Semarnews.com | Semarang – Perkembangan zaman merupakan sebuah realita yang tak terbantahkan. Budaya terus berkembang dan bahkan menggantikan budaya lama. Modernitas zaman menggusur budaya lama sehingga memunculkan kesan puritan dan ketinggalan zaman. Pun demikian, dengan seni tradisional yang kian ditinggalkan. Rupanya, hal tersebut tak berlaku secara mutlak. Masih banyak generasi di era milenia yang masih menggemari dan melestarikan seni tradisional. Ini terbukti dengan ramainya pengunjung pentas wayang kulit dalam rangka Dies Natalies Universitas Negeri Semarang ke 53. Wayang kulit digelar semalam (29/03/2018) hingga dini hari di lapangan depan Rektorat Unnes Desa Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang. Menghadirkan dalang Ki Sigit Ariyanto dari Rembang dengan gagrak Surakarta dan Ki Seno Nugroho dengan gagrak Yogyakarta, wayang kulit masih digemari berbagai kalangan; orangtua, pelajar maupun mahasiswa.
Pada umumnya wayang kulit digemari oleh orang di masa lampau. Setidaknya, di kalangan orang seusia orangtua dan kakek kita. Salah satunya Manto, pria 52 tahun asal desa Patemon RT 1 RW 3 Gunungpati Kota Semarang. Ia sejak kecil memang suka wayang kulit. Dirinya mendapatkan informasi tentang pagelaran wayang kulit dari putranya yang kuliah di Unnes. Ia berharap, meski hanya 1 tahun sekali seyogyanya ada pagelaran seni wayang. Menurutnya, wayang merupakan tuntutan sebagaimana diajarkan orang kuno yang sekaligus sebagai upaya dalam melestarikan budaya.
Penggemar wayang juga masih berjalan secara turun temurun seperti Budi Haryono (27 tahun). Warga desa Jatijajar RT 4 RW 3 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Dirinya mengikuti grup PWKS (Penggemar Wayang Ki Seno) yang ada di jejaring media sosial facebook. Demi mendengar ada pagelaran wayang kulit dengan dalang idolanya, ia mengikuti wayang hingga usai. Menurutnya, Ki Seno lain dari yang lain, “lebih kreatif” katanya. Biasanya ia melihat Ki Seno di youtube karena jadwalnya lebih banyak di Jogja. Dikatakan, masyarakat desanya dalam rembug warga hingga saat ini masih berniat mendatangkan Ki seno. Namun karena jadwalnya tidak bisa sesuai dengan momen warga yang mengikuti sesepuh desa yang menentukan harinya harus Rabu Wage malam Kamis Kliwon. Maka, niatan tersebut belum terlaksana.
Tetangganya, Dwi Asnawi (18 tahun) menggemari wayang kulit sejak tahun 2016. Dwi merupakan siswa di SMK Saraswati Salatiga. Ia pernah menonton wayang di terminal lama Gunungpati. Saat itu, mendatangkan Dalang Ki Sigit. Dikatakan, tujuannya melihat seni wayang kulit adalah untuk mempelajari adat dan budaya jawa. Sebab, diakuinya baru sedikit memahami bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang kulit.
Sementara, Hadis Firmando (19 tahun). Mahasiswa Fakultas Teknik Unnes asal Cirebon. Meski tidak paham karena terkendala bahasa, namun ia menyukai wayang kulit. Alasannya, sebagai pelestarian budaya bangsa. Ia mengungkapkan sebab lainnya karena wayang kulit juga diakui sebagai budaya lokal dari negara tetangga, “kan banyak yang diakui (sebagai budaya lokal negara tetangga-red)” ungkapnya, “Tarian (topeng-red) daerah saya juga diakui” tandasnya. Menurutnya, Dies Natalies dirayakan dengan wayang dipandang sebagai kewajiban dalam melestarikan budaya bangsa.
Hal senada dinyatakan oleh Azrul Bahtiar Hermawan (20 tahun). Mahasiswa Fakultas Teknik Unnes asal Jepara. Meski tak begitu suka wayang, ia berpendapat bahwa pagelaran wayang dalam Dies Natalies merupakan kegiatan yang bagus demi melestarikan budaya karena kian langka, “sudah mulai jarang (ada wayangan)” ucapnya, “palingan band” lanjutnya. Dia berharap ke depan juga dapat diperingati dengan pagelaran budaya. (HQ.semarnews)