Semarnews.com | Semarang – Budaya, sejatinya terus berkembang. Di dalam perkembangan budaya terdapat pengaruh agama, kepercayaan masyarakat dan satu sama lain terkait dan tak terpisahkan yang dalam bahasa jawa disebut awor-misah. Hal tersebut diungkapkan oleh H Sunarso SH, MH, pemilik Sanggar Pangreksa Budaya, dan dipercaya sebagai dewan pakar Permadani (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia)
Menurutnya, budaya lebih dari sekedar bersandingan dengan agama, “budaya kedah sesandingan kaliyan agami” kata dia dalan bahasa jawa. Miturut kawula mboten namung sesandingan, ananging awor-misah” lanjutnya (menurut saya, bukan hanya bersandingan, akan tetapi seperti tak terpisahkan). Diterangkan, budaya mengajarkan pada manusia untuk kehidupan yang lebih baik, beretika tinggi, dengan nilai-nilai religius yang konsisten. Hal ini biasa disebut dengan gesang istikomah.
Etika dalam penjelasannya sebagai budi pekerti ingkang utami (budi pekerti yang luhur), yang mana dalam agama disebut al akhlak al karimah. Sedangkan al kusnu al kharimah sebagai kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pada penghujung kehidupan manusia di dunia disebut kasampurnaning gesang, kasampurnaning pati. Norma yang ada dalam budaya sama sekali tidak terpisahkan sebagaimana diumpamakan rasa manis dalam gula.
Perkembangan budaya yang ada saat ini harus mendapatkan perhatian yang serius. Sebab, budaya sebagai dasar kesadaran seseorang terhadap bangsanya. Adanya kecintaan dan bangga terhadap budayanya, menjadi sebuah indikator kecintaan terhadap tanah air dan bangsa. Menarik memang, menelisik para pegiat yang melestarikan budaya tradisional di balik budaya modern. Terlebih di daerah perkotaan seperti di Ibukota Jawa Tengah, Kota Semarang.
Hal unik dan menarik darinya, Sunarso yang bergelar Ki Ageng Pangreksa Budaya adalah seorang sarjana hukum dengan profesi Hakim. Aktifitasnya sebagai seorang pengadil dalam persidangan tak melunturkan budaya bangsa. Bahkan, ia selalu meluangkan waktu untuk menghidupkan kesenian dan budaya. Terutama dalam hal menjaga tata bahasa jawa dari kepunahan. Disadari bahwasanya bahasa sebagai elemen kebudayaan yang tertua dalam peradaban manusia.
Budaya Luhur Sarat Etika
Saat ditemui di kediamannya, Sanggar Pangreksa Budaya Jalan Pringgodani ll No: 130 , Desa Karang Geneng RT 3 RW 2 Kelurahan Sumurejo Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, (01/04/2018), ia menyatakan bahwa kebudayaan adalah milik bersama. Dikatakan, siapapun yang mempelajarinya, maka dialah yang mumpuni (menguasai dan mendalami). Sebab, ukuran budaya bukan terletak pada sumbernya. Akan tetapi siapa yang bersedia mempelajarinya untuk bekal hidupnya. Budaya yang luhur sarat etika
Sementara, Dosen Fakultas Budaya dan Seni Universitas Negeri Semarang, Dr Widodo. Dosen yang dikenal dengan gelar Widodo Brotosejati merupakan pegiat budaya yang menjadi pengasuh Paguyuban Karawitan Jawa yang berpusat di Griya Pakarjawi Perum Sekargading RT 4 RW 3 Kalisegoro Gunungpati Semarang. Ia bersama para mahasiswa dan alumnus yang ada masih dan selalu setia memagari budaya dari budaya asing yang kian menggerus. Kegigihannya dalam mempertahankan budaya telah menuai hasil positif di mana para mahasiswa yang telah ia didik turut serta memperjuangkan budaya para leluhur bangsa ini. Setidaknya, budaya yang sarat nilai masih memiliki ruang-ruang di antara hiruk pikuk budaya modern. Permadani dan Griya Pakarjawi, keduanya secara sinergi menggali dan menumbuh-kembangkan budaya jawa melalui kegiatan rutin selapanan, dan sanggar yang mengajarkan karawitan, pranatacara, juga pedalangan. (HQ.semarnews)