foto:www.vemale.com |
Dari sejak zaman purba sampai stand-up comedynya Sujiwo Tedjo belum muncul, bicara cinta pasti bicara soal pengorbanan. Sayapun demikian meyakininya. Dalam pikiran awam saya, mana mungkin bisa bilang cinta jika berkorbanpun tak mau. Saya bukannya mau ngasih hiburan buat para jomblowers fakir yang mau berkorbanpun bingung apa yang harus dikorbankan. Tapi cuman mau cari alternatif gaya berpikir yang anti kemapanan aja. Masa, kita-kita yang jomblo level dewa harus dipaksa berkorban untuk cinta. Enggak kali ya…
Seenngaaknya, sebagai kader pergerakan yang selalu progressif dalam berfikir dan selalu kritis dalam menemukan celah kesalahan pada semua hal yang berbau kapitalis. Di sinilah salah satu tempat buat melampiaskan hasrat orasi kita. Bahwa Cinta, gak butuh pengorbanan. Karena narasi ‘berkorban untuk cinta’ adalah gaya kapitalisme klasik.
Coba tela’ah lagi kisah-kisah cinta klasik yang pernah kalian tahu. Romeo and juliete, cinderella, putri salju, dan kisah-kisahnya William Shakespear. Semua narasi yang dibentuk adalah pengorbanan, yang namanya pengorbanan pasti butuh modal, kalo udah keluar modal harus ada profit yang bisa kita nikmatin. Profit apakah itu? Tentunya happy ending penuh kebahagiaan setelah pengorbanan cinta kita berakhir dengan kesediaan hidup berdampingan sehidup semati (gue hidup loe mati).
Dari kisah-kisahnya saja kita udah bisa ngelacak, darimana kisah itu berasal, eropa, iya eropa, bangsa-bangsa yang suka menjajah, yang dijajah bukan cuman urusan politik dan ekonomi aja, tapi cara berpikir dan cara pandang kita. Sastrawan romansa terkenalnyapun, Sakhespear, dia berasal dari inggris. Salahsatu bangsa penjajah paling besar sedunia yang berhasil mengekspor paham kapitalisme paling sukses. Coba pikir, konspirasi mana lagi yang kau dustakan?
Masih berpikir kalo cinta butuh pengorbanan?
Bagi pemuda-pemudi yang asalnya dari kampung, terutama daerah banyumasan dan sekitarnya. kalian bisa tanya deh sama ortu di kampung, apakah mereka menikah setelah menjalani kisah bergenre sakhespearian? Atau tanya aja “mah, bapak nembak mamah dulu kayak apa sih?” niscaya mamah kalian njawab “gak tau le, bapak cuman dateng ke-embahmu nembung mamah dan mamah setuju gitu aja.”
Cintanya orang-orang jawa zaman dulu beda dengan cintanya muda-mudi zaman sekarang yang kebanjiran puisi-puisi picisan. Zaman dulu orang nikah, karena memang ada semacam hukum moral untuk melindungi keturunan dan kehormatan keluarga, anak yang sudah cukup umur harus dinikahkan.
Maka bisa dipastikan, agan-agan semua yang berasal dari pelosok desa yang sekarang udah berumur 20 tahun keatas. Munculnya kalian di dunia ini karena ada komitmen kuat untuk melindungi kehormatan leluhur kalian, bukan berasal dari cinta buta nan picisan yang cuman kepingin njajal selakangan doang.
Setali tiga uang, cinta sebetulnya emang gak butuh pengorbanan. Jika ada seseorang yang nganggep apapun yang doi lakukan buat sang cinta adalah pengorbanan, berarti dia udah berikir kalkulatif alias untung-rugi alias kapitalis cekek.
Kita sebagai orang timur gak boleh nanggep itu sebagai pengorbanan. Cukup kita sebut itu kewajaran. Wajarnya orang cinta sama sesuatu ya ngerawat sesuatu itu. Orang yang kegandrungan sama burung perkutut dia akan rutin mandiin, ngasih makan, dan ngecek kesehatannya tiap pagi. Si empunya burung perkutut itu hanya akan bilang “ini aktifitas rutin tiap pagi, kalo gak ketemu burung perkutut kayaknya ada yang kurang.” Cukup sebut aja aktifitas rutin, bukan pengorbanan.
Apakah si empunya burung berharap bakal dimandiin dan disuapin makan sama burung perkututnya? Yang masih waras bisa jawab sendirilah…
Sekali lagi cinta gak butuh pengorbanan. Seperti kisah yang ada di novel “ayah”-nya AndreaHirata. Sabbari, seorang pria teguh pendirian, rela menghinakan diri demi perasaan cintanya terhadap Marlena, seorang wanita cantik yang kelak hamil di luar nikah. Sabbari kemudian menikahi Marlena lalu lahirlah seorang anak. anak itu diberi nama Zorro oleh Sabbari. Sabbari dengan sabar mengasuh Zorro seperti anak kandung sendiri walaupun tidak dihargai oleh Marlena sama-sekali. Bahkan ketika Zorro berusia delapan tahun, Marlena memisahkan Zorro dari Sabbari. Namun Sabbari tetap mencintai Marlena. Hingga akhir hayatnya, Sabbari tetap mencintai Marlena sebagai istri dan Zorro sebagai anak.
Dari kisah ini setidaknya kita harus membuka pikiran, bahwa komitmen dengan cinta, tak harus berakhir bahagia. Karena semua yang kita lakukan demi sang cinta adalah hal wajar, bukan pengorbanan yang harus mendapat cash-back berupa kebahagiaan.