foto:megapolitan-kompas |
Fenomena pilkada DKI telah merenggut perhatian masyarakat Indonesia, wajar jika disebut sebagai miniatur pilpres, apalagi semenjak jokowi terpilih sebagai presiden setelah sebelumnya dia menjabat sebagai gubernur DKI. Tulisan yang berlatar pilkada DKIpun sudah banyak berseliweran. Dan saya juga sudah kesekian kalinya menulis hal-hal yang berbau pilkada DKI.
Satu hal yang banyak disoroti yakni debat calon gubernur, rata-rata para kritikus mengomentari debat itu sebagai adu retorika. Ada yang salah dengan retorika? Tentu tidak. Justru kemampuan retorika adalah modal penting bagi setiap calon untuk bisa menjelaskan visi-misinya, terutama bagi calon petahana. Tidak mungkin para calon menjelaskan secara detail-rijid dan terperinci apa yang akan dia lakukan sementara durasi debat hanya dibatasi 2-3 jam saja, apalagi waktu debat diatur oleh panitia untuk bergiliran. Jika tidak dengan rumusan retorika yang baik, bisakah mereka menjelaskan visi-misinya?
Sebagai pendengar, terutama warga Jakarta sebagai para pemilih, bukan retorikanya yang harus dikoreksi, tapi tindak-tuturnya yang harus kita perhatikan. Setiap kalimat yang keluar dari mulut para calon, harus terkoreksi saat mereka merealisasikan visi-misi mereka, sesuai atau tidak di lapangan? Karena kalimat hanya mewadahi kenyataan.
Dalam buku Filsafat Komunikasi karya Alex Sobur (PT. Remaja Rosdakarya, Mei 2014), di bab 6 Fenomenologi Linguistik Austin: Komunikasi Bahasa Pergaulan, dia menjelsakan tentang toeri penuturan. Dalam subbab B, Tuturan Performatif dan Konstantif, Alex Sobur merinci secara teknis pemikiran J.L Austin tentang bahasa pergaulan. Menurut Austin, dalam menyampaikan tuturan, seseorang bisa melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu.
Secara garis besar, Austin membagi tuturan menjadi dua yaitu, kalimat konstatif dan performatif. Konstatif adalah tuturan yang kita gunakan untuk menggambarkan sesuatu, contoh seorang calon berbicara soal kondisi Jakarta “Jakarta sekarang macet, sering banjir, dan banyak warga miskin”. Dalam kalimat konstantif semacam ini, tidak sulit bagi kita untuk memeriksa benar atau salahnya. Kalimat konstantif bisa dikoreksi melalui konteks realitas yang digambarkan oleh si penutur. Pernyataan ini juga memungkinkan si lawan tutur untuk menguji kebenarannya secara empiris, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Tidak heran, dalam debat pilkada DKI, setiap calon harus bisa beradu data, tergantung data yang mana yang lebih akurat. Tinggal satu persoalan yang harus diselesaikan oleh para calon, bisakah mereka menyatakan data itu secara meyakinkan dengan kalimat yang simpel dan jelas dalam waktu yang singkat?
Kalimat-kalimat konstatif seperti contoh “Jakarta sekarang macet, sering banjir, dan banyak warga miskin” tidak harus juga diucapkan oleh orang yang memiliki kapasitas tertentu, termasuk calon gubernur. Bahkan, kuli bangunanpun bisa menggunakan kalimat konstatif sebagai alasan untuk menuntut perbaikan tata-kelola masyarakat jika mengandung banyak fakta dan latar empiris. Hal itu dikarenakan, menurut Austin, kekuatan kalimat konstatif adalah fakta. Semakin kuat fakta yang dikandung, semakin kuat pula pengaruh kalimat itu.
Berbeda dengan kalimat performatif. Performatif, jenis tuturan ini menghendaki sang penutur mempunyai kapasitas tertentu untuk menuturkan pernyataan tertentu. Benar atau tidak penuturannya, sangat tergantung dengan kapasitas yang dimilikinya. Kelayakan seseorang sangat menentukan validitas kalimatnya. Seperti contoh kalimat “semua masalah di Jakarta akan saya atasi”. Kalimat seperti itu jika diucapkan oleh kuli bangunan tidak akan berdampak apapun terhadap situasi politik DKI, karena si kuli bangunan tidak memiliki kapasitas. Tapi jika diucapkan oleh calon gubernur, sekalipun nir-data, pasti akan dengan sendirinya memunculkan harapan bahkan polemik. Apalagi jika pernyataan itu disertai dengan data.
Austin menjelaskan bahwa, semua percakapan memiliki kualitas yang dengan mudah dilihat karakteristiknya, konstantif atau performatif. Namun demikian, dalam mengucapkan sesuatu, fokus perhatian lawan bicara pasti tertuju kepada performasi si penutur. Apalagi jika situasi tuturnya adalah pilkada DKI dan penuturnya adalah calon gubernur yang sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu-isu dan situasi yang melingkupi Jakarta. Dan menurut saya, yang seharusnya menjadi fokus kita sekarang adalah preforma para calon, bukan retorika para calon dalam acara debat kandidat.
Konteks penggunaan bahasa pada dasarnya merupakan aspek yang sangat penting dalam memahami sebuah percakapan atau tuturan. Secara pragmatik, yang dimaksud dengan konteks ialah semua latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan penghayatan terhadap realitas yang dimiliki oleh penutur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor ekstarlingual (Levinson, 1983) atau semua konteks di luar tuturan yang mempengaruhi tuturan itu, sangat mempengaruhi validitas tuturan performatif.
Austin (1962), menjelaskan bahwa validitas tuturan performatif tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat yang disebut felicity conditions (kesesuaian syarat-syarat);
Pertama, orang yang menuturkan dan situasi tuturan harus sesuai
Kedua, tindakan dan tuturan si penutur harus sesuai. Jika yang dituturkan berupa janji, maka janji itu harus terpenuhi.
Ketiga, isi pikiran si penutur harus sesuai dengan penuturan. Memang agak sulit untuk memferifikasi syarat ketiga ini. Namun demikian, untuk memudahkan ferifikasi syarat ketiga ini bisa menggunakan syarat kedua.
Dengan demikian, menurut Austin, kalimat bisa memiliki makna jika kesesuaian syarat-syarat tersebut terpenuhi, apa adanya, dan konsisten.
Penuturan setiap calon akan gagal mendapatkan makna, atau (bahasa kasarnya) dapat tidak dipercaya manakala tidak memiliki referensi (apa yang diucapkan tidak berdasar konteks), ketidak-jujuran (antara yang dipikirkan dan yang dituturkan tidak sama), dan tidak konsisten.
Maka jelas, dalam setiap tindak-tutur para calon pemimpin, yang perlu diperhatikan adalah performa mereka, pengalaman, serta konsistensi dalam melaksanakan tindak-tutur mereka. Jika ukurannya hanya debat kandidat, maka kita sebagai pendengar dan warga DKI sebagai pemilih telah gagal dalam mengamati tindak-tutur para calon.