Salah besar, saat kalian para cecunguk ngeProf.com di Ngaliyan menganggap aku gak kenal hari libur, perlu diketahui long weekend kali ini aku traveling ke Banyuwangi. haha. Aku ini yo buruh (buruh kok bangga), masak pas hari buruh tetap kerja, saat long weekend masih tetap kerja. Aku ga mau masuk sebagai orang yang dikategorikan sahabat Risya sebagai budak model masa kini. Ini sekelumit cerita perjalananku selama menuju tempat-tempat yang awesom di Banyuwangi.
Siapa yang tak kenal Banyuwangi, Jawa Timur? Kalau belum tahu saya sarankan untuk segera browsing dan tanya kepada Mbah Google.
Lima tahun terakhir, kegiatan wisata Banyuwangi bergeliat dan sejumlah objek wisata mulai dibuka di kabupaten yang berada di ujung timur pulau Jawa itu. Sebenarnya Banyuwangi telah dikenal kalangan wisatawan sejak puluhan tahun silam, tetapi hanya sekadar sebagai tempat berlabuh yaitu di pelabuhan Ketapang dan tujuan utama tetap ke pulau Bali. Tetapi sejak sejumlah objek wisata baru dibuka, wisatawan datang ke Banyuwangi tidak hanya untuk transit saja, tetapi juga berlibur dan menikmati keindaham alamnya.
Apalagi sejak ada berbagai event Internasional yang diselenggarakan di Banyuwangi, seperti Tour de Banyuwangi Ijen, Banyuwangi Ethno Carnival, Festival Perahu Layar, dan lainnya. Wisatawan lokal dan mancanegara mulai berduyun-duyun datang dan menikmati surga dunia di Banyuwangi.
Begitu juga saya lebih memilih menghabiskan long weekend awal Mei 2016 untuk pergi ke Banyuwangi bersama beberapa rekan kerja dan kenalan baru. Selain mempertimbangkan keindahan alam yang begitu menakjubkan, juga melihat kondisi kantong. Hahaha
Perjalanan ke Banyuwangi dimulai Jumat (6/5/2016) pukul 10.00 WIB menggunakan transportasi kereta api. Saya berangkat dari stasiun Madiun, karena saat ini saya sedang mukim di wilayah Madiun Raya. Bagi kalian yang dari Ngaliyan bisa naik kereta api dari stasiun Tawang/Poncol ke Banyuwangi, kalau tidak ada ambil jurusan Surabaya, setelah itu ambil jurusan Banyuwangi. Santai saja, saat ini tiket kereta api tidak mencekik kantong dan keretanya juga full AC. Sepertinya pemerintah mulai memikirkan kaum kusam yang hobi backpackeran seperti kita. Saya sarankan saat backpackeran lebih baik menggunakan kereta api dibandingkan transportasi bus, syukur-syukur bisa naik pesawat. Konon jadwal pemberangkatan kereta itu jarang molor dibandingkan transportasi bus.
Meski sama-sama di Provinsi Jatim, perjalanan dari Madiun ke Banyuwangi membutuhkan waktu yang cukup lama, 12 jam. Bayangkan, waktu selama itu hanya dihabiskan untuk duduk dan melihat pemandangan lewat jendela kereta. Ah, ga produktif. 12 jam itu sama seperti waktu bobok cakep penghuni Camp Harmony.
Sudah jangan pada ribut, ini pengetahuan empiris saya saat mampir ke tempat horor tapi ngangenin itu.
Yang lebih mengenaskan, kebetulan rombongan saya ada tujuh orang, enam orang di antaranya pasangan suami istri dan yang ketujuh adalah setan. Karena mengganggu kemesraan mereka. Saya sendirian dan hanya memandang mereka memadu kasih di dalam kereta. Saya 12 jam menjadi fakir asmara, kali ini saya merasakan perasaan admin ngeprof.comyang sudah belasan tahun jadi fakir asmara. Saya sempat berencana mengajak dedek gemes Rinesti Witasari untuk ikut agenda ngetrip ini, namun karena jarak yang terlalu jauh dan juga waktu yang terlalu mepet, akhirnya saya putuskan untuk berangkat sendiri.
Sampai di Stasiun Karangasem, Banyuwangi sekitar jam 10 malam, dan menunggu travel yang akan mengantarkan rombongan kami ke Kawah Ijen. Perjalanan dari stasiun membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar dua jam, dan kami baru berangkat pukul 01.00 WIB. Sesampainya di pos tiket Ijen, ratusan kendaraan memadati tempat parkir kawasan itu.
Dari pos tiket hingga ke Kawah Ijen berjarak sekitar 3.000 meter di bawah permukaan laut (MDPL). Jarak yang panjang dengan jalan menanjak membuat saya agak malas dan mengevaluasi niat untuk menuju ke Kawah Ijen. Saya jadi teringat beberapa tahun silam, saat itu saya nekat muncak bersama orang paling berpengaruh di Ngaliyan versi sahabat Risya yaitu Bung Muso alias Bojes alias Kak Mbo alias Mushonifin di Gunung Ungaran.
Saat itu, Bojes nekat muncak tanpa persiapan apapun. Tanpa bekal apapun, termasuk air mineral. Perjalanan ke puncak Gunung Ungaran pun berjalan dengan lancar dan tanpa ada halangan apapun. Jangan mempertanyakan bukti berupa foto di puncak ya, saat itu era hp berkamera harga murah belum ada. Satu-satunya bukti ya ingatan Kak Mbo.
Pengalaman nekat itu ternyata memberi pelajaran penting bagi hidup saya, yaitu kesuksesan itu berawal dari keseriusan niat dan tekad. Saat kita menginginkan sesuatu, lakukanlah dengan niatan yang kuat dan percaya diri. Meski kita tidak memiliki gambaran dan bekal apapun dalam menghadapi hal baru, tidak ada salahnya kita untuk mencobanya.
