Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila
LBH Semarang – AJI Semarang – PBHI Jawa Tengah – Jaker HAM – LRC KJHAM – KP2KKN – eLsa – Spartacus – Rumah Buku Simpul Semarang – GMNI FISIP UNDIP – Satjipto Rahardjo Institute – Komunitas Payung – BEM FIB UNDIP – Gerakan Literasi Indonesia – FNKSDA – DEMA UIN Walisongo – PMII Cabang Semarang – CCMNP.
I. Pendahuluan
Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation de nation per nation. Karena itulah Pancasila kiri. – Soekarno, 6 November 1965.
Belakangan ini, hantu-hantu fasisme ala Orde Baru, melalui campur tangan militer ke ranah sipil dan pembangkitan kembali fobia komunisme dalam berbagai bentuk sensor meramaikan beberapa media massa. Sebelumnya, pembubaran diskusi maupun acara-acara progresif telah sering sekali terjadi, pemutaran film Senyap dan Jagal di beberapa kota, pembubaran nonton bersama dan diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta, dan lain sebagainya. Baru-baru ini tindakan sensor tersebut disusul dengan penyitaan berbagai buku, baju, dan atribut lain yang yang secara sepihak dianggap sebagai berbau ke-kiri-kiri-an yang menjurus pada kriminalisasi. Hal ini bersifat kontradiktif dari hendak dimulainya proses rekonsiliasi nasional yang diinisiasi oleh Pemerintah dengan diselenggarakanya Simposium Tragedi 1965. Semenjak itu, tampak adanya berbagai upaya yang menghalangi proses pengungkapan kebenaran, yaitu upaya-upaya non-demokratis yang bertujuan membungkam dan menciptakan teror ditengah masyarakat. Teror tersebut, menurut Aliansi ini, adalah bentuk lain daripada kebangkitan hantu Fasisme Orde Baru.
Kenapa Orde Baru harus kita tolak? Jawabanya sederhana saja, karena landasan berdirinya Orde Baru itu sendiri tidak lain dan tidak bukan merupakan pembantaian atas golongan kiri dan pendukung Presiden Soekarno. Semenjak itu, teror tidak dapat lagi dihentikan. Kekuasaan presidensial yang kuat ditambah dengandwifungsi ABRI membuat posisi negara, dalam hal ini Soeharto beserta kroninya, menjadi sangat kuat. Hal ini terlihat dari pembenaran atas perbuatan yang jelas-jelas merenggut kemerdekaan orang banyak seperti pembunuhan dan pembuangan massal terhadap mereka yang dituduh Komunis maupun juga terhadap oposisi politik. Harus dicatat disini, bhwa yang disebut sebagai negara yang kuat bukanlah dalam arti bahwa negara tersebut melakukan tindakan melawan hukum, melainkan bahwa hukum itu sendiri dipergunakan untuk kepentingan si Negara untuk melegitimasi perbuatanya. Dengan kata lain, selain melakukan perbuatan yang menyalahi ketentuan hukum, fasisme teror negara juga melibatkan kekejaman yang dibenarkan oleh hukum. Dengan negara yang kuat, dengan tiadanya oposisi politik, hegemoni dari seluruh lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun masuknya militer dalam ranah kehidupan sipil, membuat Orde Baru tidak lebih dari sekedar mesin perputaran modal besar semata dengan rakyat sebagai sekrup-sekrup mesin yang dapat sewaktu-waktu dibuang atau diganti. Jargon rakyat, yang tadinya hidup dalam perdebatan-perdebatan publik semasa Presiden Soekarno, berubah menjadi massa apolitis, persis karena ancaman kekerasan bagi setiap suara yang menentang.[1] Dengan demikian, demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru bukanlah Demokrasi dan juga bukan Pancasila.
Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila melihat setidaknya terdapat lima faktor penting yang menentukan kemana arah Indonesia pasca-Soeharto akan melangkah. Kelima faktor ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan menjadi bagian per bagian. Pertama, penghargaan atas kebebasan berserikat dan berkumpul, yang secara umum telah terantum terutama dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) dan Ayat (3), UU 39/1999 tentang HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol. Pasal penjamin kebebasan tersebut memiliki irisan dengan hak-hak yang lain sekaligus bersinggungan dengan ketentuan pembatasnya. Masalahnya, manakah yang lebih kuat, irisan dari hak atau pembatasan atas hak? Kedua, menyangkut permasalahan pertama, pembatas hak paling kuat yang menjadi akar dari asal muasal masalah diskriminasi maupu pembenaran tindakan kekerasan terhadap golongan kiri adalah melalui TAP XXV/MPRS/1966, dengan ketentuan pidana yang diatur dalam UU 27/1999 yang merupakan perluasan dari Pasal 107 KUHP. Penggunaan dasar hukum tersebut, meskipun diatas kertas masih berlaku, namun jelas sudah tidak lagi kontekstual terutama bagi Indonesia pasca-Soeharto yang mengalami keterlambatan masa keadilan transisional. Penggunaan hukum yang demikian, adalah sebagaimana yang dilakukan Nazi, Fasisme dengan berkedok hukum. Ketiga, mengenai masuknya militer dalam kembalinya militer kepada fungsi pertahanan negara. Hal ini juga penting mengingat beberapa peristiwa belakangan yang menunjukkan militer mulai melakukan intervensi dari kehdupan sipil. Apabila dibiarkan, masuknya militer ke ranah sipil akan mengganggu jalanya demokrasi. Keempat, untuk mengatasi kebencian dan penderitaan, diperlukan adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi, yang menjadi satu bagian dari proses rekonsiliasi. Tanpa adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi para korban, maka kekejaman sangat berpotensi untuk berulang. Terakhir adalah penghentian dari pelakuan stigma negatif golongan kiri. Pemberian stigma ini dibagi dua, pertama adalah kepada korban 1965, dan yang kedua diberikan secara luas kepada kelompok masyarakat tertentu yang tengah melakukan advokasi/pendampingan/perjuangan kerakyatan dengan tujuan mencitrakan secara negatif atau yang lebih buruk lagi, melakukan kriminalisasi. Kelima faktor diatas akan dibahas dibagian bawah ini.
