foto:plus.google.com |
Plato, seorang filsuf legendaris dan orang yang pertama kali mendefinisikan istilah filsafat, walaupun istilah “filsafat” dipopulerkan oleh Pythagoras, namun Plato berhasil merancang definisi yang runtut dan jelas sehingga setiap orang bisa membedakan mana yang filsuf dan mana yang bukan. Dalam mendefinisikan filsafat, plato selalu membayangkan seorang yang tangguh, pemberani, adil, bijaksana, dan sederhana. Namun, jika energinya hanya dihabiskan untuk mendefinisikan satu orang saja, kelihatannya akan sia-sia. Bahkan kriteria-kriteria filsuf itu sendiri belum tentu dimiliki oleh satu orang. Maka dari itu, dia mengalihkan perhatiannya kepada hal yang lebih besar, yakni negara. Negara yang tangguh, pemberani, adil, bijaksana, dan sederhana. Tapi dia berpikir lagi, bagaimana negara semacam itu bisa lahir jika pemimpinnya saja tak mempunyai sifat-sifat seperti itu. Maka pada akhirnya, yang dipikirkan oleh Plato adalah seorang pemimpin.
Dalam karya dialognya “Republik” negara yang dia impikan itu dia sebut sebagai negara utopia. Negara yang keberadaannya hampir-hampir mustahil. Namun, jika benar ada, maka beruntunglah warganya. Dalam memaparkan negara utopia ini, plato memimpikan adanya sistem yang teratur, yang terdiri dari empat rancangan, yaitu : Pendidikan, Ekonomi, biologi, dan agama.
Pendidikan berguna untuk mempersiapkan seorang pemimpin. Ekonomi berguna untuk merancang kesejahteraan penghuni negara. Biologi berguna untuk menata pertumbuhan penduduk negara. Dan agama berguna untuk mengatur etika warga negara dan negara itu sendiri.
Dari keempat rancangan itu, yang dicermati betul oleh Plato adalah soal pendidikan. Plato memilah pendidikan menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah musik, kedua gimnastik. Bagi Plato, musik adalah sumber pencerapan realitas dan budaya, musik memiliki daya rangsang untuk membentuk imajinasi, pemikiran, dan kreasi. Sedangkan gimnastik menurut Plato adalah olah fisik yang membentuk seorang yang sederhana dan pemberani (istilah gimnastik dalam bahasa inggris searti dengan sport atau athletic).
Bagi Plato, karena musik memiliki rangsangan imajinasi yang sangat kuat, maka musik yang diperdengarkan kepada anak-anak muda harus diseleksi. Di zaman Plato, ada dua daerah kaya raya yang penduduknya semuanya adalah bangsawan, daerah ini bernama Lydia dan Ionia. Penduduk Lyidia dan Ionia senang sekali melantunkan musik Harmoni untuk mendendangkan kegembiraan, cinta, damai, ataupun kedukaan. Musik harmoni terdengar sangat lembut, namun bagi Plato, musik seperti ini bisa melemahkan mental dan moral. Maka musik-musik Harmoni tidak boleh diperdengarkan kepada anak-anak muda.
Selain dua daerah itu. Ada dua daerah lain lagi yang baru merasakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa Persia, daerah itu bernama Doria dan Prhygia. Karena baru saja memenangkan peperangan, masyarakat di dua daerah itu senang sekali mendendangkan musik-musik yang sederhana namun berirama keras, sehingga sangat terasa sekali nuansa keberanian. Musik-musik keras ini sangat cocok sekali jika didendangkan ketika anak-anak muda melakukan gimnastik.
Gimnastik sendiri bagi Plato adalah sebuah arena permainan yang bisa melatih otot-otot. Permainan di dalamnya tidak sekedar bermain, namun ada unsur persaingan dan perebutan (perlombaan) untuk meraih kemenangan. (Kita bisa membaca lagi sejarah olimpiade)
Sebelum Plato merumuskan Musik dan Gimnastik, Plato sering mengkritik karya-karya drama dari Homerus dan Hesiodus yang sering menampilkan dewa-dewi yang suka bermabuk-mabukan, mengumbar gelak tawa, berpesta pora, dan bermewah-mewahan yang disebut menggambarkan kebahagiaan surga. Kisah itu sama sekali tidak mendidik anak muda, bahkan bisa menjerumuskan anak muda kedalam khayalan.
Plato juga menganjurkan bagi para ibu agar tidak lagi membacakan karya Homerus dan Hesiodes itu kepada anak-anaknya. Yang kemudian mendorong Plato sendiri untuk membuat karya Republiknya yang memuat dialog yang berusaha menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Plato juga menganjurkan pengawasan yang ketat terhadap buku-buku yang dibaca anak muda.