Atas pencerahan empiris dari Kak Mbo itu pula, saya membulatkan niat untuk terus menuju puncak Ijen dan melihat Kawah Ijen dan fenomena blue fire. Apalagi saat perjalanan ini, saya telah melakukan persiapan dengan memakai perlengkapan muncak yang hangat dan safety. Selain itu persediaan konsumsi yang cukup serta ditemani tour guide. Tentu dengan niat yang kuat dan diimbangi persiapan matang akan membuat semakin yakin akan sebuah harapan.
Bagi sebagian besar pengunjung Kawah Ijen pasti mendambakan melihat fenomena blue fire. Konon blue fire hanya bisa dinikmati saat cuaca cerah dan sebelum Subuh atau sekitar pukul tiga hingga empat dinihari.
Keindahan blue fire ini pula yang membuat saya tertatik dan lebih memantapkan langkah kaki menuju puncak Ijen. Jalur pendakian di Ijen tidak terlalu terjal, sudah halus bak jalan tol. Tetapi, seketika menjadi horor saat hujan turun dan membuat jalur pendakian licin dan berlumpur.
Akhirnya, saya pun sampai di Kawah Ijen pukul 05.00 WIB. Ribuan orang berjejer-jejer melihat keindahan kawah panas itu. Namun, saat berada di Kawah Ijen, saya sudah kehabisan moment kemunculan blue fire.
Atas kasus itu, saya mendapat pengalaman berharga, meski segala sesuatunya telah dipersiapkan secara matang dan dengan niat yang kuat, tetapi Allah tetap yang menjadi penentu atas rencana kita. Meski tidak bisa melihat fenomena blue fire, saya diberikan keindahan alam lain berupa tambang belerang dan air panas berwarna hijau yang indah.
Sekali lagi, pemandangan alam yang indah itu tidak didapat dengan cuma-cuma. Saya harus membayarnya dengan turun ke kawah dengan jalan yang amat sangat terjal dan terkadang diserang asap tebal belerang. Kalian pernah merasakan pedihnya terkena gas air mata dari petugas anti huru hara kepolisian? Ya, gas belerang ini lebih pedih dan berbau seperti kentut orang setelah makan telur. Saya memakai tiga masker dan itu tidak mempan. Bau busuk masih bisa menusuk hidung dan membuat mata pedih.
Di pinggir kawah, ada sejumlah orang penambang belerang yang dengan gigih mencari bongkahan batu berwarna kuning itu di tebalnya asap yang keluar dari perut bumi. Para penambang ini tanpa menggunakan pelindung sama sekali. Terbiasa, itu kata para penambang. Tetapi kan tetap saja panas dan bau busuk belerang tidak bisa hilang cuma karena terbiasa. Saya kok punya ide, gimana kalau penambang belerang ini direkrut jadi aktivis gerakan, dengan satu sebab, mereka bisa tahan dari serangan gas air mata polisi. Saya tidak bisa membayangkan ketika polisi mencoba membubarkan massa aksi dengan gas air mata, tetapi justru massa tetap bertahan di barisan masing-masing dan membalas dengan melempari aparat menggunakan gas belerang.
Para penambang ini juga menjadi idola bagi turis untuk dijadikan objek foto human interest. Biasanya, setelah difoto turis memberikan sebatang rokok atau sejumlah uang. Tapi salut lah sama bapak-bapak penambang ini, mereka tetap berjuang melawan kemiskinan dengan bekerja keras.
Saat saya mau turun dari puncak Ijen, ada seorang penjual suvenir berupa kerajinan yang terbuat dari belerang ngebla-bla-bla mengenai fungsi dan manfaat bagi kesehatan tubuh. Satu tujuan yang menarik pendengaran saya, belerang bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Aha, saya jadi teringat beberapa teman di Ngaliyan yang masih tersiksa jeratan mafia gudik.
Saya memutuskan untuk membeli beberapa butir belerang yang telah dibentuk karakter tokoh kartun yang unyu-unyu. Ini yang akan ku jadikan buah tangan bagi mereka yang tersiksa karena gudik. Rouf, sahabat yang dari luar terlihat bersih, ternyata di bagian tubuh dalam tersembunyi tambang gudik. Bayu gudik, dijuluki gudik karena dia penyebar utama virus gudik di Ngaliyan. Saya jadi sanksi, dia itu kurus kering bukan karena ga pernah makan, tapi dagingnya habis dimakan jutaan gudik yang bersarang di tubuhnya. Dodo, juga menjadi tokoh pelopor gudik yang cukup disegani dikalangan penyebar gudik lainnya. Dodo memang sengaja membiarkan gudik bersarang di tubuhnya, karena satu alasan, dia tidak mau kalah dengan kawanan gudik dan mengeluarkan duit untuk membeli obat. Yang terakhir yakni bos Ngeprof.com, ndan Maruf, diam-diam dia menyimpan tambang gudik di tubuhnya. Bukan Maruf kalau dia mengumbarnya ke publik, tetapi dengan ketelitian tim investigasi, tambang gudik itu terendus juga.
Tenang kawan-kawan penderitaan kalian sebentar lagi akan selesai. Ku bawakan bongkahan belerang yang berkhasiat membebaskan kalian dari cengkeraman gudik yang terkutuk itu.
Akhirnya perjalanan menuju Kawah Ijen selesai dan saya pun melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Baluran. Intinya buruh pun butuh liburan dan ini membuktikan buruh bukan budak. Buruh punya kebebasan dan itu tidak dimiliki kaum budak, apalagi kaum jomblo. Sekian…