Nah, penulis pengin merefleksikan sebuah fenomena yang baru-baru ini marak di kampus, yaitu kompetisi futsal perempuan. Tak hanya aktual, tulisan ini juga dijamin faktual karena berasal dari pengalaman sang penulis sendiri. Perlu diketahui, penulis ini adalah seorang atlet futsal panggilan. Ya. Ia mulai menjalani karirnya ini sejak bulan desember tahun lalu ketika ada pertandingan futsal perempuan se-universitas. Dikatakan sebagai atlet “panggilan”, karena ia hanya dibutuhkan/dipanggil ketika ada pertandingan futsal perempuan saja, dengan anggota tim yang sama sekali berbeda tergantung yang membutuhkan. Sebenarnya hal itu bukan karena penulis ahli dibidang ini, hanya saja ingin berolahraga mumpung ada kesempatan, maklum anak kos jarang olahraga, hee.
Dari seabreg pertandingan futsal perempuan di kampus, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kompetisi tersebut. Berikut paparannya. Cekidot.
Penulis sangat yakin, niat dari adanya kompetisi ini tak lepas dari semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah sebuah paham yang menuntut keadaan dimana peran antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh kontruksi sosial sebenarnya dapat dipertukarkan dan saling menggantikan. Pun dengan permainan futsal. Si pembuat acara tentu ingin perempuan ikut andil dalam permainan sebagai pengakuan kesetaraan gender.
Sayangnya niat baik tersebut berubah menjadi sebuah lelucon manakala kasunyatannya cuma jadi simbol atas pengakuan kesetaraan gender. Lelucon karena adanya pertandingan ini justru menunjukkan bahwa perempuan itu tidak bisa atau maaf bodoh dalam hal futsal dan sepakbola. Karena memang perempuan yang bermain disana tidak memahami aturan dan tekhnik futsal. Akibatnya ya seperti yang penulis sebutkan diawal, gembruduk gak karuan.
Lebih lucu lagi ketika ada sebuah kompetisi futsal perempuan meminta delegasi dari organisasi yang bergerak di bidang pemikiran, bidang bahasa, atau bidang-bidang lain yang jauh dari dunia olahraga. Loh, ini korelasinya dimana? Tidak mengapa jika pertandingan ditujukan untuk laki-laki, karena penulis yakin meski tidak semua, laki-laki sejak kecil sudah akrab dengan bola. Hal ini semakin menunjukkan pandangan remeh temeh si pembuat acara terhadap acara yang dibuatnya. Niatnya yang ingin menegakkan kesetaraan gender, justru melecehkan makna mulia dari gerakan tersebut.
hemat penulis, pemaknaan terhadap kesetaraan gender untuk permainan futsal bukan terletak pada ada tidaknya pertandingan itu, melainkan ada tidaknya perempuan yang memahami dan bisa bermain futsal. Setara itu ketika laki-laki pandai bermain futsal, maka perempuan juga harus ada yang pandai futsal sebagaimana laki-laki. Maka langkah pertama yang mesti dilakukan seharusnya sebelum membuat pertandingan adalah membentuk para atlet futsal perempuan. Setelah melalui berbagai macam latihan dengan serius dan membentuk sebuah tim yang kokoh, barulah diadakan pertandingan. Pertandingan bisa diawali dari antar organisasi yang bergerak dalam bidang olahraga. Semua perlu dilakukan secara bertahap. Dan alangkah lebih manisnya jika pertandingan tersebut tidak hanya ada dalam wilayah lokal, melainkan juga nasional, bahkan internasional sebagaimana bidang olahraga lainnya.
Penulis hanya tidak ingin perempuan ketika berada dilapangan futsal terlihat seperti gerombolan ikan lele bertemu pisang goreng. Penulis ingin para perempuan itu adalah sosok-sosok yang benar-benar mampu dan punya semangat tinggi untuk memperjuangkan kesetaraan gender bagi kaumnya. Eh, atau yang lebih ekstrim lagi malah jangan-jangan perempuan sendiri belum paham apa itu kesetaraan gender. Penulis teringat akan satu quote dari Ibunda tercinta kita, Ibu Kartini tentang kaumnya. Ia mengatakan “Kita harus membuat sejarah, kita harus menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki”.
Salam setara…!!!