Foto: http://viveislam.islammessage.com/ |
Peristiwa agung yang terjadi di bulan Rajab ialah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sampai ke Sidrhatil Muntaha tersebut terjadi pada malam 27 Rajab lima belas abad silam. Berkat keagungannya, Isra’ Mi’raj lantas menjadi tradisi yang selalu dirayakan oleh kaum muslim setiap tahun.
Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur bahwa keagungan Isra’ Mi’raj berkaitan dengan diturunkannya perintah shalat lima waktu untuk umat Rasulullah SAW. Sejak saat itu, shalat menjadi fardlu ‘ain bagi setiap muslim yang telah mencapai syarat. Dengan demikian peringatan Isra’ Mi’raj pada dasarnya merupakan perenungan atau penyadaran kembali akan perintah shalat fardlu.
Dalam ketentuan syari’at, kewajiban shalat lebih universal dari pada tiga ibadah fardlu lainnya, zakat, puasa, dan haji. Tidak ada batasan kaya atau fakir, sehat atau sakit, musafir atau muqim, dan seterusnya dalam kewajiban rukun Islam yang ke-2 ini. Setiap mukallaf tetap harus menunaikannya meski kondisi yang tengah dialaminya sangat sempit dalam segala hal. Karena begitu mutlaknya kewajiban shalat, seorang muslim yang meninggal dunia pun wajib dishalati selama tidak ada penyebab (illat) yang dapat menggugurkannya.
Oleh karena itu, makna peringatan Isra’Mi’raj harus dielaborasi dengan meningkatkan kualitas shalat fardlu. Tanpa elaborasi tersebut, peringatan Isra’Mi’raj hanya akan menjadi kegiatan seremonial tahunan yang tidak berimplikasi positif terhadap derajat ketaqwaan. Dalam hal ini, ke-istiqamah-an atau konsistensi adalah salah satu dimensi shalat yang perlu terus ditingkatkan. Sebab dengan istiqamah, seorang muslim akan dapat dengan mudah memetik buah atau implikasi shalat. Betapa tidak, postulat tersebut merujuk pada kaidah bahwa konsistensi adalah kunci kemuliaan (al istiqamah ainul karamah).
Dalam hal ini, al Qur’an telah menegaskan bahwa buah atau implikasi shalat ialah terhindarnya diri dari perbuatan keji dan mungkar (inna shalaata tanha anil fakhsya’i wal mungkar). Implikasi ini dapat terbangun secara logis karena shalat merupakan media atau cara untuk mengingat Allah Ta’ala (dzikrullah). Hal ini sebagaimana keterangan ayat lain bahwa sesungguhnya shalat adalah cara untuk ber-dzikir kepada Allah (inna shalata lidzikri). Artinya, seseorang yang senantiasa menyadari keberadaan Sang Ilahi akan selalu menjauhkan dirinya dari perbuatan yang dilarang agama.
Sebagai media dzikrullah, shalat juga dapat membawa kedamaian hati atau ketenangan jiwa sebagaimana makna ayat alladzina amanu tathmainnu qulubuhum bidzikrillah ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Perlunya mengingat Allah pada gilirannya mengunkapkan pemahaman lain bahwa manusia sejatinya adalah mahluk spiritual. Dengan esensi tersebut manusia tidak dapat mengingkari kebutuhannya terhadap sandaran jiwa, tempat menggantungkan harapan, atau Dzat yang Maha Penolong. Kegelisahan hati yang dialami manusia sudah cukup mejadi bukti akan ketidakmampuannya dalam mengatasi suatu persoalan. Ketenangan hati akan muncul ketika manusia telah menemukan sandaran atau sang penolong atas persoalan yang dihadapinya. Dalam hal ini hanya pertolongan Sang Maha Kuasa yang mampu memberikan jaminan atau kepastian bisa membebaskan manusia dari setiap kesulitannya.
Shalat lantas menjadi bentuk pengakuan atau deklarasi kesadaran manusia atas posisinya sebagai hamba yang tiada daya dan kekuatan tanpa pertolongan Dzat yang Maha Agung. Pengakuan umat manusia atas predikatnya sebagai hamba telah diproklamirkan pada zaman penciptaan, di mana jiwa mereka telah memberikan kesaksian akan keberadaan Allah sebagai Tuhan (alastu birabbikum qalu bala syahidna). Kontrak inilah yang tidak dapat diingkari oleh umat manusia sampai kapan pun, bahwa manusia selalu membutuhkan kehadiran Ilahi Rabbi.
Tentunya kesadaran tersebut akan bisa terinternalisasi secara kokoh manakala pengamalan shalat senantiasa ditegakkan sebagaimana perintah dirikan atau tegakkanlah shalat (iqamisshalah), bukan kerjakanlah shalat. Dalam hal ini istiqamah adalah indikator utama tegaknya shalat. Dengan istiqamahpula, eksistensi shalat sebagai tiang agama (‘imaduddin) akan terus kokoh dalam maknanya. Oleh karena itu peringatan Isra’ Mi’raj perlu kita dijadikan momentum untuk menguatkan kembali ke-istiqamahan shalat dalam rangka menuai buah kemuliaan yang dijanjikan Allah Ta’ala.
Al hasil, makna peringatan Isra’ Mi’raj harus dielaborasi dengan melakukan sublimasi kualitas shalat secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan upaya tersebut, semoga Allah senantiasa menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang istiqamah dalam menjaga ke-istiqamahanshalat, amin. Akhirnya, wallahu a’lam…!!!
*Faqih Yahullah, senior pergerakan yang dulu hobi orasi dan sekarang setia melayani umat di kampungnya