II. Bagian per Bagian
Kembali mencuatnya isu mengenai komunisme belakangan ini kian mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. Daulat rakyat yang telah mendapat jaminannya secara konstitusional harus terkebiri oleh tindakan aparat TNI dan Polri yang bergerak bagai mesin-mesin penegak hukum nir-toleransi. Khusus untuk TNI, tentu tak hanya itu. Ia telah bergerak melampaui tugasnya, mencari panggung untuk tampil bak pahlawan.Tindakan seperti ini kembali menggiring memori kolektif bangsa akan eksistensi orde Suharto, orde baru. Dan yang menjadi catatan penting adalah, bahwa tindakan represif tersebut muncul setelah adanya usulan pengungkapan kebenaran pasca Simposium 1965.
John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menuliskan bahwa, “Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalamhubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citrakhayali (simulacrum) ‘komunisme’”.Ternyata, keadaan yang demikian tak serta-merta hilang mengiringi jatuhnya Suharto dari tampuk kekuasaan. Citra khayali adanya “bahaya laten komunis” tetap dijaga, meski hampir genap 18 tahun pecah peristiwa reformasi. Aturan-aturan hukum yang begitu diskriminatif dan mengangkangi kemanusian seperti Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tetap diakui sebagai “hukum besi”. Bahkan, di era awal reformasi diperkuat lagi aturan hukum tersebut melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Dengan demikian, sangat patut diduga bahwa apa yang terjadi sekarang telah disiapkan secara sistematis untuk dilestarikan.
Ketidaksiapan aparat TNI maupun Polri untuk berdemokrasi memiliki konsekuensi terkesampingkannya hak asasi. Sekitar 10 hari belakangan, begitu banyak represi-represi yang begitu agresif dilakukan oleh aparat. Mulai dari penyitaan buku-buku yang ada akaitannya dengan G30S ataupun komunisme, penyitaan kaos atau atribut bermotif palu arit, bahkan penangkapan pengguna kaos bermotif palu arit. Untuk penyitaan buku yang dilakukan, tampak ketidakpahaman aparat terhadap hukum. Padahal, pengamanan barang-barang cetakan secara ekstra judisial sebagaiamana yang termaktub dalam UU No 4/PNPS/1963 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK pada 2010 lalu. Pasca putusan ini, penyitaan buku harus melalui putusan pengadilan. Sementara, untuk penangkapan pengguna kaos bermotif palu arit telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Dengan kata lain, telah adanya tindakan pengekangan kebebasan berekspresi. Jelas, bahwa Tap MPRS XXV/MPRS/1966 jo. Pasal 107a, Pasal 107b, Pasal 107c, Pasal 107d, dan Pasal 107e UU Nomor 27 tahun 1999 dapat dijadikan landasan oleh aparat untuk membernarkan tindakannya. Apalagi ketentuan dalam UU Nomor 27 tahun 1999 tersebut dapat dimaknai dengan sangat luas dalam penerapannya. Namun, memandang hukum dengan kacamata kuda seperti itu sama saja dengan mementahkan reformasi. Terlebih dengan menguatnya tuntutan akan pemenuhan serta perlindungan HAM. Dimasukkannya rumusan yang lebih komprehensif ke dalam UUD NRI 1945 pada amandemen kedua, disahkannya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, serta diratifikasinya Konvenan Hak Sipil dan Politik (disamping Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) hendaknya dapat menjadi guideline aparat dalam bertindak. Hal yang demikian perlu agar hukum benar-benar diciptakan untuk manusia, bukan manusia yang menjadi hamba hukum.
1) Ancaman terhadap kebebasan berpendapat
UUD NRI 1945 merupakan the supreme law of the land dalam konteks ke-Indonesiaan. Salah satu jaminan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 adalah kebebasan berekpresi yang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang tertera dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan prediketnya sebagai hukum tertinggi, maka idealnya, UUD NRI 1945 dapat menganulir aturan-aturan yang bertentangan dengannya. Selain itu, dalam Pasal 19 Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 juga telah dijamin tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Memang hak ini tidak tergolong kepada non-derogable rights. Namun, yang harus diingat adalah bahwa dalam pengklasifikasian HAM, hak atas kebebasan berekspresi serta berpendapat diklasifikasikan sebagai hak sipil dan politik. Karakteristik dari hak jenis ini adalah semakin sedikit peran negara, maka akan semakin terjamin pemenuhan hak tersebut (negative rights). Hal inilah kemudian yang harus menjadi pemahaman aparat dalam bertindak. Bukan semata melaksanakan undang-undang yang berlaku hanya karena ia diberlakukan sebagai hukum positif.
