Media Jendela Dunia – Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini
Berita  

Jawane Tirakat Arabe Thoriqot, Demi Cinta Tanah Air


Assalamu’alaikum jama’ah, perkenalkan, saya pendatang baru di situs begundal-begundal ngeProf.  Mumpung hari jum’at, saya mau sedikit ngulas soal tirakat dan thoriqot.
tirakat itu bahasa Jawa, terus thoriqot bahasa arab, dua-duanya sama ndan artinya, itu bahasa serapan. Dulu para penyebar Islam di nusantara, nyebarin islamnya pake jalan tirakat ini, karena memang budaya nusantara yang hidup “berdampingan” dengan mistisisme. Nah dengan begitu, penyebar islam yang asalnya dari arab, persia, india, china, dll bisa nyatu sama masyarakat Nusantara. Orang Indonesia yang dari pabriknya dibikin cinta damai, suka sama ritual tirakatan yang menenangkan, sendu, dan syahdu. Dengan tirakatan kerasa betul perasaan cinta itu tumbuh, bisa cinta sama tuhan, sama kanjeng Nabi, sama orang tua, sama tanah air, sama gebetan baru, atau sama mantan, bahkan cinta sama seseorang yang ah…syahdulah pkoknya…hehe
dalam tingkatan formal atau bahasa santrinya maqom, tirakatan menempati level Ikhsan, ini level tertinggi keislaman sob, dan gak semua umat islam bisa nyentuh level ini. Biasanya yang bisa nyentuh level ini dapet gelar wali. Tapi paling enggak, kita sebagai umat islam ngehits, berusaha mencapai maqom tirakat dengan melakukan Laku Bijak Bajik agar bisa menjadi umat islam yang loyal dengan ajaran-ajarannya dan menjadi umat yang Iman dengan meyakini setulus hati prinsip agama yang kita pegang.
Laku tirakat ini sering digemakan oleh para guru spiritual (guru spiritual beneran lho ya, bukan KW kaya Eyang Subur…hehe), ada ritual-ritual di mana kita hanya melakukan pepujian, tujuannya emang biar tumbuh rasa cinta. Ngeliat, dinamika kehidupan yang makin kompleks, hal itu jadi penting. Manusia-manusia modern yang super sibuk dan gak sempet “mengenal” diri sendiri perlu diajak buat ngelakuin ritual ini. Dengan ritual ini, kita “memaksa” diri kita merasuk kedalam ruh kita sendiri, jangan sampai kita terasing dari kesadaran diri sendiri.
Ngomong-ngomong soal thoriqot, ada wadah bagi para “pemuja” untuk berkumpul. Ada satu perkumpulan namanya Jama’ah Ahlut Thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyah. Wadah ini diinisiasi oleh Maulana Habib Luthfi Bin Yahya, tujuannya untuk memelihara perdamaian, cinta tanah air, dan menjaga norma, etika, dan adat-istiadat leluhur bangsa. Selain itu, di sini diajarkan sopan santun dan saling menghormati antar saudara sebangsa dan setanah air meskipun beda-beda. Pokoknya ngamalin Bhineka Tunggal Ikalah.
Di wadah ini, kita juga diajarin buat ngorek-ngorek diri sendiri, instropeksi diri. Bagaimana dengan Nasionalisme kita? Bagaimana dengan tingkah laku kita? Sudahkah kita menghilangkan rasa dengki dari hati kita? Dan yang terpenting apakah kita siap melakukan gerakan besar membangun kecintaan kepada tanah air?
Dengan begini sob, kita beneran ngejalanin laku Bela negara, bukan Bela negaranya Om Icad Ra Kudu itu… karena menumbuhkan rasa cinta tanah air itu gak bakal bisa kalo hanya baris-berbaris. Selain rasa cinta pastinya rasa damai. Hal ini udah disepakatin sama Konsensus Ulama Thoriqoh Indonesia pada 15-16 januari kemaren. Sekedar ngasih tau, konsensus itu dimoderatori Habib Ali Al-Bahr.
Kita, mahasiswa koplak yang ikutan acara itu jadi tersentak hebat, kita kaget sama semangat para ulama thoriqoh yang bener-bener memperjuangkan NKRI dan pancasila. Jargon mereka Bela Bangsa sob, wuih… ngeri kan…
Kita ikutan acara itu emang punya maksud nebelin cinta kita sama tanah air yang dulu pernah dipercikkan sama sang Guru Bangsa Gusdur dan para Ulama Thoriqoh. Sejarah berdirnya bangsa ini emang gak bisa dilepasin dari peran para ulama thoriqoh yang dengan gesit mengorganisir umat untuk ngelawan penjajah. Di forum ini kita betul-betul diajarkan buat cinta sama budaya leluhur kita, seenggaknya kita dikasih nasehat buat ngehidupin tradisi lokal kayak nyadran, sedekah laut, sedekah gunug, dll sambil ngibarin bendera merah putih. Apa ekspresi cinta tanah air gitu mau dianggap musyrik?
Kita dikenalin lagi sama pejuang-pejuang bangsa kayak mbah Hasyim Asy’arie, Bung Karno, Hatta dan semua pahlawan dari tingkat kelurahan sampe nasional. Kita diajarin bagaimana caranya menghormati pahlawan-pahlawn itu. Kita diajarin bagaimana meruwat dan merawat tradisi biar gak lekang oleh zaman. Bagaimana kita memaknai merah-putih bukan hanya sebagai warna, merah-putih adalah jiwa, semangat, spirit, dan identitas bangsa.
Inget ya sob, bangsa yang besar adalah bangsa yang gak lupa sama sejarahnya, gak lupa juga dengan perjuangan para pahlawannya. Dengan kayak gitu rasa bangga kita gak akan luntur sama bangsa ini, percaya deh, wong yang bilang ini Bung Karno kok. Kemaren aja diulas lagi sama Habib Luthfie, biar nalar Bela Bangsanya makin tebel.
Asal jama’ah tau aja, landasan Bela Bangsa udah tercantum di UUD 1945, Sumpah pemuda 28 oktober dan Pancasila.  Silaturohmi dan Konsesnsus Ulama’ Thoriqot di Pekalongan kemaren juga memantapkan peran Mahasiswa sebagai keteladanan masyarakat yang udah dituangkan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Sebagai generasi muda, kita diwajibin buat ikut peran mbangun bangsa. Tentunya mbangun bangsa yang berbasis tradisi dan budaya leluhur, bukan mbangun dengan paradigma kapitalistik yang menghisap. Pembangunan itukan tujuannya mekmurin masyarakat dan ngehidupin marwah negara.
Kalo dikaitin dengan Islam, Iman, dan ikhsan nanti ketemunya bangsa ini terbangun dengan ikatan persaudaraan yang kuat yang termanifestasi dalam rasa cinta tanah air, panjang panjimatan menghormati leluhur dan guru bangsa, mengingat dan meneladani para pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia. Ini ndan yang kami pelajari dari acara-acar thoriqoh, yaitu tirakat untuk menanamkan cinta kepada tanah air
Jika Kita Kehilangan Emas, masih bisa dibeli kembali di toko Emas
Jika Kita Kehilangan Kekasih, Tahun depan masih bertemu kembali
Tapi, Jika Kita Kehilangan Tanah Air ini, terus kita mau kemana?
( Habib Ali Al Bahr, Sukubab Bahgdadi)i
Wahae Bangsaku yang dibanggakan
Relakah Negerimu terpecah belah
Jawabannya Tidak, Buktikan………..!!!
(Cinta Indonesia, Maulana Hbib Luhtfi bin Yahya, Pekalongan Jawa Tengah) 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *