Begitulah uraian yang saya peroleh ketika membuka kamus digital Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kriminalitas ialah tindak kejahatan yang dilakukan secara sadar dan tidak sadar baik oleh wanita ataupun pria yang merugikan orang lain. Kriminalitas bukanlah warisan atau bawaan sejak lahir (Kartini Kartono: 2005). Titik tekannya ialah tindakan kejahatan yang merugikan orang lain.
Berangkat dari pengertian yang cukup sederhana dan jelas ini, hendaknya kita mengetahui bagaimana bersikap terhadap fenomena maraknya kriminalisasi di negeri ini mulai dari kriminalisasi wartawan, sastrawan, buruh hingga petani. Kata yang terakhir adalah korban kriminalisasi terbanyak dalam konflik agraria. Seringkali mereka yang dikriminalisasi atau dituduh sebagai pelaku kriminal bukanlah orang yang melakukan kejahatan dan merugikan orang lain, sebaliknya justru merekalah yang dirugikan oleh orang lain.
Mari sejenak mengingat data kriminalisasi dalam konflik agraria yang semakin meninggi. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2009-2014 terdapat 1.395 orang yang telah menjadi korban kriminalisasi dalam perjuangan mempertahankan tanah dan Sumber Daya Alam. (htttp// www.KPA.or.id./news/blog/pemberitahuan-ketersediaan-dana-darurat-untuk-korban-kriminalisasi-agraria/). Angka yang cukup fantastis untuk mengatakan bahwa kriminalisasi adalah senjata ampuh bak rudal neo-imperialisme untuk menghadang dan menggagalkan usaha para pejuang tanah air.
Tentu tidak mengherankan jika kriminalisasi terjadi dimana-mana karena sesungguhnya ini menjadi indikasi adanya persoalan sosial dimana-mana. Menjadikan sesuatu yang tidak kriminal menjadi kriminal adalah bentuk pembelokan kebenaran dan pengaburan terhadap persoalan yang terjadi. Seringkali kita melihat bagaimana usaha para petani yang mempertahankan hak-hak atas tanahnya harus siap berhadap-hadapan dengan jurus kriminalisasi.
Kebenaran yang mestinya dikatakan lantang adalah bahwa tanah air para korban kriminalisasi sedang dijajah dengan gaya baru, inilah penjajahan dan perampokan gaya baru. Persoalan yang terjadi adalah hak mereka dirampas, ruang hidup mereka dilibas, namun disirnakan dengan persoalan semu bahwa para korban kriminalisasi inilah permasalahannya. Tindakan kriminalisasi menjungkir balikan kebenaran dan persoalan yang terjadi.
Ada dua pendapat yang saya ajukan untuk dijadikan dalil melawan fenomena kriminalisasi:
1. Melawan Kriminalisasi, Melaksanakan Kewajiban Nahi Munkar
Kriminalisasi terhadap para pejuang yang mempertahankan tanah airnya adalah upaya para penjajah kehidupan rakyat kecil untuk menjagal perjuangan mereka. Taruhlah contoh perlawanan para petani di Desa Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal, perjuangan masyarakat Surokonto Wetan kini sedang dijagal dengan ditetapkannya status tersangka pada sosok Kiai Nur Aziz dan dua petani lainnya (penjelasan terkait kronologi konflik agraria dan penetapan tersangka Kiai Aziz dapat diakses di www.daulathijau.org).
Petani penggarap lahan yang sedang berjuang merebut kembali sumber kehidupannya dihadang dengan tindak jahat pihak Perum Perhutani KPH Kendal melalui topeng kriminalisasi para petani. Sungguh perbuatan yang merugikan para petani disaat perjuangan baru akan dimulai karena tanah adalah sumber kehidupan dan penghidupan para petani. Disinilah letak relevansinya, bahwa melawan segenap bentuk kriminalisasi adalah sebuah ibadah dalam rangka mencegah kemungkaran.
Sederhananya, kriminalisasi adalah wasilah (media) menuju kemungkaran (merebut sumber kehidupan rakyat) dan melawannya adalah bentuk pemutus jalan menuju kemungkaran. bagaimana mungkin kita membiarkan dan meng-iya-kan kemungkaran?
2. Menolak Kriminalisasi Sama dengan Berjihad Melawan Penjajah
Kalau di alasan pertama fokusnya pada tindakan kemungkarannya maka alasan kedua ini ada pada pelakunya. Masih merujuk pada kasus kriminalisasi petani Desa Surkonto Wetan. Serangkaian kronologi bagaimana banyak perbuatan melawan hukum seperti pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) –bukan hak milik- yang dimiliki oleh PT Sumurpitu Wrinnginsari kepada PT Semen Indonesia yang tidak memiliki kapasitas sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, atau perternakan sesuai dengan PP No. 40 Tahun 1996, kemudian tindakan melawan hukum ini dilanjutkan dengan tukar-menukar lahan seluas 127 Ha kepada Perum Perhutani Kabupaten Kendal, Belum lagi ditambah tuduhan pembalakan liar dan perusakan hutan oleh Perum Perhutani terhadap para petani yang menanam dan menggarap lahan perkebunan sejak 1972 dan kriminalisasi adalah senjata ampuh para penjajah kehidupan petani penggarap lahan.
Seharusnya, kita harus mempertanyakan ulang siapa yang layak disebut pelaku kriminal. Tindakan ngawur yang dilakukan oleh ketiga pihak ini (PT Sumurpitu Wringinsari, PT Semen Indonesia dan Perum Perhutani) sama halnya dengan para penjajah yang datang ke Indonesia dengan mengambil dan menjarah sumber kehidupan rakyat Indonesia dengan seenaknya. Maka melawan kriminalisasi petani sama halnya dengan berjihad melawan penjajah. Bukankah, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari telah mendahului memberi tauladan kepada kita dengan resolusi jihad-nya tentang bagaimana mempertahankan kemerdakaan dari penjajah?
Mari kita renungkan kembali, bagaimana mungkin membiarkan kemungkaran dan penjajahan berdiri tegak di depan kita? Bukankah para pendiri bangsa telah mendidik dan memberi teladan kita untuk melawan setiap penjajahan? Bukankah Muhammad SAW mengajarkan bagaiamana kita harus bersikap dalam menghadapi kemungkaran dengan segenap kemampuan (biyadihi, bilisanihi, biqolbihi) kita?
Oleh: Ahmad Umam Aufi
(Pengamat segala hal yang nikmat dan aktif di berbagai tempat nongkrong ukhti-ukhti emez)