Untuk melihat ketentuan pembatasan terhadap hak berekspresi dan berpendapat secara lebih jelas, selain dapat dilihat dalam Pasal 28J UUD NRI 1945 dan Pasal 19 Ayat (3) Konvenan Hak Sipil dan Politik, dapat dilihat dalam Prinsip Johannesburg (pengakuan penerapan jangka panjang Prinsip-prinsip Siracusa). Keberlakuan asas erga omnes dalam ketentuan-ketentuan mengenai HAM kiranya dapat menjadikan dasar penerapan prinsip ini untuk pembatasan.
Prinsip 1.1 huruf a Prinsip Johannesburg menyatakan:
Pembatasan apa pun terhadap ekspresi dan informasi harus ditentukan oleh hukum. Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
Dalam prinsip diatas, dinyatakan bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan adanya ketentuan hukum. Namun yang menjadi catatan adalah, adanya frasa “tidak bersifat ambigu” dalam ketentuan prinsip tersebut. Ambigu menurut KBBI diartikan sebagai “bermakna lebih dari satu atau bermakna ganda”. Artinya, dasar hukum yang digunakan untuk pembatasan tidak boleh bermakna terlalu luas. Sementara, UU Nomor 27 tahun 1999 yang digunakan sebagai dasar pembatasan dalam ketentuan pasalnya, mengandung rumusan yang begitu luas. Hal ini dapat dilihat misalnya dari ketentuan Pasal 107a:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Dalam rumusan pasal diatas dapat dilihat bahwa dengan adanya frasa “melalui media apapun” dan frasa “dalam segala bentuk dan perwujudan” telah membuka peluang kesewenang-wenangan aparat dalam pembatasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, dalam Prinsip 2 huruf b juga disebutkan:
Khususnya, pembatasan yang dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional tidak sah jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial.
Frasa “melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan” kiranya berkaitan dengan Simposium 65 yang baru saja diadakan. Penindakan yang dilakukan oleh kepolisian terkesan mengabaikan keimpulan Simposium bahwa ada keterlibatan negara dalam kasus 1965. Sementara penggunaan logo palu arit yang dianggap aparat sebagai ekspresi kriminal erat kaitannya dengan kasus 1965. Dengan demikian, karena pada saat ini sedang dilakukan pengungkapan kebenaran (kesalahannegara), maka semakin kuat keharusan bagi aparat untuk tidak membatasi hak untuk berekspresi. Terakhir, ketentuan Prinsip 4 bahwa:
Diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul bangsa atau sosial, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya tidak boleh menjadi dasar pembatasan terhadap kebebasan berekspresi atau informasi, termasuk dengan alasan keamanan nasional.
Frasa “pendapat politik” sebagai salah satu alasan tidak bolehnya dilakukan pembatasan berekspresi juga merupakan ketentuan yang juga harus menjadi perhatian dalam pembatasan berekspresi. Jika simbol palu arit ditafsir oleh aparat sebagai simbol komunisme yang merupakan suatu ideologi atau pendapat politik, maka berdasarkan prinsip Johannesburg dan demi kemanusiaan, aparat harus berhenti melakukan pembatasan.
2)Batalkan atau Tidurkan Peraturan Delik Politik yang Diskriminatif
Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bersumber dari kebijakan pertama Suharto pasca ditandatanginya Supersemar oleh Sukarno. Ketetapan ini berisi ketentuan yang membatasi ideologi komunisme/marxisme-leninisme untuk disebarkan dan dikembangkan dalam segala bentuk manifestasinya. Komunisme/marxisme-leninisme, menurut ketetapan ini, hanya boleh didiskusikan untuk kepentingan ilmiah.
Masih berbekal Supersemar, formasi kelembagaan MPRS pada saat pembentukan Ketetapan ini juga telah “dibersihkan” oleh Suharto dari unsur-unsur pendukung komunis. Semua anggota MPRS (dan juga pejabat negara lainnya) dipecat dari pemerintahan dan banyak yang dipenjarakan karena dituduh terlibat peristiwa G30S.
Sementara, berdasarkan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
- UUD 1945;
- Ketetapan MPR;
- Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden; dan
- Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Merujuk pada ketentuan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 diatas, merupakan suatu keharusan bagi peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan apa yang telah digariskan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara. Tak terkecuali Ketetapan MPRS. Secara formil, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 inkonstitusional karena bertentangan dengan penjelasan Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan. Ketetapan MPRS a quo berdasarkan Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 harusnya dibentuk dalam suatu Sidang Istimewa MPRS dengan menjelaskan kondisi kenegaraan yang mendorong diadakannya sidang istimewa tersebut. Sementara dalam tataran praktik, Ketetapan MPRS a quo ditetapkan dalam sebuah sidang umum (Sidang Umum IV MPRS 1966).
