semarnews.com || Semarang – Modern dan nasionalis bukan berarti melupakan budaya dan tradisi lokal. Demikian pula dengan dongeng atau kisah dalam budaya tutur. Srawung Persaudaraan Sejati yang digelar di ruang Semar, UTC, jalan Kelud Raya nomor 2, Petompon, Gajahmungkur, Kota Semarang, Kamis (25/10/2018) sore, menampilkan lakon Joko Kendil sebagai persembahan pembuka. Diungkapkan oleh Romo Aloysius Budi Purnomo, Joko Kendil dipilih sebagai suguhan pembuka karena makna yang tersirat dalam kisahnya.
“Joko Kendil dipilih sebagai pembukan karena Joko Kendil sebagai seorang pemuda yang wajahnya buruk rupa, sering dihina, dicerca, tapi tetap bertahan untuk menggapai kebaikan. Yaitu persaudaraan sebagai wujud peradaban kasih,” ungkap Romo Budi saat diwawancarai sejumlah awak media.
Perlu diketahui, Srawung merupakan modifikasi dari Kongres Persaudaraan Sejati pada 24-26 Oktober 2014 yang empat tahun kemudian diganti menjadi Srawung dengan konsentrasi generasi muda lintas Agama. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan persaudaraan yang dibina sejak kalangan muda. Srawung juga pernah dilaksanakan di tahun 2017, namun dalam waktu sehari dari pagi hingga sore hari yang ditempatkan di 4 kota, yakni Semarang, Jogjakarta, Surakarta, dan Magelang. Namun, Srawung sebagai even 4 tahunan dilaksanakan dalam konsep yang berbeda dengan maksud yang sama.
“Nah, tahun ini Srawung dibuat 3 hari, karena menjadi kelanjutan even 4 tahunan dari sebelumnya dengan nama Kongres,” ungkapnya. Terkait dengan peristiwa ketegangan politik yang terjadi dijawabnya, “Memang kami tidak memiliki orientasi ke sana. Kebetulan suasananya memang seperti ini, kalau mau ditempatkan dalam konteks dari pada kita dalam suasana panas, bersitegang, berkelahi, mari kita hidup rukun, bergembira, mengekspresikan dengan dolanan bocah, dengan sendratari, dengan workshop, suka cita melalui budaya dan kebersamaan,” tuturnya.
Sebuah persaudaraan tak lantas terbayang tentang huhungan darah semata. Persaudaraan sejatinya tak kan lepas dari adanya ikatan hati. “Hindu menyikapi sebuah konsep persaudaraan. persaudaraan yang dilandasi hati dengan niat suci, kesucian hati,” kata salah satu pembicara dalam Srawung, seorang tokoh Hindu, Eko Pujianto dalam siaran pers pra pembukaan, “wujud persaudaraan adalah kebahagiaan, karena kebahagiaan itu letaknya di dalam hati dan harus kita bagi dengan lingkungan kita,” imbuh pria yang juga guru Agama Hindu dari Kementrian Agama (Kemenag) Kota Semarang ini. Lebih lanjut dia berharap Merah Putih selalu jaya, Pancasila selalu tegak terjaga mengayomi seluruh umat beragama sehingga seluruh rakyat dan berbagai agama yang dianut hidup aman, dan nyaman
Lepas merpati : para tokoh yang telah hadir melepaskan burung merpati sebagai swbuah penanda kebebasan dan kedamaian |
Menurut agenda, Srawung menghadirkan beberapa tokoh lintas Agama sebagai narasumber. KH Ali Mufidz, Teddy Choliluddin, Romo Aloysius Budi Pernomo dan sebagainya. Tokoh Katolik yang telah hadir, Rahmat Paska Raja Gukguk mengungkapkan orang muda yang dimaksud dalam kegiatan tersebut.
“Namanya Srawung Orang Muda kok ada Romo Budi,” kata Rahmat sedikit bergurau, “di sini perlu kita pahami bahwa pemuda itu bukan soal usia, tapi semangat, spirit, atau memiliki power yang energik untuk melakukan pergerakan,” tegasnya, “nah, kalau orang tua itu biasanya lebih lamban, lebih lama memberikan respon, sebab adanya banyak pertimbangan,” terangnya.
Meski demikian, dia berharap gejolak orang muda yang dimunculkan dalam perpektif positif, yang membangun bangsa, dan mengeratkan persaudaraan sesama putra bangsa, “Jiwa muda ini tidak hanya melakukan sesuatu yang emosional, tapi memiliki karya kongkrit,” tandasnya menekankan, “selain itu, Srwaung ini menjadi momen penting untuk kita tidak berkutat pada diskusi-diskusi, tapi karya. Bagaimana kita bisa berkarya, menghasilkan persaudaraan, kemesraan untuk menghasilkan kerinduan untuk sering berjumpa lagi,” pungkasnya. (HQ)
—————