foto:newsliputan6.com |
10 Januari 2017, salah satu distrik di Indramayu terjadi bentrokan antar kampung, penyebabnya karena ada berita pembunuhan seorang pemuda kampung A oleh warga kampung B. Setelah bentrokan usai dan korban berjatuhan, baru diketahui ternyata pemuda kampung A itu tewas akibat kecelakaan sepeda motor.
Berita tewasnya pemuda kampung A mewarnai akun-akun media sosial (FB, twitter, WA, BBM) yang dimiliki para warga. Dan setelah ditelisik, kabar via medsos itu ternyata bohong.
Berita itu disebar tidak hanya sekali-dua kali saja, dan tidak hanya sekedar tulisan belaka. Berita itu disebar dengan menggunakan beragam teknik penyampaian pesan, mulai dari tulisan, foto, meme, desain grafis, dll agar memunculkan efek dramatis. Hasilnya luar biasa, dua kampung yang bersebelahan akhirnya bertempur dalam perang saudara.
kedua kampung itu memang sudah menyulut rasa saling benci sejak lama, penyebabnya kurang jelas. Yang pasti ada rasa saling bersaing.
Terlepas berita itu adalah hoax, penggunaan bahasa yang ‘ciamik’ dan menggugah menjadi modal penting bagi penerima berita bisa segera percaya. Bahasa memang instrumen pokok dalam membungkus realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan narasi, tanpa bahasa, tak akan ada pesan dan kesan, tak ada interaksi dan komunikasi, juga tidak mungkin ada imajinasi.
Penggunaan bahasa tertentu sangat menentukan format narasi. Bahasa, dalam hal ini, tidak bisa hanya dimaknai sebagai bahasa verbal yang harus memiliki susunan gramatikal. Bahasa adalah simbol yang mampu membawa persepsi orang, bahkan mampu memupuk imajinasi seseorang. Maka kemudian Ibnu Hamad, seorang peneliti dari UI menjelaskan, bahasa media yang paling efektif adalah gambar dan desain grafis.
Kita lihat latar belakang bentrokan dua kampung itu, yaitu rasa benci yang sudah tertanam sejak lama. Artinya, masyarakat kedua kampung itu sudah memiliki persepsi dan imajinasi terlebih dahulu.
Media massa tidak hanya berfungsi menyebarkan informasi, dia memiliki fungsi konstruksi. Media bisa mengkonstruksi persepsi massa manakala konsisten menyebar berita dan mampu menggali konteks-konteks yang melingkupi objek berita.
Hal ini bisa kita ilustrasikan sebagai berikut; mula-mula massa tidak tahu soal apapun, kemudian ada kabar tentang kematian seorang pemuda, awalnya massa biasa-biasa saja mendapat kabar itu (eksternalisasi).
Kemudian, ada sambungan berita sambil disertai gambar lokasi kematian pemuda itu di kampung B, masyarakat sudah mulai memiliki dugaan (objektivikasi).
Kebetulan, kampung B adalah musuh bebuyutan kampung A, berita semakin massif dlengkapi gambar-gambar warga kampung B yang mengerumuni jenazah, masyarakat sudah berani menyimpulkan (internalisasi).
Jika berita itu konsisten dan massif dan tidak tersaring, dengan sendirinya masyarakat merasa berita itu benar. Karena objektivikasi berita, sangat tergantung massif tidaknya berita itu.
Masyarakat umum pun terbentuk melalui proses yang sama. Pada dasarnya, massa pasti memiliki persepsi individual tantang sesuatu. Media hanya mengkonstruksi dan “memanggil” kembali imaji-imaji tentang persepsinya itu. Hal ini sama persis dengan media-media hoax yang berbau islam yang mengajak umat islam menyerang Ahok yang dituduh menista agama.
Berita-berita tentang gambar palu-arit di uang kertas baru misalnya. Si penyebar berita berusaha meyakinkan kita bahwa logo BI itu menyerupai gambar palu dan arit yang berdiri sejajar. Bahkan ada yang mengedit benang pengaman dalam uang itu bergambar logo palu arit secara samar-samar. Permainan gambar dan desain grafis sangat terasa di sini. Bahkan, pembaca tidak perlu membaca berita itu, pembaca hanya tinggal membaca judul dan melihat gambar.
Karakteristik media hoax adalah, berusaha menggali persepsi dasar masyarakat dan mendekonstruksi realitas. Pendek kata, mereka melakukan pemelintiran. Namun, pemelintiran ini sebetulnya mudah untuk ditanggulangi. Hanya masalahnya, penerima berita bisa atau tidak melepaskan persepsinya itu.
Masyarakat yang sudah terlanjur meyakini suatu hal, pasti dia akan mudah tersenggol manakala keyakinannya itu disentuh, entah sentuhan positif atau negatif. Lagi-lagi kita bisa mencontohkan umat Islam, terutama yang tidak bisa menetralisir persepsinya. Dengan keyakinannya, umat islam pasti merasa tersinggung jika agamanya dinistakan. Dengan keyakinan seperti ini pula, bisa dipastikan, mayoritas penduduk Indonesia pasti memilih presiden orang Islam, sekalipun Indonesia bukan negara Islam. Ke-Islaman masyarakat Indonesia memudahkan pelaku media memunculkan sentimen yang berbau Islam. Sehingga semua tentang Islam (entah negatif atau positif) pasti mendapat respon yang besar.
Kebanyakan umat islam mudah terjebak dengan berita-bertia yang berbau Islam. Bisa dibayangkan jika berita-berita hoax itu tidak dicounter, mungkin bisa terjadi perang saudara seperti kampung A dan kampung B itu. Tapi sekarang, polisi sudah menangkap penyebar kabar bohong di kampung itu.
Karena, kebohongan besar itu bukan berita yang tidak nyata. Kebohongan besar adalah kenyataan yang dipelintir.