gambar:postdramatic.com |
hidup tanpa informasi bisa bikin umat manusia kehilangan ruhnya. Gimana enggak, informasi itu kebutuhan paling dasar buat manusia, bahkan lebih dasar ketimbang kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, dan kenthu. Maka dengan demikian, saya nyatakan bahwa teori hirarki-kebutuhannya Abraham Masslow perlu direvisi.
Kenapa saya anggap informasi adalah kebutuhan paling dasar, bukan kebutuhan fisiologis. Sederhana saja, orang butuh makan pasti juga perlu info di mana ada makanan.
Sekalipun katanya makanan ada di mana-mana, tapi tanpa info yang jelas kita gak mungkin tau di mana dan bagaimana kita bisa mendapatkan makanan itu. Demikian juga dengan kenthu, kalo kita gak tau siapa yang mau kenthu dengan kita, gimana cara kita bisa kenthudengan baik dan benar.
Sedemikian dasarnya kebutuhan informasi, peradaban sejarah dunia pasti berbarengan dengan perkembangan informasi. Informasi bukan sekedar kabar, dia juga sebentuk ruh yang menghubungkan satu hal dengan hal lain, satu manusia dengan manusia lain, bahkan menghubungkan manusia dengan benda mati, tumbuhan, dan hewan. Dengan informasi manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya.
Sampai pada akhirnya muncullah sistem penyebaran informasi yang skematis, massif, dan struktural yang dikelola oleh lembaga dan menejemen profesional. Lembaga ini bertugas melayani masyarakat akan kebutuhan informasi, informasi apapun.
Karena kebutuhan informasi berbeda akhirnya dibentuklah segmentasi, ada berita politik, ekonomi, pendidikan, budaya, olahraga, hiburan, gossip, dll. Segmentasi ini akan semakin banyak sesuai dengan perkembangan minat masyarakat terhadap jenis informasi.
Semakin lama umat manusia ingin arus informasi lebih cepat, dengan sendirinya berkembanglah teknologi yang “mengabulkan” keinginan itu. Singkat cerita, di era modern teknologi informasi sudah bisa membantu kecepatan informasi hanya dalam hitungan detik dan menyediakan banyak pilihan sesuai minat pembaca.
Tapi, kecepatan arus informasi ini ternyata gak bisa diimbangi oleh kecerdasan manusia. Manusia gak cukup cerdas untuk menyaring informasi yang bejibun di gadgetnya.
Informasi yang bejibun itu tumbuh menjadi dogma, bahwa gadget lebih gress menurunkan “wahyu tuhan” ketimbang kitab suci. Maka muncullah keyakinan bahwa suara gadget adalah suara tuhan, maha benar, gak bisa dibantah, dan gak perlu dikoreksi.
Gara-gara pengguna gadget pada culun semua, akhirnya ada oknum-oknum yang gak bertanggungjawab mempermainkan pemirsa dengan situs abal-abal dan berita abal-abal pula. Itu masih mending, yang parah ada oknum yang suka banget melintir-melintir berita, melebih-lebihkan berita biar kelihatan dramatis biar dapet top share dan top rating.
Kebetulan mayoritas pemirsa sukanya informasi yang dramatis. Makanya di mana-mana informasi yang dapet top ratingpasti yang berbau drama, gak peduli itu mau berita politik, ekonomi, olahraga, rumahtangga, dan lain-lain.
Sampailah kita di zaman dramatisasi informasi. Cara pandang dramatis plus baper mengubah wajah dunia menjadi panggung drama. Yang namanya drama pasti ada skenario, ada plot cerita, gak bisa sembarang sudut difloor. Semua harus dramatis. Jangan biarkan informasi yang muncul datar-datar aja. Informasinya harus meliuk-liuk, di sini pemirsa jadi tertantang, penasaran, sekaligus gregetan.
Kalo zaman orde baru yang dramatis cuman gossip artis. Setelah reformasi, politisi bebas berakting sedramatis mungkin, Presiden juga boleh berdramatis ria biar rakyatnya merasakan lelahnya jadi pak beye #eh presiden maksudnya.
Sekedar mengingatkan kepada sesama jomblo, sekarang kita sudah sampai di zaman post-dramatis. Beradaptasilah, atau kita dianggap manusia kurang peka.