Semarnews.com | Semarang – Agama mengajarkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang menjaga keseimbangan alam, memberikan kedamaian di hati para pemeluknya hingga terselenggaralah kehidupan dunia yang harmoni, serasi, selaras dengan alam. Secara kodrati, hal ini merupakan representasi hadirnya Sang Pencipta jagad raya.
Bangsa di Nusantara ini telah mengenal teori ketuhanan yang maha esa jauh sebelum masuknya agama. Fakta ini telah lama ditutupi oleh bangsa asing yang menyatakan bangsa di nusantara ini tak bertuhan atau penganut atheisme. Kappa atau Kapitayan, yakni sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” yang bermakna hampa atau kosong.
Orang Jawa/Sunda Wiwitan mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa” yang bermakna tidak mampu diapa-apakan keberadaannya sebagaimana agama mengenalkan Tuhan dengan nama yang merepresentasikan sifat keagunganNya, Sang Pencipta (khaliq), rabbul ‘alamin (penguasa seluruh alam), dan sebagainya. Selaras dengan agama yang masuk ke nusantara ini, untuk itu, supaya bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat Adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata “taya” artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.
Tamu dari Sunda Wiwitan, Kang Gin Gin dalam Dharmasanti Waisak dan Anjangsana Budaya mengenalkan alat musik dengan tarian yang sakral seperti Tarawangsa, mengenalkan tentang keselarasan diri dengan alam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Vihara Buddhadipa Pakintelan Gunungpati Kota Semarang, semalam (21/06/2018).
Ageman kita harus membaca semesta ini dan harus mengenal diri kita sendiri, baik dan buruknya, sehingga memberikan kebaikan untuk sesama,” ucap Kang Gin gin, ia menambahkan, “Kita harus mengenal diri kita dan alam seperti gajah mengenal hutan.” Selain itu.
Kang Gin gin dalam kesempatan juga mengenalkan makna filosofis dari busana, “Fasion itu penting seperti barat menguasai dengan fasion karena itu penting bagi kita untuk mengenakan fasion (busana adat) kita sebagai bangsa jawa,” tuturnya. Hal inilah yang melatarbelakangi Kang Gin gin berbusana adat dalam kesehariannya, “Mempertahankan ajaran leluhur kita agar bangsa ini tetap ada.” Tegasnya. (HQ.semarnews)
————–