foto:engineerwriter.wordpress.com |
Dear pembaca setia ngeprof.com yang penulis sayangi, bagaimana kabar teman-teman sekalian? Sehatkah? Masih lancar kan puasanya? Sudah bolong berapa? Haha.
Berbicara soal puasa, tak terasa sudah 18 hari kita melaksanakannya, kebajikan apa saja yang sudah kalian tebar untuk sesama? Sudah berapa banyak harta yang kalian shodaqohkan? sudah berapa kali kalian membagi-bagikan takjil secara gratis di persimpangan jalan? Atau sudah berapa kali kalian melaksanakan sahur on the road dengan membagikan makanan kepada kaum papa di berbagai persimpangan jalan ?
Jika sudah berkali-kali melakukannya, maka pasti pahala kalian tak dapat dihitung lagi bukan? Sebab, sebagaimana janji-Nya (yang pasti bukan PHP) pahala kebaikan yang dilakukan di bulan puasa akan berasal langsung dari-Nya. Bahkan, dalam salah satu khutbah habis tarawih yang penulis dengar, “pahalanya langsung dari aku (Allah)”, kata sang Khatib. Lho.. istimewa bukan?
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk nyinyir kepada para pembaca yang rajin melakukan amalan-amalan sosial di bulan puasa karena berusaha untuk menggapai ridlo-Nya. Kalau boleh jujur, penulis malah sama sekali belum melakukan apa-apa pada bulan puasa kali ini, selain berpuasa dan melaksanakan kewajiban penulis sebagai mahasiswa semester dua yang harus rajin-rajin masuk kuliah, mengerjakan tugas dan mempersiapkan diri menghadapi UAS. Tujuannya sederhana, agar penulis tidak menjadi salah satu tokoh mitologi kampus di masa yang akan datang. Hehe
Tulisan ini bertujuan untuk merefleksikan segala amal ibadah yang kita lakukan di bulan puasa menggunakan dua teori utama yang digunakan untuk membaca etika dalam dunia perfilsafatan, yakni deontologi dan utilitarian.. Jika muncul pertanyaan, “kenapa harus dengan teori filsafat? Apa hubungannya amal ibadah di bulan puasa dengan filsafat?”, jawaban saya sederhana, “penulis baru saja mengambil mata kuliah filsafat umum yang mengajarkan teori deontoligi nya Immanuel kant serta utilitarinismenya John Stuart Mill”. Hehe
Pertama, secara sederhana deontologi menganggap sebuah tindakan itu baik atau buruk karena tindakan itu memang baik atau memang buruk dari asalnya. Namun, pak dosen bilang bahwa deontologi merupakan etika normatif yang menilai baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan –tertulis maupun tidak-. Intinya sama lah, suatu kewajiban dalam peraturan pasti merupakan suatu tindakan baik, sedang yang dilarang pastilah merupakan tindakan buruk.
Kedua, utilitarian yang memandang moralitas suatu tindakan berdasarkan asas manfaat,. Artinya, suatu tindakan dianggap benar secara moral jika memberikan manfaat untuk sebanyak mungkin orang dan dianggap tidak bermoral jika tidak mampu memberikan manfaat.
Benar toh? Jika salah dan ada yang perlu diluruskan mohon komentarnya ditulis di kolom komentar yang tersedia di bawah tulisan ini. Hehe
Nah, dalam permasalahan amal ibadah di bulan puasa ini, tentu semuanya memenuhi kriteria perbuatan baik atau bermoral dalam dua teori utama tentang etika yang sudah penulis sebutkan. Entah itu dari segi hukum asalnya maupun dari segi kemanfaatannya. Ya, tidak ada yang menyatakan bahwa bershodaqoh, membagi takjil maupun membagi makanan di waktu sahur adalah tindakan yang amoral. Setidak-tidaknya, tidak akan ada yang berani menyatakannya, barangkali karena takut dikafir-kafirkan oleh kelompok tertentu. Barangkali lho. Hehe
Namun, ada beberapa pertanyaan yang ingin penulis tanyakan pada teman-teman semua. Pertama, ‘apa kalian yakin bahwa teman-teman sekamar kalian, tetangga kalian sudah bisa tidur dalam keadaan kenyang di bulan puasa ini? Jika belum, untuk apa kalian membagi-bagikan makanan kepada orang yang jauh dari kalian? Bahkan, kalian tidak mengenalnya sebaik kalian mengetahui bagaimana posisi tidur teman-teman kalian atau keseharian tetangga kalian. Iya toh?
Ingat lho, dalam sebuah hadits -sesekali pakai dalil lah, biar kelihatan kalau penulis adalah mahasiswa yang pernah kuliah di jurusan Tafsir Hadits sebelum DO. hehe- yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, nabi SAW menyatakan bahwa seseorang bisa dianggap tidak beriman jika dia sendiri kenyang sedangkan tetangganya tidur dalam keadaan lapar. Bahkan, Imam Al-Albani menyatakan Dalam hadis ini terdapat dalil yang tegas bahwa haram bagi orang yang kaya untuk membiarkan tetangganya dalam kondisi lapar.
Nah lho.. modiaar po ra kowe? Temanmu sekamar atau tetanggamu apa sudah kenyang? Kok kalian membagikan makanan pada orang yang tidak kalian kenal?
Kedua, jika kalian memang benar-benar mengharap ridlo-Nya, kenapa kalian bisa berkali-kali membagi-bagikan makanan –yang kemudian kalian upload di berbagai media sosial- di bulan puasa ini? Sedangkan di bulan-bulan lain kalian tidak melakukannya? (hal ini bisa dengan mudah diketahui dari upload-an kalian di bulan lain yang sama sekali tidak ada foto berbagi terhadap sesama).
Lalu apa tujuan kalian melakukannya? Apa hanya sekedar untuk menimbun pahala sebesar-besarnya di bulan puasa mumpung pahalanya langsung dari Allah? Kalau permasalahan ini sih hanya kalian dan tuhan yang tau, apalah daya penulis yang tidak bisa mengetahui isi hati kalian? Hehe
*tulisan ini muncul karena kegundahan penulis yang melihat semangat berbagi kebanyakan umat islam yang hanya muncul di bulan Romadlon dan tidak diteruskan pada bulan-bulan sesudahnya.