Hati nurani bangsa kita kembali digoncang, yuyun si gadis cantik mungil diperkosa 14 remaja yang sedang pesta miras di pinggir jalan sewaktu baru pulang malam hari. Seketika berita ini jadi viral kemudian disambut antusiasme aksi peduli yuyun seantero nusantara. Kejadian yang menimpa yuyun memang tidak sekali ini terjadi, sudah ribuan kasus yang terjadi berdasarkan survei lembaga resmi. Namun lebih banyak lagi kasus yang belum terungkap, karena budaya partriarkal di negeri ini masih sangat kental. Lho kan perempuan Indonesia udah punya ruang dan akses untuk beraktualisasi di berbagai macam bidang kehidupan. Memang betul, tapi ketika perempuan beraktualisasi seketika paradigmanya berubah jadi partriarkal pula.
Kembali ke kasus Yuyun, sampai dengan hari ini media mainstream masih menggulirkan kengerian nasib Yuyun. Para tersangkapun sudah divonis dengan hukuman yang “sesuai” menurut aparat. Namun masih terjadi perdebatan antara Komnas anak dan aparat, apakah pelaku yang usianya di bawah 18 tahun juga harus mendapat hukuman layaknya orang dewasa?
Para politisi mulai dari tingkat kelurahan hingga senayan juga angkat bicara, ada yang mengusulkan hukuman kebiri, ada yang mengusulkan UU anti miras dan anti pornoaksi-pornografi, ada yang mau bikin UU pelarangan memakai baju “seksi”. bahkan bupati bengkulu mengusulkan ada satgas perlindungan anak sampai tingkat RT/RW. Luar biasa sekali mereka, bicara dengan sangat lantang dan agitatif.
Pertanyaannya, apakah harus sereaktif itu menangani kasus perkosaan seperti ini? Apakah perkosaan yang terjadi di angkutan umum jakarta para pelakunya minum alkohol dulu atau menyempatkan nonton video porno dulu. Atau mungkin saja usulan bupati bengkulu lebih cemerlang, bikin satgas perlindungan anak, iya bikin satgas. Tapi bagaimana ya, kenapa setiap kasus harus dicegah dengan pendekatan militeristik semacam ini. Ada dua kemungkinan latar blakang usulan pak bupati ini, pertama, nalar militer yang memang telah menjalar akut semenjak rezim orde baru berkuasa. Atau kedua¸para pejabat di negeri ini selalu ingin menangani kasus secara cepat langsung di jantung permasalahannya.
Dari setiap penanganan kasus perkosaan, para aparat belum bisa mengungkap latar belakang sosial dan budaya yang melingkupinya. Ini sebuah masalah besar.
menurut penulis, pendekatan hukum dan pendekatan repressif tidak efektif dalam mengurai persoalan ini. Dalam level penindakan pendekatan seperti ini sangat diperlukan. Namun untuk pencegahan penulis kira butuh paradigma yang lebih kompleks lagi.
penulis pernah dengar dari seorang psikolog, bahwa kasus pelecehan seksual paling jarang terjadi di kalangan para atlet, padahal atlet-atlet baik laki-laki dan perempuan sama-sama memakai pakaian minim dan ketat. kenapa demikian? karena para atlet diforsir untuk mencapai sebuah prestasi. para atlet “dipaksa” fokus dalam tujuaannya.
menurut psikolog ini lagi, jika manusia diforsir fokus otaknya dan fisiknya untuk tujuan tertentu maka dipastikan manusia ini tidak punya perhatian apapun terhadap hal lain selain tujuannya itu. Nah, dalam keadaan fokus seperti ini, dia tidak akan punya hasrat untuk melakukan apapun, termasuk hasrat seksual. tbuh dan otaknya betul-betul diarahkan untuk tujuannya tersebut.
Penulis menambahkan, mungkin pemerintah bisa membuat semacam kurikulum dengan pendekatan psikologis untuk membuat anak-anak Indonesia fokus kepada tujuannya dan menumbuhkan etos kerja untuk mencapai tujuannya itu.
jika kita tilik sekilas memang betul bahwa kasus-kasus pemerkosaan pasti dilakukan oleh pemuda pengangguran dan disorientasi, atau setidak-tidaknya pemuda yang sedang melamun yang tiba-tiba di hadapannya muncul sosok perempuan. Bukan karena perempuannya memakai baju seksi atau cantik jelita. bahkan ada sebuah cerita yang dikisahkan di sebuah Web, ada perempuan yang tidak begitu cantik, wajahnya jerawatan, dan berpakaian longgar tidak seksi tapi tetap saja mendapat “ancaman” pelecehan. dan pelakunya adalah pemuda normal tidak dalam kondisi mabuk, tapi pemuda itu sendirian dan sebelum melakukan ancaman pelecehan pemuda ini melamun beberapa saat.
terkait dengan rencana kebijakan para penghuni senayan. saya sarankan untuk membenahi nalar mereka dulu. Jangan membuat pencegahan perilaku porno dengan paradigma porno pula.
Ini saja yang saya suguhkan bagi jamaah ngeprof untuk pagi ini. mohon maaf jika banyak terjadi kesalahan.