foto:Ibubumi |
Selasa 17 Januari kemarin, ada diskusi yang diadakan caffe milik kang Putu, seorang budayawan Semarang. Malam itu suasana cukup panas, panas dalam makna yang sebenarnya, walaupun sebetulnya cuaca di luar caffe sedang gerimis.
Malam itu kita diskusi dengan lima narasumber, pertama adalah seorang peneliti tentang budaya menjaga lingkungan, namanya mas Eko Cahyono. Beliau banyak meneliti soal hubungan manusia dengan alam, bagaimana manusia menjaga alamnya sesuai dengan ajaran adat dan budaya.
Nrasumber kedua namanya Merah Johansyah, seorang motor penggerak JANTAM (Jaringan Advokasi Tambang) yang konsen mengawal kebijakan pertambangan di Indonesia serta aktifitas tambang. Dia juga banyak menemukan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya karena kebijakan tambang itu.
Narasumber ketiga namanya Muhammad Al-Fayadl, seorang tokoh agama dari Probolinggo yang mendalami filsafat kiri. Dia juga banyak mengomentari berbagai macam persoalan kerakyatan.
Narasumber keempat namanya Roy Murtadhlo, sama seperti Muhammad Al-Fayadl, mereka bedua satu paket. Tapi Gus Roy, panggilannya, lebih keras. Dia suka sekali membuat banyak Front perlawanan di level basis. Salah satu Front bentukannya yang paling progresif adalah FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam).
Dan narasumber kelima namanya Kyai Budi Hajono, seorang kyai humoris yang menganjurkan perlawanan dengan cinta.
Malam itu kebetulan diskusi diadakan setelah melakukan demo dengan warga Kendeng di depan guberburan untuk menuntut Gubernur Jawa Tengah konsisten dengan keputusan MA yang memutuskan pencabutan ijin oprasi PT Semen Indonesia di daerah Kendeng Rembang.
Sebetulnya apa yang disampaikan para pemateri sudah sering dibicarakan di forum-forum lain, akan tetapi nuansa yang dibangun memang sangat dekat dengan kondisi riil yang terjadi, persis setelah demonstrasi dengan warga Kendeng.
Selain memberikan ceramah retoris untuk membangkitkan semangat perlawanan, para narasumber juga menyampaikan data yang sangat mencengangkan terkait aktifitas tambang di seluruh wilayah Indonesia. Mas Eko menyampaikan ada pemaksaan terhadap warga yang kampungnya terkena eksplorasi tambang agar menyingkir dari kampunynya itu. Contoh nyata ada di sekitar Kendeng. Belum lagi jika kita berbicara luar jawa, kasus-kasus pengusiran semacam itu sudah marak terjadi.
Di Kalimantan dan papua misalnya, yang kental dengan “politik” adat. Para pemegang kebijakan dengan kelicikannya mengintervensi dewan adat untuk melepaskan tanah adat mereka kekorporasi tambang. Bahkan tak jarang, para tetua adat “dihadiahi” jabatan strategis agar mau melepas tanah adatnya. Padahal, baik di Kalimantan ataupun di Papua, keputusan adat tidak bisa diambil oleh tetuanya saja. Karena, walaupun masyarakat sana taat terhadap adat, dalam mengambil keputusan tetap harus dengan musyawarah, apalagi urusannya adalah tanah adat.
Bang Merah juga menambakan, di Indonesia ada sekitar sepuluh ribu korporasi tambang yang mengeksplorasi empat puluh persen wilayah daratan Indonesia. Di Kalimantan timur sendiri, kampungnya Bang Merah, telah terbit sekitar tigapuluh ribuan ijin tambang batu bara yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Menurut salah satu penanya di forum itu, di kalimantan tengah, sejarah konsensi tambang dimulai ketika ada perjanjian Tumbang-anom untuk menghentikan perang antar suku ketika masih jaman belanda. Belanda memang sukses melakukan politik adu domba di antara suku-suku pedalaman Kalimantan dengan tujuan menguasai tanah di sana. Dan perjanjian itu memang didesain agar belanda dapat mengendalikan pemerintahan dan administrasi pertanahan yang kemudian pertanahan di sana bisa difungsikan sesuai keinginan pemerintah Hindia Belanda, termasuk dijadikan lahan tambang.
Jika di daratan empat puluh persen, di lautan lebih mengerikan lagi, tujuh puluh persen wilayah lautan Indonesia sudah dikapling-kapling oleh korporasi tambang asing. Jika di daratan kita masih bisa mengawa, di lautan situasinya sangat sulit dipantau. Selama ini kebijakan-kebijakan yang pro investasi memang sangat merugikan lingkungan hidup.
Gus Fayadl dan Gus Roy mencoba memberikan energi perlawanan dengan mengajak seluruh elemen gerakan agar mau turun kebasis, juga mempelajari banyak teks-teks ilmiyah untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan. Karena tidak mungkin kita melawan jika tidak punya perangkat ilmiyah. Salah seorang penyanya ada yang menanggapi, selain teks-teks yang baku saat ini, sepertinya kita perlu juga untuk membuka kran pengkajian-pengkajian pengetahuan lokal.
Karena disadari atau tidak, masyarakat pedalaman pasti punya pengetahuan tersendiri bagaimana mereka merawat alam dan lingkungannya. Jangan sampai, kita sebagai kaum pergerakan yang kenyang dengan segudang teori kemudian bertindak sebagai “dewa” dan menganggap masyarakt pedalaman adalah orang-orang terbelakang. Akhirnya, jika demikian yang terjadi, kita justru mengikis pengetahuan asli mereka.
Mulai sekarang aktifis harus mau belajar dari masyarakat, jika aktifis menyarakan perlawanan, maka masyarakatlah yang harus berada digaris depan. Tugas aktifis adalah mendukung secara moral.
Pada 2007, di venezuela pernah terjadi pertobatan nasional para aktifis karena metode perlawanan mereka yang salah kaprah. Dulu, paradigma yang meeka pakai aktifis adalah kaum terpelajar sedangkan masyarakat yang didampingi terbelakang, sehingga masyarakat sangat tergantung kepada aktifis dan imbasnya, perlawanan selalu gagal. Ketika metode itu dibalik, masyarakat yang ada di depan, banyak kebijakan-kebijakan yang berubah.
Warga Kendeng, sudah memberi kita contoh nyata. Walaupun mereka hanya sedikit, namun perlawanan masyarakat asli Kendeng jauh lebih efektif untuk mengubah kebijakan Gubernur.