Sementara itu secara materil, pembentukan Tap MPRS/XXV/1966 tidak memperhatikan adanya jaminan untuk mengekspresikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak menjadi perhatian bagi MPRS pada saat pembentukan Tap MPRS XXV/MPRS/1966. Padahal semangat yang terkandung didalam Pasal 28 UUD 1945 adalah semangat demokratisasi. Pasal 28 UUD 1945 pada proses pengesahannya telah melalui perdebatan panjangan antara Hatta dan Yamin yang mengehendaki adanya jaminan HAM dan demokrasi, serta di sisi seberang, Soepomo dan Soekarno yang menginginkan negara bercorak integralistik. Perdebatan ini akhirnya berujung pada penerimaan Soepomo dan juga Soekarno terhadap disertakannya jaminan HAM dalam konstitusi. Namun, semangat demokratisasi yang ada dalam Pasal ini tidak serta merta dihayati oleh para pembentuk Tap MPRS XXV/MPRS/1966. Yang demikian, menurut Adnan Buyung Nasution adalah “dampak politik dari pemaknaan Pasal 28 UUD 1945 berdasarkan staatside integralistik totaliter di bawah pemerintahan Suharto”.
Pasca reformasi dan Amandemen UUD NRI 1945, keberadaan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tetap dipertahankan.Status hukum Tap MPR/MPRS dalam hierarki peraturan perundang-undangan menempati posisi dibawah UUD NRI 1945 dan diatas undang-undang / Perpu (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011) setelah sebelumnya sempat dihilangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Sementara itu, pemberlakuan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 melalui ketentuan Pasal 2 angka 1 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 harus diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum,prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Meskipun terlihat paradoks, karena ketentuan yang tidak menghormati prinsip HAM ini harus diberlakukan dengan menghormati HAM, namun hal ini harus menjadi perhatian aparat dalam menindak tindakan yang berhubungan dengan komunisme. Hal ini diperkuat adanya jaminan HAM yang lebih komprehensif pasca amandemen kedua UUD NRI 1945. Selain Pasal 28, ada juga ketentuan Pasal 28E Ayat (2),Setiap orang berhak atas kebebasanmeyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai denganhati nuraninya,Pasal 28E ayat (3), Setiap orang berhak atas kebebasanberserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,danterutama Pasal 28I ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk tidakdisiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hakuntuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapanhukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlakusurut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaaan apapun.
Dengan diakomodirnya ketentuan-ketentuan yang secara komprehensif menjamin HAM dalam UUD NRI 1945, semakin tampak pertentangan antara Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dengan UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi. Terlebih lagi, dalam Pasal 28I ayat (2) telah dinyatakan bahwa hak atas kemerdekaan pikiran tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Namun demikian, Tap MPRS ini hingga sekarang masih diakui diakui sebagai peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi sumber hukum materiil bagi aturan-aturan hukum lain yang bersifat diskriminatif terhadap kebebasan berekpresi, menyampaikan pendapat dan kemerdekaan fikiran. Untuk itu merupakan keharusan bagi negara untuk mencabut pemberlakuan Tap MPRS/XXV/1966 demi terjaminnya perlindungan HAM di Indonesia.
Analisa kedua adalah, bahwa dalam konteks civil law, sejauh pengaturan tersebut tidak dibatalkan, dicabut, atau daluwarsa, maka pengaturan tersebut masih tetap berlaku. Situasi kedua inilah yang terjadi di Indonesia pada masa reformasi ini. Meski beberapa pengaturan dibawahnya telah dibatalkan oleh yudisial,[2] namun pada dasarnya pada tiap-tiap keputusan tersebut tidak ada dalam bagian amar yang menyinggung soal relevansi dari TAP MPRS itu sendiri, walaupun adapula yang menyinggung perihal penahanan dan perlakuan sewenang-wenang. Secara garis besar, kemenangan dari perkara yang diajukan semata-mata karena berlawanan dengan belum adanya keputusan hukum yang tetap atau praduga tidak bersalah. Hal ini barangkali disebabkan juga karena posisi TAP yang berada tepat dibawah UUD.
Jadi dapat dikatakan bahwa TAP XXV/MPRS/1966 masih berlaku baik secara de facto dan de jure. Sementara TAP mengatur perihal ketentuan yang bersifat umum, dan hanya bersifat melarang, pengaturan dibawahnya yang menggunakan TAP tersebut sebagai gantungan validasi formilnya, memiliki konsekuensi hukum yang berakibat pada sifat diskriminatif secara legal dan pengaturan pidana. Untuk kepentingan tulisan ini akan dibahas satu saja contoh mengenai ketentuan pemidanaan yang termuat dalam UU 27/1999. Pada intinya, ketentuan dalam UU a quo tersebut mendefinisikan mengenai delik pidana politik, yaitu delik pidana yang mempunyai muatan politik di dalamnya dan dalam konteks UU a quo, yang diatur secara spesifik adalah ketentuan pidana dari penyebarluasan Komunisme/Marxisme/leninisme. Ketentuan delik dalam UU a quo tersebut bersifat luas dan multitafsir.[3] Keduanya, baik TAP MPRS maupun UU 27/1999 merupakan satu paket kesatuan dari pengaturan yang bersifat sewenang-wenang. TAP MPRS sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya pada tahun 1966, sebagai pengaturan yang dibuat secara sewenang-wenang dengan tujuan untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap yang dituduhkan sebagai kiri atau komunis dalam berbagai kebijakan selama orde baru, dan ketentuan UU 27/1999 adalah turunan dan ketentuan pidana yang lahir pada masa menjelang reformasi.
