Foto: efekgila.com “Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbahu-barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. |
Sampailah kita pada suatu waktu dimana apa yang kita konsumsi adalah penentu kelas sosial kita. Setelah 14 tahun, akhirnya film Ada Apa dengan Cinta (AADC) digarap lagi bersamaan kenangan remaja semasa itu yang gandrung pada Dian Sastro dan Nicolas. AADC 2 ini sudah mulai diputar di bioskop beberapa waktu lalu. Banyak hal muncul, remaja yang berhemat uang saku kuliah demi beli tiket bersama pasanngan, bolos kuliah dan berdiri di depan loket sebelum jam kerja buka demi tidak kecewa (lagi) karena kehabisan tiket, sampai tiket premier dijadikan momentum nembak gebetan.
Kenapa setiap film yang tayang di bioskop mendorong orang rela antri demi menjadi yang pertama menonton? Bukankah 2-3 miggu lagi film itu juga belum habis diputar? Malah dengan harga lebih murah dan tanpa harus bolos kuliah demi antre tiket. Tapi dalam masyarakat konsumsi, siapa yang menonton pertama maka menunjukan suatu “kelas” tertentu. Kopi di kucingan depan Holand Bakery segelas seharga Rp 2.000, dengan kopi yang sama di tempat yang menamakan Kafe bisa dijual Rp 30.000. lantas kenapa masih ada yang memilih membeli yang Rp 30.000? yaps, karena mengkonsumsi kopi di Kafe, apalagi ditambah dipoto terlebih dahulu sebelum di minum (dinikmati) dan di share di akun media sosial akan menunjukan dimana kelas sosial kita.
Lantas kenapa kita masih penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan “Cinta” di AADC 2? Bukankah lebih penting menanyakan siapa kita? krisis identitas akan membuat kita gagal berpikir logis. Misalkan kita pemuda kuliahan, sudahkah kita tahu identitas kita dan tetap menjaganya agar identitas tersebut terus menempel?
Bagaimana dengan budaya diskusinya? Sekarang budaya malu karena datang di diskusi tanpa membaca buku terdahulu telah hilang. Bertanya kritis membedakan mana teks mana konteks saja kesulitan, asal tanya agar dikira aktif dan tak terlalu merasa bersalah karena menghabiskan gorengan paling banyak.
Bagaimana membacanya? Membaca sastra, filsafat, teori sosial, sejarah, kita sudah berada pada titik indeks membaca serius 0,001 (Unesco : 2012). Artinya hanya ada 1 dari 1000 orang yang membaca dengan serius. COC? Terkutuklah game. Masya ngomong politik tapi gak kenal Machiaveli, masya ngomong sosiologi tapi gak kenal Ibn Khaldun, baca buku apa aja selama ini? Asma nadia? Tere Liye?
Bagaimana menulisnya? Diskusi dan baca aja kagak pernah apalagi nulis. Status fb, ganti PM, Ganti DP, Ganti Avatar, upload di Instagram, ngeshare aksi sosial biar dikira punya empati tinggi (padahal ngesare-nya sambil tiduran di kos).
Mahasiswa, ada apa dengan kita yang seharusnya ramai antre kita cari tahu jawabanya. Udahlah, urusan cinta biar Rangga yang nyelesain. Kalau kita sebagai mahasiswa gagal paham identitas kita (diskusi, baca, tulis), jangankan 10, 100 pemuda pun ngerubah “Ngaliyan” juga kagak bakalan bisa. Beruntunglah ada ngeprof.com, Cin(ki)ta bisa memulai menemukan identitasnya.
*Ahmad Muqsith. Pemeran utama film “ada apa dengan otak kita?” padahal gak pernah berharap jadi pemain film. Cuma berharap sebagai sutradaranya.