foto:rayapos |
Hai para aktifis yang budiman, penganut PRD yang budiman, yang masih percaya bahwa Indonesia masih cemas, terutama para penikmat dan pelaku puisi yang budiman, sekalian Budiman yang katanya sahabat Wiji Thukul yang Insya Allah bukan sekedar nama saja Budiman. Sudahkah anda nonton film? Yang ini bukan sembarang film, tapi film inspirasional buat siapapun yang merasa aktifis, pejuang, dan sosialis tapi galau di rantau jauh dari keluarga, mau kirim oleh-oleh gak punya dana, mau pulang malu gimana. Inilah film yang pas buat kalian, Istirahatlah kata-kata.
Film ini sudah bikin saya penasaran setengah mati sembari bertanya-tanya “kok ada ya sutradara ngangkat tokoh dengan kata-kata gelap ke layar film? Apalagi tragedi yang mengitari tokoh ini bisa menohok dalem-dalem perasaan sebagian tokoh-tokoh militer di republik ini.”
Tapi ya Alhamdulillah, ternyata sang sutradara udah bisa memasang strategi biar film ini gak disemprot sama tokoh-tokoh tadi. Gimana strateginya? Ya silakan tonton sendiri filmnya.
Terlepas dari semua kritik dan rasan-rasan soalfilm itu, its oke, bagus untuk sebuah misi melawan lupa. Mau kritik sih silakan aja, tapi sebelum kritik yang kita harus mengapresiasi proses pembuatan film itu, wong udah menghabiskan banyak biaya, minim sponsor lagi. Tapi dalam waktu singkat udah dapet segudang penghargaan, dari luar negeri lagi.
Film ini dibuka dengan opening yang lumayan memancing adrenalin. Bagaimana Sipon ditanya sama anggota KOREM di mana suaminya dan kerjanya apa, bukan cuman Sipon yang ditanya, Putri mungilnya yang umurnya baru 2 tahunan juga ditanya, “bapakmu neng ndi nok?”. Selain diintrogasi, buku-buku yang ada di rumah Sipon juga disita, terutama buku-buku karya puisi Wiji Thukul dan buku-buku kirinya.
Setelah itu dilanjut kescene berikutnya, Thukul naik angkutan umum di Pontianak dengan diiringi back sound puisi Istirahatlah Kata-kata, sambil ada running text yang menceritakan deklarasi PRD dan peristiwa kudatuli yang bikin Thukul wajib kabur ke Pontianak.
Nah, klimaks filmnya di sini nih, antiklimaks sih sebetulnya. Di Pontianak Thukul ditampung oleh Thomas, seorang pemuda dayak eks mahasiswa yang berhenti mbaca buku gara-gara tersindir puisi “apa guna baca buku kalo mulut bungkam melulu”. Di Pontianak Thukul terkesan stress dan bingung mau ngapain, gak punya kerjaan, gak punya duit, gak berani keluar rumah takut diikutin intel, sampe akhirnya dia nekat keluar malem-malem sama Thomas buat minum tuak biar gak stress lagi. Sepulang dari pesta tuak Thukul dan Thomas malah dihadang sama intel stress gara-gara dilarang bapaknya jadi intel takut dikirim perang. Selagi diintrogasi sama intel stress tadi malah Thukul nawarin tuak…hehe
Di Pontianak Thukul terkesan terombang-ambing galau sampai akhirnya dia dikenalin ke Martin oleh Thomas. Martin nawarin kerjaan ke Thukul buat mbantu-mbantu gereja di kepastoralan Pontianak, Thukul nerima itu dan kemudian Thukul potong rambut, saat potong rambut kebetulan banget di salon bebarengan sama kepala KOREM Pontianak, di sini suasana agak tegang, tapi yang terjadi cuman obrolan ringan dan tanya jawab singkat, setelah itu selesai, gak ada aksi apa-apa selain giliran Thukul yang potong rambut. Setelah potong rambut Thukul foto-foto buat bikin KTP baru dengan nama Paul.
Thukul mulai kerja rutin di kepastoran sambil di layar kaca dimunculin insert-insert lomba bulu tangkis dalam rangka hari ulang tahun ABRI di tahun 1996, bioskop reot yang ngiklanin film G30S/PKI, dan sederet gambar-gambar yang jadi objek perlawanan Thukul. Tapi itu cuman insert, yang kalo kita gak fokus insert itu gak keliatan.
Setelah beberapa waktu kerja, Thukul udah cukup punya duit, rasa kangen sama Sipon dan anak-anaknya makin membara. Thukul kemudian beli celana pants merah yang pas buat Sipon, jujur aja, celana itu terlalu seksi buat Sipon yang asli…hehe
Setelah itu, dia pamit pulang sama Martin dan pinjem uang buat nambah-nambah ongkos. Setelah sampe kampung, Thukul cuman bisa nemuin Sipon secara sembunyi-sembunyi di Hotel. Nah, pas Sipon jalan ke hotel, dia diikutin sama tetangga usil, dikira Sipon kerja jadi PKS, eh PSK. Besoknya, Sipon ngelabrak tetangga usil itu, tapi tetangga usil itu njawab “lho aku weruh dewe awakmu melebu hotel”. Sipon pengin njawab dengan fakta yang sebenarnya, tapi apa boleh buat, Sipon harus tetep diem karena kalo dia ngomong yang sebenarnya, habislah riwayat Thukul saat itu juga.
Akhirnya Sipon cuman bisa nangis dan pasrah nerima fitnah keji itu. Dia curhat sama Thukul, terus Sipon bilang “mas aku bingung, aku kudu seneng opo bingung wakmu bali. Aku bingung nek awakmu lungo, tapi aku yo bingung nek awakmu bali. Tapi seng aku seneng, wakmu tetep ono” (mas aku bingung, aku harus gembira atau bingung kamu pulang. Aku bingung kalo kamu pergi, tapi aku juga bingung kalo kamu pulang. Aku cuman seneng kamu tetap ada).
Setelah Sipon curhat begitu, Thukul cuman bisa ngambilin air putih dengan raut muka bingung. Coba bayangkan, seorang penyair yang kata-katanya ditakutin para pesohor negeri, gak ada satu kata romantispun buat nenangin rasa gundahnya Sipon. Minimal “aku ada untumu” atau “aku berjuang untukmu” atau apalah. Gak ada. Thukul cuman diem dengan bingungnya, persis kayak jomblo kethulup kethek.
Habis itu, menucul suara Fajar Merah dengan menyanyikan Bunga dan Tembok secara back sound trus muncul running text Wiji Thukul pergi lagi ke Pontianak dan di bulan maret 1998 dia ikut demo di Jakarta, sebulan sebelum Suharto mundur, Thukul hilang dalam perjalanan pulang ke Solo.
Habis itu lagi, Ucapan Terima Kasih dengan warna dasar hitam yang tanpa sadar ternyata filmnya udah habis dan saya termenung berharap itu cuman bersambung…
Saya baru sadara setelah temen di sebelah saya bilang, mas nonton filemnyaistirahat sek ya…