Pertanyaanya, apakah suatu hukum yang menyalahi nilai kemanusiaan masih dapat dikatakan sebagai hukum? Tentang hal ini, ada baiknya untuk menilik dari pengalaman Jerman pasca Nazi. Sebagaimana telah diketahui, Nazi adalah partai yang secara sah memenangi pemilu, dan bahkan kebijakan rasialnya juga dilakukan secara sah menurut hukum. Radbruch, sebagai jawaban dari pertanyaan diatas menyatakan bahwa “positivism with its credo that ‘law is a law’ rendered the German legal profession defenceless against laws of arbitrary and criminal content.”[4] Lebih jauh, Radbruch berpendapat bahwa hukum positif tidak dapat lagi dinyatakan berlaku apabila mencapai pada titik dimana ketidakadilan sudah tidak dapat lagi ditoleransi, dan kedua, apabila dalam pengundanganya memang bertujuan untuk mengingkari keadilan. Kedua hal tersebut adalah standar minimum dari keadilan.[5] Jadi, dihadapan ketidakadilan yang tidak terperikan, suatu hukum sudah tidak berlaku sebagai hukum.
Tap MPRS dengan demikian harus diletakkan dalam konteksnya hari ini, bahwa secara positif memang masih berlaku, namun pengaturan tersebut, apabila memang belum dapat dibatalkan, dapat untuk dibuat tidak berlaku, atau menidurkan pengaturan tersebut. Akan tetapi, kenapa pengaturan Tap beserta dibawahnya perlu untuk ditidurkan atau dibuat tidak berlaku? Sebagaimana telah diketahui, Indonesia pasca-fasisme Soeharto mengalami masa transisi yang terlambat, kalau tidak mau dikatakan gagal. Keterlambatan itu nampak pada tidak dibereskanya kejahatan masa lalu hingga lebih dari satu dekade masa reformasi. Untuk kasus 1965 dimana langkah-langkah awal baru hendak ditempuh, maka pada saat inilah seharusnya masa transisi baru akan dimulai. Keadilan transisional, dan dengan pengungkapan kebenaran di dalamnya memiliki konsekuensi lain, yaitu bahwa pengungkapan dan keadilan itu akan mengubah tatanan hidup pada umumnya, yang berarti memerlukan cara-cara berhukum yang luar biasa. Sejauh ini, proses transisional di Indonesia berjalan secara kontradiktif, pada satu sisi negara rajin mengundakan atau meratifikasi Hukum bermuatan HAM, namun pada saat yang bersamaan juga tidak menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu dan belakangan justru menciptakan teror berdalih legalitas hukum. Klausula ketidakadilan yang tidak terperikan, dalam formulasi Radbruch, dalam kasus 1965 dimana menelan korban –mengutip Sarwo Edhie- 3 juta orang dan pembuangan terhadap 1 juta orang lainya, dalam 50 tahun pencarian keadilan, telah terpenuhi. Maka Tap MPR adalah hukum yang tidak memiliki validitas hukum.
Kemudian apabila hukum tersebut bukan lagi hukum, apa yang dapat diperbuat? Dalam hal tersebut dapat diterapkan kebijakan untuk tidak menerapkan hukum (non enforcement of law).[6] Posisi strategis dari penerapan kebijakan ini ada pada pihak kepolisian, selaku garda depan dari pelaksanaan kebijakan pidana. Maka, apabila Kepolisian dengan ini memang merupakan salah satu bagian dari proses rekonsiliasi dan keadilan yang lebih besar bagi bangsa dan negara, penggunaan TAP maupun UU 27/1999 sebagai dalih kriminalisasi hari-hari ini harus dipandang sebagai hal yang tabu dan tidak manusiawi. Ketidakmanusawian berkedok peraturan hukum.
3)Tentara Kembali ke Barak
Penghapusan dwifungsi ABRI seharusnya membatasi peran TNI dalam mengintervensi setiap kegiatan masyarakat dalam menyampaikan pendapat yang sudah dijamin oleh UUD 45. Namun yang terjadi, dwifungsi ABRI masih terasa nyata di dalam masyarakat, kausalitas dari hal ini menimbulkan gesekan-gesekan. Studi mengenai dwifungsi menghasilkan dua pemikirian dan fokus. Dwifungsi ABRI merupakan ideologi. Dan kedua, dwifungsi ABRI merupakan sebuah konstruksi sosial[7]. Sedangkan dwifungsi ABRI memiliki fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat pada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan Kekuatan Sosial dalam rangka Perjuangan Nasional untuk mencapai Tujuan Nasional[8]. Dwifungsi ABRI memaksa masyarakat untuk bergerak dibawah tekanan psikis dan ideologis, psikis artinya masyarakat wajib mematuhi dan mengikuti segala aturan yang dijalankan oleh negara melalui ABRI sebagai simbol/ cara agar aturan itu benar-benar dilakukan dan dijalankan. Sedangkan ideologis berarti ABRI memberikan sedikit ruang untuk masyarakat terlibat dalam sosial dan politik. Dwifungsi ABRI secara konseptual maupun secara praktis merupakan kontra posisi dan paham atau ideologi supremasi sipil. Paham supremasi sipil memandang bahwa tentara hanyalah alat negara belaka yang didudukan dibawah dan dikendalikan oleh pemerintah (sipil) yang berkuasa[9]. Dwifungsi ABRI sangat khas dengan politik orde baru terutama dalam menjamin stabilitas keamanan negara. Dwifungsi ABRI yang diketahui masyarakat diluar ABRI adalah suatu bentuk militerisme yang nyata yang ditunjukan oleh negara dalam politik orde baru.