Bagi Plato, Musik-musik Doria dan Prhigia yang sederhana, bernuansa keberanian dan menggambarkan kenyataan, adalah musik ideal yang bisa membentuk mental petarung untuk anak-anak muda. Sedangkan gimnastik, menjadi arena paling pas untuk menguji mental itu dalam kenyataan yang sesungguhnya.
Uraian Plato ini saya rasa masih relevan jika dikaitkan dengan kenyataan kekinian. Dari berbagai macam hal, yang banyak mempengaruhi nalar imajinasi anak-anak muda adalah musik. Entah mengapa bisa demikian? Mungkin kita bisa membedahnya dengan perangkat psikoanalisa. Yang jelas, konsumen terbesar produk-produk musik adalah anak muda. Kita juga bisa melihat perbedaan cara berfikir antara pemuda yang menyukai musik-musik cadas dan musik pop.
Saya tidak hendak menuduh bahwa musik-musik beraliran pop nan sendu itu membawa pengaruh buruk terhadap nalar pemuda. Toh tidak semua penikmat musik pop terlihat alay. Tapi bisa saya pastikan, para penikmat musik-musik dalam bit tinggi (tidak selalu metal) memiliki kekuatan mental yang tangguh dan pemberani.
Di awal Plato menjelaskan bahwa musik bisa menjadi jembatan untuk membentuk, merubah, atau bahkan mentransfer budaya. Masuknya budaya barat ketimur (zaman penjajahan dulu) karena populernya musik-musik barat. Dengan musik, bangsa barat tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga mampu “menguasai” nalar bangsa yang dijajahnya. Musik-musik barat banyak digandrungi karena mampu menggambarkan modernitas, berbeda dengan musik-musik daerah yang terlihat kuno.
Tidak mungkin pemikiran-pemikiran, perilaku, dan bahkan tata negara ala barat bisa mempengaruhi bangsa-bangsa timur jika tidak melalui budaya. Tidak mungkin juga budaya barat masuk tanpa ada rangsangan imajinatif. Tidak mungkin ada rangsangan jika tidak ada musik.
Kita bisa membaca kembali sejarah perkembangan peradaban manusia. Kecanggihan pemikiran manusia lahir karena ada rangsangan budaya. Dan akar kebudayaan setiap bangsa adalah musik. Tinggal musik yang seperti apa yang mampu membentuk peradaban yang kuat dan bangsa yang pemberani.
Demikian dengan gimnastik, kita artikan saja dengan kompetisi. Gimnastik memberikan rangsangan yang luar biasa kepada anak muda untuk mengejar kemenangan. Dengan melakukan gimnastik, perlahan-lahan para pemuda bisa melepas sikap pasrah. Merangsang pemuda berfikir progresif dan liar, tidak menempatkan mimpi dalam sudut sempit angan-angan. Ada keinginan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Biar bagaimanapun, kenyataan hidup adalah kompetisi, namun kompetisi bukan alasan untuk menindas dan membunuh sesama makhluk hidup. Ada law of rule yang dipakai, dan gimnastik mengajarkan kompetisi yang ada aturannya.
Plato sendiri dalam mengungkapkan gagasan gimnastiknya karena dia hidup di era peperangan antara bangsa yunani kuno (Athena, Sparta, Romawi, Mesir, dan Persia). Dia beranggapan, persaingan dan perebutan adalah jiwa alami manusia. Hanya tinggal setiap manusia dididik untuk berkompetisi secara adil dengan aturan-aturan. Plato mendambakan persaingan dalam arena yang lebih tertata.
Kita bisa melihat kisahnya dalam sejarah, dengan kurikulum yang Plato buat ini, dia mampu melahirkan bakat-bakat hebat di antaranya Aristoteles yang sampai saat ini menjadi tokoh-tokoh hebat dalam sejarah manusia yang juga berhasil melahirkan murid paling brilian yaitu Aleksander Agung/The Great (Iskandar Zulkarnaen). Bahkan Aristoteles sendiri menjadi pesaing penting buat Plato dalam dunia filsafat.
Saya kira dalam membangun mental dan moral peserta didik, kita harus menempatkan musik dan gimnastik di tempat pertama. Tentunya musik-musik yang sederhana namun keras dan pelatihan-pelatihan gimnastik untuk mengejar prestasi. Yang sayangnya, kedua hal itu saya rasa sekarang agak dikesampingkan dari kurikulum utama.