“Jika kau tetap di sini, kau mungkin akan bahagia, namun namamu akan hilang begitu saja hingga kau mati. Pergilah ke medan perjuangan, kau akan mati, tapi namamu akan dikenang oleh ribuan tahun sejarah”
Saya buka tulisan ini dengan seuntai nasehat dari Thetis untuk anaknya, Achilles. Thetis, seorang ibu cerdas dan bijaksana berjuang mati-matian mendidik Achilles agar kelak menjadi kesatria tangguh kebanggaan para dewa.
Walaupun Achilles dilahirkan di istana thessalonika/Pthia yang bergelimang kemewahan, Thetis enggan membesarkan anaknya di dalam istana. Dia lebih suka menitipkan putranya itu dari guru ke guru untuk menimba banyak ilmu. Yang Thetis pikirkan hanyalah, anak yang dilahirkannya harus menjadi seorang kesatria tangguh.
Kesungguhan Tethis dalam mendidik Achilles karena saat ia hamil dia selalu bermimpi tentang kematian anaknya di medan peperangan. Dia tak ingin anaknya mati begitu saja tanpa satupun sejarah yang mengenangnya.
Sebagai ibu, tentu dia tak rela jika dia tahu anaknya akan mati di usia muda, bahkan mati di hadapan ibunya sendiri. Maka itu dia mendidik anaknya sedemikian rupa, bukan untuk bertahan hidup dan melawan takdir, tapi agar kematian putra kesayangannya menjadi sebuah sejarah besar yang mampu mengguncang dunia.
Benar saja, saat terjadi perang troya tahun 2300 SM, yang ikonik dengan kuda troya, dan menurut legenda lebih dahsyat daripada perang modern manapun, Tethis merestui kepergian putranya ke medan perang dengan seuntai nasehat yang sangat heroik “Matilah dengan menggenggam sejarah perjuangan”
Ulasan cerita Achilles dari Phtia itu saya andaikan sama dengan kematian para pejuang kemanusiaan di bumi nusantara ini. Sebut saja Munir, Marsinah, Salim Kancil, Wijhi Thukul, Gus Dur, dll. Mereka berjuang bukan hanya dengan harta dan tenaga mereka. Bahkan mereka telah menyumbangkan nyawa mereka demi terciptanya keadilan.
Para pejuang itu telah mendapatkan restu dari ibunya untuk berkorban, bukan hanya ibu kandung mereka sendiri. Yang memberi restu mereka adalah ibu pertiwi yang bergelimang penindasan.
Para pejuang ini, walaupun telah tiada, mereka tetap mampu mengobarkan api semangat seperti halnya Achilles yang telah ribuan tahun tiada. Sejarah perjuangan mereka mampu menjadi sumbu api yang membakar semangat pergerakan.
Di Semarang, ada seorang pejuang HAM yang beberpa kali melakukan aksi untuk menyuarakan keadilan bagi warga kendeng dan surokontho wetan kendal. Dia adalah Atma Khikmi. Jujur saja saya tidak mengenalnya secara baik, namun kami beberapa kali bertemu dalam forum-forum setting aksi.
Dia hanya pemuda biasa yang sederhana dan dengan pemikiran sederhana pula. Yang dia kerjakan juga tidak muluk-muluk. Melalui LBH Semarang, dia mencari rumusan hukum yang pas agar masyarakat petani miskin di surokontho dan kendeng bisa mendapatkan keadilan.
Namun sayang, keinginan sederhana itu ditentang oleh pejabat dan korporasi elit yang memuja kemewahan. Yang pada akhirnya membuat pekerjaan Atma (panggilang akrabnya) berubah menjadi medan perjuangan. Bahkan keinginan yang seharusnya sederhana dan mudah diwujudkan harus diperoleh dengan darah dan nyawa.
Dengan Restu yang diberikan ibumu, semoga arwahmu tidak segera terbang ke alam lain, tapi arwahmu merasuk kedalam relung-relung jiwa para pejuang lainnya. Dan genggamlah sejarah perjuangan.
Jika Thessalonika punya Achilles, maka Semarang memiliki jiwa seorang Atma