Konsep dwifungsi ABRI muncul pertama kali dalam bentuk konsep “Jalan Tengah” yang diusulkan oleh Jenderal A.H. Nasution pimpinan TNI AD saat itu kepada Presiden Soekarno dalam ulang tahun Akademi Militer Indonesia (AMI) di Magelang tahun 1958. Dwifungsi ABRI menjawab kegelisahan dalam tubuh ABRI untuk menjawab tantangan Presiden mengenai ABRI sebagai alat negara dalam menjalankan politiknya serta pelaku politik dalam keterpihakan negara saat politik timur-barat. ABRI kemudian mengambil “jalan tengah” diantara kedua hal tersebut. ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula menjadi penonton dalam arena politik. Perwira ABRI harus diberi kesempatan melakukan partisipasinya didalam pemerintahan atas dasar individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI. Dwifungsi ABRI bila dilihat dalam tataran konseptual terasa sangat tegas terutama dalam membagi posisi ABRI di dalam negara. Namun, dalam prakteknya konsep ideologis yang ditawarkan oleh Jenderal A. H. Nasution mendapatkan mispersepsi terutama di tubuh ABRI itu sendiri. Prinsip penjaminan keamanan berubah menjadi konsep represi yang menghambat perjuangan masyarakat masa itu untuk bahu membahu memajukan negara. Bahaya laten dwifungsi ABRI juga ada di dalam politik orde baru yang masih sangat nyata kita rasakan hingga saat ini. Selain melakukan represi fisik dan psikis, ABRI bisa bebas menyalurkan ide-ide strategis kepada negara melalui faksi militer dalam pemerintahan, yang secara terang-terangan ABRI masuk kedalam politik melalui keterlibatan dengan partai Golongan Karya.
Reformasi mungkin bisa menghapus dwifungsi ABRI secara legal melalui tuntutannya, namun dwifungsi ABRI sudah terlanjur mengakar, sehingga adanya perubahan-perubahan ke arah masyarakat sipil yang merdeka akan selalu mendapat tekanan apapun bentuknya. Sehingga betapapun reformasi berusaha menghapus nilai-nilai yang terkandung melalui dwifungsi ABRI selama masih ada praktik-praktik kemiliteran yang dilakukan penghapusan hanya sebuah wacana. Kembalikan militer kepada tugasnya, kembalikan tentara pada baraknya.
4) Mendukung penuh jalanya proses Rekonsiliasi
Indonesia pasca Soeharto sesungguhnya memerlukan cara pandang baru yang bertolak dari kekejaman masa lalu. Masalahnya, meskipun pasca reformasi banyak peraturan perundangan yang bermunculan, baik melalui proses legislasi maupun ratifikasi konvensi internasional, pada lain pihak keadilan transisional nyaris tidak berjalan. Sebagai akibatnya, tidak ada pembelajaran dan pengungkapan kekejaman sehingga tidak ada refleksi atasnya. Dengan tidak adanya pembelajaran, maka potensi berulangnya peristiwa sangat mungkin untuk terjadi, disamping tidak adanya akses pengetahuan bagi generasi muda untuk mempelajarinya. Dari sini, proses rekonsiliasi, meskipun sesungguhnya terlambat sekian lama, menemukan urgensinya. Setelah sekian tahun mengalami kemandegan dari proses berskas Penyelidikan Komnas HAM menuju Kejaksaan Agung, juga ditolaknya rekomendasi rehabilitasi yang merupakan hak prerogatif Presiden setelah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung pada masa Bagir Manan ketika periode Megawati Soekarnoputri, [10]kemandegan dari penyelesaian peristiwa 1965 sebagai dasar landasan berdirinya Orde Baru.
Pertanyaan paling mendasar dari proses rekonsiliasi untuk kasus 1965 ini adalah, rekonsiliasi macam apa yang hendak ditempuh. Apakah kekejaman masa lalu itu hendak dibiarkan saja berlalu? Atau apakah perlu untuk mengingatnya? Aliansi berpendapat bahwa melupakan adalah salah satu langkah menuju pengulangan. Memutuskan untuk mengingat sekalipun, masih memerlukan langkah lebih jauh lagi, yaitu mengenai bagaimana luka itu hendak dibuka, apakah hendak dibarengi dengan penghukuman atau hanya sekedar mengingat saja. Dalam perspektif ini, penghukuman kepada yang bersalah bukan hanya sekedar berarti merampas kemerdekaan pada mereka yang bersalah, melainkan harus dipandang sebagai penebusan atas kesalahan yang pernah dilalui. Hanya saja, ada satu lagi cara lain, bahwa penebusan kesalahan tersebut tidak semata-mata dilalui melalui penghukuman, namun juga permaafan, dan inipun bukan sekedar permaafan begitu saja, melainkan permaafan yang dibarengi dengan pengungkapan kebenaran sebagai gantinya.
