foto:rayapos.com |
Bapak tua itu berbaju putih dengan kopiah songkok beludru hitam buatan Gresik seraya mengenakan sarung dengan corak garis lurus memotong dari atas kebawah berwarna merah hati. Sedang duduk diteras rumahnya. Tepat didepannya, sebuah meja kecil menyangga secangkir kopi bersebelahan dengan asbak. Mulut asbak yang masih menjepit rokok yang barusaja terbakar ujungnya.
Begitulah kebiasaan bapak tua setiap sore. Selepas itu, ia melangkahkan kakinya yang hampir merapuh ditelan zaman. Dengan sabar menapaki jalan menuju tempat peribadatan. Ia mengabdikan diri kepada Tuhan, karena memang usianya kian menyenja.
Bapak tua itu purnawirawan. Begitulah beliau setiap sore. Hingga menjadi kebiasaan. terhitung sejak beliau lepas seragam, dengan gelar barunya, purnawirawan.
Pagi itu, matahari yang masih belum sempurna lahir dari rahim ufuk. Nampak bendera merah putih dengan tiang besi tinggi sekira empat meter barusaja berkibar di halaman rumah dimana beliau tinggal. Maklumlah, sebagai purnawirawan nuraninya masih kokoh dengan asa patriotik.
Beliau memang sudah tua, tak kerepotanlah hanya sekedar mencukupi kebutuhan keseharian. Dengan gaji pensiunan sangat mencukupinya untuk makan bersama sang istri yang sangat disayangi. Malah, sesekali ia menysihkan untuk sekedar membahagiakan sang cucu yang terbiasa bertandang di akhir pekan. Beliau memberikan uang jajan.
Atas keramahan, kebersahajaan dan kesejukannya. Membuat ia dicari-cari untuk memberikan petuah. Tak ada satupun warga disekitar beliau tinggal yang membencinya. Bahkan, dapat dipastikan. Ketika beliau meninggal-maklum, karena memang sudah berusia- di sekitar beliau tinggal bakal banjir air mata. Konotasi yang sangat patut untuk menggambarkan orang sekitarnya saking merasa tertinggal.
“Kami tidak punya panutan disini kalau bapak pergi,” tutur salah seorang pemuda disekitar beliau tinggal.
Ia juga sering kedatangan tamu. Tak kurang lima tamu, setiap pagi hingga menjelang siang berdatangan. Waktu yang memang sengaja diatur khusus menyua tamu. Sangat disiplin, kalimat yang sangat pantas ia sandang. Seusai menemu para tamu, sisanya ia buat mengistirahatkan jasadnya, meski hanya sejenak, di kamar sederhana yang sangat ia kagumi sesampai sebelum waktu bisa dikatakan sore.
Sesekali kedatangan tamu yang memintanya untuk melantunkan sebuah lagu. Jangan kira, meski dengan akhiran nama Zein, beliau tak mahir melantukan Barakallahu Lakuma, lantunan yang diperuntukan bagi dua mempelai yang tengah menyandang raja dan ratu sehari. Kalau yang ini Maher Zein jagonya, bukan beliau. Tamu tersebut tak lantas bersedih. Seperti tamu yang lain, ia pulang dengan sumringah. Ia tersihir, meski tak sempat beliau melantunkan satupun lagu untuknya. Lagi-lagi, tuturnyalah yang membuat si tamu tak kecewa untuk bertamu.
Sekiranya, beliau dengan pelantun Barakallahu Lakuma memang memiliki kesamaan. Sama-sama menyejukkan dan berakhiran nama Zein. Ketika berlantun Maher Zein mampu menghipnotis dengan suaranya. Sedangkan beliau, mampu menghipnotis juga, tapi saat bertutur bukan berdendang lagu. Maher Zein, berdarah Lebanon asli Swedia. Beliau berdarah biru asli antah berantah.
Saya, termasuk yang mengagumi beliau. Dari ujung kaki hingga ujung rambut patut untuk di contoh beliau itu. Tuturnya yang sangat sejuk, patut untuk dijadikan rujukan petuah. Namun, tiba-tiba “duaaaaar!!!”, suara pintu ditabrak seekor kucing betina yang tengah kejar-kejaran dengan seekor kucing jantan, musim kawin kali ya? “Bajingan, saya mimpi ternyata!!!,” kataku selepas terbangun dari tidur siang.