foto:pmiigempha.blogspot.com |
PADA perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?. (Indoprogress, 25 maret 2015)
Pernyataan pram itu kemudian perlu kita renungkan. Pada satu sisi pram mengharap ada seorang tokoh mahasiswa yang mampu menggantikan generasi tua karbitan di pentas nasional ataupun lokal atau bahkan juga di kampus masing-masing. Karena kita tahu, hingga saat ini yang mengendalikan sistem birokrasi masih saja orang-orang tua warisan jaman orba yang pola pikirnya sangat identik dengan orbaisme yang serba anti dengan kritik. Bahkan mereka tidak segan memberlakukan peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat hanya demi membungkap suara kritis.
Di sisi lain pram pesimis terhadap generasi muda, utamanya mahasiswa yang ternyata setelah reformasi mereka limbung kebingungan harus berbuat apa demi eksistensi pergerakan untuk melanggengkan suara-suara kritis khas jalanan. Kebingungan mahasiswa ini kemudian menemukan tiang gantungannya dengan fakta bahwa ternyata banyak tokoh-tokoh gerakan mahasiswa rela melepas jubah kebesaran pergerakan demi menjadi kacung-kacung politik tokoh-tokoh tua orba itu. Bahkan yang lebih miris, banyak tokoh mahasiswa angkatan 98 yang nalar berpikirnya sangat orbais.
Untuk melihat hal itu kita tidak perlu jauh-jauh kejakarta, kita juga tidak perlu membaca banyak teori ataupun berita. Kita hanya cukup melihat dinamika mahasiswa yang ada di sekeliling kita, di sekitar kos-kosan yang kita tinggali, atau di kantin dan ankringan tempat kita nongkrong sehari-hari. Kehidupan mahasiswa saat ini tak ubahnya anak-anak ABG yang mencari eksistensi dengan membesar-besarkan omongan mereka.
Banyak mahasiswa yang hanya pandai bicara. Tidak masalah jika yang dia bicarakan berputar dalam persoalan pengetahuan dan pengembangan wacana.
Mahasiswa sekarang lebih suka membesar-besarkan pembahasan yang ecek-ecek. Mereka hanya berbicara seputar dirinya sendiri, soal pacar mereka, fashoin, trend masakini, penampilan, dan hal-hal hedonis lainnya. Mahasiswa sekarang hanya mempersolek diri. Jikapun ada mahasiswa yang berrambut gondrong, celana sobek-sobek dan berpenampilan pemberontak, itu hanya penampilannya saja agar terlihat sangar di hadapan adek-adek eemmmeeess… padahal mereka kosong wacana dan kosong analisis sosial. Jika mereka dihadapkan pada suatu persoalan mereka tetap kebingungan, tak bisa mengambil sikap bahkan dengan gampang pendirian mereka diombang-ambing.
Seandainya ada mahasiswa yang cerdas kritis dan bisa menganalisis masalah sosial, biasanya mahasiswa semacam ini lebih tertarik untuk menguntit pada satu jaringan politik. Kenapa demikian? Karena mahasiswa cerdas dan kritis harganya mahal, para politisi, parpol, ataupun orang-orang yang punya hasrat politik rela untuk membayar mahasiswa cerdas dan kritis semacam ini. Tentu saja mahasswa cerdas dan kritis ini tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk dibayar mahal oleh mereka. Dan ketika mahasiswa itu dibayar mahal, saat itu juga mahasiswa itu resmi jadi budak.
Independensi gerakan memang sebuah batu karang yang teramat berat disunggi oleh mahasiswa masakini yang menjalani zaman dengan segenap kebudayaan popuer. Kebudayaan populer ini telah sukses membuat keropos tulang punggung idealisme.
Kebudayaan populer betul-betul membuat nalar gerakan mahasiswa limbung. Akhirnya, mahasiswa hanya bisa melihat gerakan hanya dalam satu sudut sempit. KEPENTINGAN…