Melalui skema diatas, terdapat hal yang harus dicermati dari struktur hukum di Indonesia. Bahwa betul, inisiasi Pemerintah untuk melakukan simposium 1965 adalah suatu kemajuan yang berarti apabila dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya, akan tetapi kemajuan tersebut belum dibarengi dengan perubahan struktur hukum sehingga membuat alur rekonsiliasi nampaknya masih jauh api dari panggang. Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, hanya terdapat dua mekanisme Pelanggaran HAM Berat: yaitu melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dan Rekonsiliasi. Sialnya, keduanya tidak bersifat saling melengkapi, melainkan bersifat substitusi. Draft RUU KKR 2015 yang merupakan inisiasi dari Pemerintah semenjak dibatalkanya UU 27/2004 masih mencantumkan ketentuan pengampunan secara universal tanpa adanya timbal balik berupa pengungkapan kebenaran. Sementara itu, tidak ada ketentuan apapun dalam RUU a quo kecuali pemanggilan paksa yang dapat mewajibkan bagi pelaku untuk mengungkapkan kebenaran. Pada lain pihak, apabila memilih penyelesaian melalui UU 26/2000, kelemahanya terdapat pada lemahnya ketentuan mengenai reparasi korban. Hal ini karena UU 26/2000 sendiri telah sedari awal keliru dipersepsi –sebagaimana namanya- sebagai Pengadilan HAM, padahal UU a quo tersebut yang merupakan adopsi dari Statuta Roma merupakan pengadilan pidana. Jadi, dalam perspetif UU a quo, suatu tindakan pelanggaran HAM Berat hanya terjadi apabila ada pelaku, tanpa adanya pelaku, tidak ada korban. Bahkan apabila ada pelaku, hak korban sebagaiman terdapat dalam Pasal 35 hanya dapat diberikan berupa pilihan opsional saja dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat wajib sebagaimana tercantum dalam kata dapat dalam pasal 5 ayat (2).
Apabila rekonsiliasi adalah penulisan ulang sejarah, maka siapakah kemudian yang menuliskanya. Akankah kebenaran dalam perspektif korban tersebut kemudian menggantikan keadilan secara cuma-cuma atas kekejaman yang dilakukan oleh pelaku? Sebagai pembanding, kondisi politik Chile pasca diktator Agusto Pinochet ditempuh dengan kebijakan eksekutif yang berani, menggunakan dekrit presiden dengan tambahan ketentuan bahwa setiap hasil temuan komisi akan diserahkan pada kekuasaan yudisial, yang berarti tidak melanggengkan impunitas bagi pelaku, selain dibarengi dengan proses reparasi bagi korban yang berjalan dengan kuat. Di Afrika Selatan, Sub-komisi Amnesti menentukan apakah sebuah pengungkapan kebenaran itu telah dilakukan dengan penuh, untuk kemudian menentukan kelayakan seseorang dalam amnestinya. Dengan demikian, baik reparasi, penghentian impunitas, dan pengungkapan kebenaran dari kedua pengalaman tersebut berjalan secara beriringan, tentu disamping perbedaan konteks kekuatan politiknya.
Penulisan ulang sejarah berarti pula harus dibarengi dengan dihapusnya seluruh peraturan diskriminatif, terlebih tindakan-tindakan kriminalisasi melalui penyematan stigma yang luas maupun delik politik yang ambigu. Dan satu lagi, bahwa rekonsiliasi tidak dapat berjalan bersamaan dengan teror Orba, karena persis dasar legitimasi Orde Baru itulah yang hendak dilampaui.
5)Hapuskan Stigma Negatif PKI
Sudah sejak lama peristiwa 1965 terjadi. 50 tahun yang lalu ternyata belum cukup untuk menghilangkan stigma PKI di Indonesia. Kebanyakan stigma yang muncul di masyarakat terkait PKI adalah stigma buruk atau negatif. Hal itu merupakan hasil dari kampanye kebudayaan yang diakukan oleh Orde Baru dengan beberapa produk kebudayaan seperti Film Pengkhianatan G/30S/PKI ,novel Pengkhiatanan G/30S/PKI, buku karangan Nugroho Notosusanto, majalah Horison, dll. Bagaimana produk kebudayaan tersebut sangat berperan aktif dalam memproduksi kebencian terhadap PKI dan ideologi berbau kiri serta sejenisnya. Hal itu merupakan sebuah keadaan yang mencerminkan ketidakdewasan dalam berbangsa dan negara.
Bukan hanya itu, peran institusi pendidikan dalam memproduksi kebencian terhadap PKI dan ideologi kiri sangat masif dilakukan. Hal tersebut terjadi hampir di semua jenjang pendidikan formal di Indonesia seperti SD, SMP, maupun SMA. Peran guru-guru sejarah sangat fital dalam memproduksi kebencian dan stigma negatif tersebut. Ironisnya, meskipun era reformasi telah menggema di republik ini hampir 20 tahun ditandai dengan terbitnya buku-buku yang membantah produk kebudayaan Orde Baru seperti film dan buku, hal itu tidak memperlemah kampanye kebencian terhadap PKI, komunisme, dan ideologi kiri.
