bermakna kegeraman terhadap penindasan dan ketidakadilan yang diterima rakyat. Upaya tersebut sama pentingnya dengan semangat anda dalam membaca buku, berdiskusi dan menulis. Makanya, sering-seringlah misuh untuk mengeratkan persahabatan dan melestarikan tradisi luhur budaya bangsa.