foto: Artonang.blogspot.co.id |
Banyak pemikir sosial melakukan pendikotomian terhadap perkembangan masyarakat. Misal Daniel Bell, tokoh asal Amerika ini melakukan pembagian masyarakat menjadi masyarakat tradisional, masyarakat industri dan terakhir, masyarakat pos-industri. Jika merujuk pada Bell, maka kita sekarang berada dalam masyarakat posindustri. Masyarakat pos-industri basis produksi terkuatnya adalah sektor ekonomi jasa. Masyarakat ini hasil perkembangan dari masyarakat industri yang basis produksinya manufaktur yang melibatkan kontrol saintifik atas sumber daya alam dan penggunaan sumber-sumber energi buatan.
Lahirnya masyarakat seperti ini berkembang pesat setelah revolusi industri. Selanjutnya, perkembangan masyarakat pos-industri berkembang semakin pesat setelah Howard Scott sebagai seorang insinyur mengkampanyekan sebuah gerakan sosial. Menurut Scott, keadaan masyarakat akan membaik dan krisis (depresi besar 1930-an) bisa diatasi apabila pengelolaan kehidupan ekonomi berada di tangan para insinyur dan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan teknis. Akhirnya terciptalah masyarakat industri yang mengisi peradaban Amerika, bahkan sampai Eropa.
Masyarakat hasil dari budaya teknokrasi ini bukanya tanpa menimbulkan kritik. Herbert Marcuse mengkritik kebudayaan teknokrasi yang sudah terbentuk melalui bukunya, One Dimention Man (1964). Menurutnya masyarakat Amerika dan Eropa telah dikuasai prinsip irasionalitas teknologis, dimana pengelolaan terhadap alam dan manusia dilakukan secara teknokratis. Marcuse mengkritik bagaimana masyarakat sudah hidup sedemikian rupa terjebak pada suatu sistem teknologis-totaliter pada peradaban industri maju. Manusia sudah menjadi robot.
Majalah Time, pada edisi September 2014, juga memunculkan dialektika wacana yang dihasilkan kebudayaan teknokrasi ini dengan memberi judul “Never off-line”. Wacana ini dilontarkan sebagai refleksi untuk menyikapi kehidupan masyarakat yang sudah termesinisasi. Terjebak pada rutinitas yang mengurung rasa kemanusiaan mereka yang telah menjadi “robot”. Hilang kedalaman rasanya, hilang ciri khas kemanusiaanya. Masyarakat pos-industri yang dituntut sistem kapitalis untuk melakukan akumulasi, efisiensi, serta akselerasi membuat manusia kehilangan waktu berkualitasnya untuk beraktualisasi sebagai manusia secara penuh.
Hitungan pertambahan produksi (akumulasi) yang hanya fokus pada jumlah laba yang bisa diproleh, sedikit modal untung banyak (efisiensi), dan semua hal yang harus serba cepat dan dituntut serba instan (akselerasi), membuat manusia sudah menyerupai robot saat menjalankan segala bentuk kegiatanya sehari-hari. Bukan lagi sempat mempertimbangkan kemanfaatan, kebahagiaan, kebebasan dari setiap kegiatanya, tetapi hanya mengejar dan memenuhi angka yang sudah ditargetkan dan tanggal yang sudah ditentukan sebagai tenggat hasil laporan kerja. Semua melakukan perlombaan. Parahnya, perlombaan semacam itu malah semakin menuju ke arah hilangnya identitas manusia sebagai manusia!
Kesenian dan Kedalaman Kemanusiaan
Terberkatilah orang yang bisa melihat suatu keindahan di tempat yang sederhana ketika orang lain tidak melihat ada sesuatu hal disana (Camile Pisaro). Pelukis asal Prancis ini mengantarkan kita ke depan pintu kesadaran bahwa seharusnya apa saja yang kita lakukan seharusnya tidak boleh kosong makna. Kita seharusnya menjadi manusia yang terberkati yang mampu melihat keindahan dunia ini dengan cara-cara sederhana. Tentu bukan maksud penulis mengajak kita berlari ke arah fatalisme, tetapi mengajak manusia menuju eksistensi kemanusianya dengan tidak terlalu fokus pada angka-angka yang harus diraihnya, tidak terlalu fokus pada target-target yang harus dipenuhinya.
Refleksi semacam ini, yang memungkinkan mengembalikan manusia menjadi manusia seutuhnya, bisa dilakukan oleh kesenian ; baik melalui lukisan, puisi, tarian, teater dan berbagai bentuk seni kreatif lainya. Melalui kesenianlah manusia tidak lagi mampu menghindar saat berbagai ketidakadilan yang mencederai kemanusiaan menyentilnya. Kesenianlah yang akan memberikan kedalaman rasa yang membuat kita mampu membagi apa yang kita punya bukan malah menimbunya (akumulasi). Apa jadinya jika setiap masyarakat tidak lagi memahami kesenian? Atau sesuatu yang lebih parah, apa jadinya jika manusia beranggapan tidak lagi membutuhkanya? Pasti hidup diantara masyarakat semacam itu sangat tidak asyik. Dimana setiap kebahagiaan pasti diukur dengan angka!
Semarang, sebagai kota besar tentu menjadi pusat perkembangan masyarakat pos-industri. Untungnya, sudah sejak 2014 kota ini mempunyai Pasar Seni sebagai upaya “derobotisasi”. Kegiatan tahunan ini nampaknya ingin mengajak masyarakat untuk tidak menjadi robot. Pasar Seni jelas ingin mengajarkan masyarakat bahwa kita harus menangkap kedalaman makna dari setiap apapun yang ada di dunia ini. memanusiakan manusia adalah usaha yang harusnya bisa kita tangkap selain tujuan pariwisatanya. Meskipun hanya setahun sekali, tetapi hal itu sudah cukup menyegarkan, seperti menemukan oase di padang pasir. Tinggal kita tunggu, apakah akan ada Pasar Seni lanjutan atau kegiatan yang serupa, atau malah memilih untuk terciptanya masyarakat yang berisi robot-robot. Semoga seluruh lapisan masyarakat Kota Semarang tidak rela jika harus hidup berdampingan dengan robot!