Kemudian muncul juga organisasi islam fundamentalis yang termakan oleh stigma yang dibangun Orde Baru bahwa komunis ataupun PKI itu anti terhadap tuhan (atheis). Organisasi-organisasi ini dengan sangat brutal mengganggu proses rekonsiliasi akar rumput ataupun dari negara, ketika mereka membubarkan diskusi-diskusi ataupun acara-acara yang mencoba mencari sedikit kebenaran tentang peristiwa 1965, dll. Banyak kasus-kasus yang sudah terjadi di seluruh Indonesia terkait pembubaran yang secara brutal dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut. Padahal stigma yang dibentuk Orde Baru bahwa komunis itu atheis sangat salah besar. Banyak tokoh-tokoh PKI ataupun komunisme yang sangat religius.
Bukan berarti kita membela dan ikut menjadi komunis, namun ini adalah sebuah upaya untuk menciptakan keadilan di lapisan seluruh masyarakat Indonesia. Mereka yang selama ini distigma sebagai komunis, PKI yang diidentikan dengan kekejaman, kesadisan yang tidak mengenal Tuhan sangat tertekan, trauma yang sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya. Mereka merasa tidak bebas dengan kehidupan bermasyarakat, padahal UUD 1945 melindungi semuanya dan tidak membeda-bedakan. Mari berjuang bersama menghilangkan stigma buruk PKI, komunisme, ideologi kiri dll, mari berjuang bersama dengan Ideologi Pancasila yang melindungi semuanya. Mengutip Voltaire, saya barangkali tak sependapat denganmu, tapi hakmu untuk mengutarakanya, akan terus saya bela.
III. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan diatas, Aliansi mengajukan rekomendasi berupa:
- Penjunjungan tinggi terhadap hak kebebasan berpendapat/berserikat
- Menuntut untuk membatalkan TAP XXV/MPRS/1966 dan aturan hukum turunannya, atau kepada aparat untuk melakukan diskresi dengan menidurkan beserta seluruh pengaturan diskriminatif dibawahnya sebagai bagian dalam proses rekonsiliasi dan keadilan transisional.
- Kepada militer untuk kembali ke barak dan tidak mencampuri kehidupan sipil.
- Kepada pemerintah untuk mempercepat jalanya proses rekonsiliasi yang termuat di dalamnya ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran yang adil, mengakhiri impunitas, dan reparasi bagi para korban.
- Kepada seluruh masyarakat pada umumnya dan aparat pada khususnya untuk mengakhiri penggunaan stigma negatif PKI yang biasa disematkan baik kepada korban, pendamping korban, maupun pekerja sosial masyarakat yang bertujuan untuk menimbulkan teror atau ketakutan.
Semoga ketidakadilan ini dapat segera berakhir, dimana tidur nyenyak kita tidak lagi dihantui oleh mimpi-mimpi buruk, para monster berseragam yang berlagak ala Orba. Merdeka!
***
[1] Komnas HAM setidaknya mencatat tujuh kekerasan Negara selama Orde Baru yang terindikasi merupakan Pelanggaran HAM Berat dimana peristiwa 1965 adalah yang paling luas dan besar.
[2] Judicial Review Pasal 60 g UU 12/2003 yang dibatalkan melalui putusan MK No 011-017/PUU-1/2003 yang menjadi putusan penting mengingat penggunaan instrument huum internasional (kovenan sipol yang waktu itu belum diratifikasi) dalam bagian pertimbanganya. Gugatan TUN Nona Nani soal KTP Seumur hidup yang kemudian menjadi Yurisprudensi PTUN Jakarta No. 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT. Putusan MA 25 P/HUM/2007 yang membatalkan Keppres 28/1975 tentang perlakuan terhadap eks-tapol golongan C.
[3] Terutama Pasal 107 a:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 huruf e dengan ancaman maksimal 15 tahun:
Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudanya;
Ketentuan delik dalam dua pasal diatas bersifat sangat luas dengn semata-mata memberlakukan pidana pada penyebaran dalam bentuk apapun, juga bahwa ketentuan diketahu atau patut diduga, yang tentu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.
[4] Frank Haldemann. Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on Nazi Law. Ratio Juris Vol. 18 No. 2 June 2005. Hlm 165.
[5] Ibid hlm 166 sebagaimana dikatakan Radbruch menurut Haldermann: Positive law loses its legal character or its legal validity if, and only if, it reaches a level of extreme injustice.
[6] Menurut Suteki, kebijakan tidak menerapkan hukum dapat diterapkan dengan berdasar pada 4 alasan sebagai berikut:
- apabila penerapan hukum tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM.
- Apabila hukum bersifat jauh dari realitas sosal dan tidak dekat dengan keadilan rakyat.
- Bila memang tidak ada peraturan pelaksananya
- Bilamana bangsa dan Negara menghendaki, yakni untuk kepentingan yang lebih besar dari pada penegakan hukum di bidang tertentu, non enforcement melalui system restitutif atau restorative.
Disarikan dari Suteki. Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Unversitas Diponegoro, Semarang 4 Agustus 2010. Suteki tidak menjelaskan konteks non-enforcement of law tersebut dalam konteks kejahatan Ham berat, namun beberapa poin darinya dapat dipergunakan untuk kepentingan tulisan ini terutama poin 1 dan sebagian dari poin 4. Aliansi berpendapat bahwa kebijakan restitutf/restorative tidak lantas menghilangkan kebijakan pidananya.
[7] Azca, M. Najib. 1998. Hegemoni Tentara. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 3
[8] Ibid. Hlm 4
[9] Ibid. Hlm 5
[10] Surat Rekomendasi KMA/403/2003